Tiga minggu sebelum hari pernikahan.
Beberapa hari belakangan, Mayang sering melamun. Setiap hari Jum'at ia datang ke makam neneknya untuk berziarah. Sudah dua minggu sejak kematian sang nenek, Mayang lebih suka menyendiri. Ia ingin pulang mengunjungi ibunya. Tentu butuh waktu mengobati rasa sakit ditinggal orang terkasih.
Malam-malam ia lalui seperti biasa, terkecuali hari ini. Malam Jum'at kliwon, yang konon katanya sangat keramat dan penuh hawa mistik. Mayang hendak membuang sampah ketika sang surya telah berpulang ke peraduan. Letaknya tak jauh dari belakang rumah, hanya berjalan sepuluh langkah.
Ia tak sengaja melihat sosok berkebaya hijau sedang menangkupkan kedua tangan, menyembah sesuatu di hadapan. Karena penasaran, wanita itu mendekati.
"Permisi? Ibu ngapain di sini?" tanya Mayang sopan. Wanita berkebaya di hadapannya mendongak sambil mengulum senyum. Manis sekali.
"Saya adalah pendampingmu, Nak."
"Pendamping?"
"Ya, gelang yang kau pakai itu memiliki dua khodam. Yang satunya adalah kakek-kakek bersorban putih," ucap wanita itu. Mayang mengangguk paham, pantas saja gelang ini sangat kuat.
"Nduk? Ayo, masuk! Ngapain di situ?" Bu Azmir memanggil setengah berteriak, ia takut terdengar oleh tetangga. Mayang menoleh dan sosok berkebaya itu pun hilang.
"Nggih, Buk."
Ketika masuk, Mayang berpapasan dengan Pak Tio yang kebetulan ingin keluar juga. Pak Tio melihat Mayang dengan tatapan aneh. Wanita itu tidak risih, justru takut dan bertanya-tanya. Apakah ada jin lain di tubuhnya?
"Sehabis saya salat nanti, kita bincang-bincang di ruang tamu," ucap Pak Tio datar. Mayang mengiyakan dan berlari kecil masuk ke kamar.
***
Pria berpeci itu masuk rumah dan telah ditunggu anggota keluarga lainnya. Mungkin Pak Tio ingin menyampaikan hasil penerawangannya terhadap Mayang. Bu Azmir sudah deg-degan, ia takut sekali dengan hal-hal berbau magis. Keluarga Azmir memang tak pernah mendalami ilmu supranatural. Namun, bukan berarti mereka tidak memercayai keberadaan jin dan sebangsanya.
"Nak, apa ada sesuatu yang kamu sembunyikan dari kami?" tanya Pak Tio. Mayang terperanjat, apakah Pak Tio tahu bahwa ia tengah mengandung?
"Ma-maksudnya?" Mayang gugup, ia takut rahasia besar ini diketahui Pak Azmir.
"Anak di dalam kandunganmu, darah daging siapa? Siapa ayahnya?"
Deg!
Ingin rasanya ia menangis saat itu juga. Penglihatan Pak Tio begitu tajam rupanya, sama sekali tak bisa dibohongi. Padahal, Mayang sudah berusaha menutupi kehamilan ini. Azmir bangkit dan duduk di sampingnya. Menatap sang ayah yang sudah berkaca-kaca; menahan amarah.
"Dia? Dia melakukan zina?!" tanya Pak Azmir emosi.
"Pak, sabar, tahan dulu. Biarkan Nak Mayang menjelaskan," ucap Bu Azmir meredakan suasana tegang. Pak Tio pun menyuruh agar semuanya diam, mendengar penjelasan langsung dari Mayang.
Ia menahan tangis setiap kali kata demi kata itu keluar dari mulutnya. Menjelaskan apa yang perlu diketahui, selebihnya disimpan sendiri. Benar-benar merasa wanita yang paling kotor dan hina di dunia. Meski begitu, Azmir juga membantu menjelaskan agar tidak ada kesalahpahaman.
"Oh, begitu ... ternyata benar penglihatan saya. Bapakmu itu sepertinya kurang pemahaman agama, Nak," ucap Pak Tio usai mendengar cerita Mayang.
"Sudah, tenangkan dirimu. Bapak mau menyampaikan sesuatu. Mungkin ini akan cukup mengejutkan ...."
***
Setelah kepergian ibunda tercinta, Mawar seperti raga tanpa jiwa. Ia sering melamun, tidur, sedikit makan, dan jarang berinteraksi dengan tetangga. Hari-harinya dilalui dengan duduk di depan teras sambil menampi beras. Kegiatan yang amat disukai almarhumah ibunya dulu.
Tak menyangka, kepergian ibunya mengundang banyak tanda tanya. Tetangga penasaran, mereka bingung tiba-tiba saja beliau meninggal dunia. Padahal terakhir kali masih terlihat berbelanja di pasar. Maut memang tidak ada yang tahu. Jangankan keesokan harinya, detik menit berikutnya pun kita tak tahu siapa yang akan dipanggil lebih dulu.
Jika ditanya, "Nek Dahlia meninggal kenapa?" Mawar hanya diam membisu. Enggan menjawab karena memang ia tak tahu, bingung lebih tepatnya. Sang ibu meregang nyawa tepat di hadapannya, kesulitan dan sengsara, entah karena apa.
"Kayak orang gila ditanyain diem aja."
"Yuk, ah pulang."
"Emang dari dulu ini keluarga kayak penyembah setan."
PLAK!
Satu tamparan cukup keras mendarat di pipi Rosalina. Ibu muda beranak satu itu meringis menahan pedih. Mawar menatapnya tajam, sedangkan teman Ros hanya mampu terdiam. Terkejut dengan tindakan Mawar yang tiba-tiba itu.
"Ulangi kata-katamu tadi!" bentak Mawar emosi. "Siapa bilang keluargaku penyembah setan?!"
Rosalina menggeleng cepat lalu berbalik badan dan pergi. Mengikut ketiga temannya yang juga tak membela, takut sepertinya. Mawar berani melakukan tindakan itu karena benar-benar tersulut emosi. Hatinya panas, tak terima ibu dan keluarganya dituduh menyembah setan.
"Mereka itu tau apa! Orang sudah meninggal bukannya didoakan malah digunjingkan!" Ia berteriak histeris, beberapa tetangga melihatnya.
"Sudah, ikhlas ... jangan membuat almarhumah ibumu disiksa," ucap Bu Rini.
"Bu, nanti kita masak di rumah Bu Mawar aja. Kasihan dia ditinggal suami dan ibunya, anaknya si Mayang katanya sudah meninggal," kata Bu Ratna.
"Nggih, Bu. Kasihan juga. Nanti saya bantu dananya," balas Bu Rini.
Sore harinya, mereka pun membawa alat dan masak di dapur Mawar. Wanita itu hanya melamun melihat teman-temannya memasak. Ia tak selera melakukan apa pun lagi. Bahkan mungkin hidup di dunia sekedar bernapas dan makan.
"Ma-Mayang ... anakku ...," lirihnya. Bu Rini mendengar dan menghampiri.
"Kenapa, Bu?"
Mawar menoleh, isakan tangisnya masih terdengar. "Mayang anakku, ke mana?" tanyanya dengan suara parau. Bu Rini beradu tatap dengan teman-temannya di belakang. Ia bingung harus menjawab apa.
"Kata Bu Ratna, sudah meninggal, Bu."
Mawar terdiam untuk sesaat. Mana mungkin anaknya meninggal tiba-tiba tanpa jejak. Ia masih mengingat perkataan Azmir waktu itu, malam di mana ibunya pergi memenuhi panggilan Tuhan.
Ya, Mayang tinggal di rumah calon suaminya, hingga detik ini ....
"Kau pembohong! Anakku masih hidup!" ucap Mawar setengah membentak. Bu Rini terkejut dan langsung berlari ke dapur.
Mawar duduk lagi, kondisinya benar-benar berantakan. Rambut panjang itu terurai tak beraturan, wajah yang tak dicuci beberapa hari, juga pakaian mulai sobek sana-sini. Tidak ada yang berani menegurnya, ia bagaikan orang tak waras.
Pernah bertemu dengan Kadir, ia cuek bebek. Lelaki biadab itu telah menikah dengan janda beranak tiga di kampung sebelah. Sakit hati memang mendengarnya, tapi Mawar apa daya. Dengan kondisi sekarang, apa masih dipandang Kadir yang hanya memikirkan nafsu bejatnya?
Sehari-hari, Mawar keluar rumah pukul lima subuh. Ia mencari di mana keberadaan anaknya. Berharap Mayang pulang dan menjenguk, melihat kondisi ibunya yang telah berputus asa menjalani hidup. Namun, hasilnya nihil. Ia tak mendapatkan apa-apa. Hanya lelah dan dahaga.
Mawar kembali bila panasnya mentari begitu menyengat. Tetangga mengirimkan makanan setiap hari karena Mawar tak mau memasak. Mandi saja, harus disuruh dan dipaksa. Seisi rumahnya kotor, berdebu, dan berantakan. Kadang-kadang, tetangga mencium bau mayat dan melati di sana.
Entahlah ... mungkin saja setelah kematian Nenek Dahlia, rumah itu sedikit berhantu. Namun, Mawar tak takut. Ia mendapat kawan baru.
***
BERSAMBUNG.

KAMU SEDANG MEMBACA
Mayang [END]
Misteri / ThrillerTELAH TERBIT || Part Dihapus Acak! Order novelnya agar bisa membaca keseluruhan -Versi mini seri segera ditayangkan!- Plagiator Harap Menjauh! Pelajari undang-undang hak cipta agar Anda tidak dijatuhi hukum. *** Luka .... Bisakah aku menahannya? Sa...