Luka Mayang 23

1.2K 63 5
                                    

Sesampainya di rumah, hari sudah senja. Tio dan bapaknya istirahat makan dan salat. Barulah lanjut pulang dan ke luar kota lagi. Ibu Azmir buru-buru keluar dan penasaran apa yang terjadi di sana.

Setelah dijelaskan, ibu Azmir manggut-manggut paham. Ia tak menyangka keluarga Mayang penganut ilmu hitam. Kekhawatirannya jika Mayang terkena hal yang sama membuat ibu Azmir mewanti-wanti hal buruk terjadi. Ia meminta bapak Tio membacakan ayat ruqyah juga untuk Mayang.

Biasanya, Maria muncul jika mendengar do'a-do'a. Namun, kali ini Mayang tak merespon apa pun. Normal seperti tidak ada jin yang menempel di tubuhnya.

"May ... kamu?" Mayang sendiri merasa heran. Kepalanya tidak pusing, ia masih sadar. Tandanya Maria tidak keluar. Padahal sejak tadi bapak Tio membacakan ayat suci Al-Qur'an.

"Mas ... apa aku udah sembuh?" tanya Mayang berharap. Azmir menggeleng tak tahu, ia melempar tatapan ke bapak Tio.

"Dia belum sembuh. Ada yang menghalang jalan Maria untuk keluar," ucap bapak Tio sambil terus memejamkan mata. Mayang tetap duduk di tempatnya, didampingi oleh Azmir dan Raka. Jaga-jaga apabila Maria keluar dan Mayang hilang kendali.

'Kenapa juga dia di situ!"

"Buk, duduk di samping Mayang aja, ya gantikan Raka?" tawar Azmir.

"Lha, kenapa?"

"Ya, nggak papa, Buk. Aura keibuan membuat Mayang nyaman, siapa tahu Maria nggak jadi nongol, hehe," jawab Azmir asal, ia cengengesan dan membuat seisi rumah menahan tawa. Ada alasan sekonyol itu demi menahan rasa cemburu?

"Yowes, Ibuk di situ. Raka, pindah, Nak. Kamu bantuin Pak Tio saja," ucap ibu Azmir sembari bangkit dan duduk di sebelah kanan Mayang. Wanita itu menyelipkan helaian rambut ke belakang telinga, kemudian membisikkan beberapa kalimat penyemangat.

Beruntunglah Mayang, ia mendapat calon mertua seperti Ihda. Penyayang, perhatian, dan menerima apa adanya. Namun, ia tak menahan diri lagi jika ibu Azmir tahu tentang kehamilannya. Ia tetap harus jujur, tak mungkin bisa dirahasiakan selamanya. Kehamilan Mayang pasti membesar dan terlihat di bulan kedelapan.

"Bantu saya membacakan Ayat Kursi, Al-Fatihah, surah tiga Qul," ucap bapak Tio. Ketika bacaan dimulai, Mayang tak merasakan apa-apa. Ia sibuk memainkan gelang hijau yang masih melingkar manis di tangannya.

Ah, iya! Gelang hijau itu yang mungkin menjaga Mayang.

"Sebentar, gelang darimana itu, Nak?" tanya Pak Tio. "Gelangnya seperti ... berisi khodam."

Khodam? Apakah itu? Semacam jin?

"Khodam?" tanya Azmir dan Raka bersamaan. Sesungguhnya, Azmir benci ketika adiknya ini ikut campur urusan Mayang.

'Diem aja lu bocah tengil!'

Mayang pun melepas gelang itu dan diberikan ke Pak Tio untuk diperiksa. Baru semenit dilepas, kepala Mayang terasa berat. Ada hawa panas menusuk di dadanya. Mungkin itulah reaksi jika Mayang tak memakai gelang hijau itu. Azmir terus memegang tangan Mayang.

"Pernah mimpi yang aneh?" tanya Pak Tio.

"Tentang gelang ini, dua kali, Pak. Intinya mimpi kakek-kakek," ucap Mayang. Azmir mengangguk mengiyakan. "Mas Azmir yang ngasih gelang ini, katanya dari kakek-kakek tapi sampai sekarang nggak pernah ngelihat lagi."

"Iya, Pak. Saya ketemu waktu mau beli kopi. Beliau ngasih gelang ini lalu hilang begitu aja. Jadi curiga yang di mimpi May adalah kakek itu," jelas Azmir membuat Pak Tio manggut-manggut paham.

"Kamu benar. Gelang ini menyimpan khodam sakti berusia ratusan tahun. Sifatnya turun temurun. Jin jika dipelihara dan dilatih lama, maka kekuatannya akan bertambah. Iblis di tubuh Mayang saja kalah," jelas Pak Tio. Azmir mengulum senyum kebanggaan. Nyatanya gelang ini bukan perhiasan semata.

"Gelang ini sempat hilang. Ternyata May lupa taruh di mana." Mayang terkesiap, ia berbohong tentang ini dari kekasihnya. Mau tidak mau harus dijelaskan agar menemukan titik terang.

"Mas, sebenarnya gelang itu May temukan di tanah kuburan, bukan di kantong jaket," ucap Mayang jujur. Azmir terbelalak kaget. "May takut jujur karena Mas pasti marah kalau tau tentang ini."

"Kok bisa?"

Akhirnya, Mayang menjelaskan mimpi keduanya tentang gelang misterius ini. Kakek itulah yang memberitahu di mana letak gelang itu disembunyikan. Sempat diberitahu siapa yang mengambilnya tapi Mayang lupa. Hanya ingat beberapa adegan itu pun samar-samar. Dengan terpaksa Mayang keluar rumah lewat jendela dan pergi ke kuburan.

Pak Tio mengangguk-angguk. Ia merasa sudah paham alur teka-teki ini.

"Mayang dan neneknya ada keterkaitan," ucap Pak Tio. "Yang mengambil gelang ini adalah neneknya sendiri. Percaya?" lanjutnya membuat seisi rumah bersitegang. Benarkah wanita tua itu yang melakukannya? Tetapi, demi apa?

Pak Tio menjelaskan hasil penerawangannya di gelang itu. Dengan kemampuan psikometri yang ia miliki, sangat mudah mengetahui masa lalu be nda tersebut. Percaya tidak percaya, pepatah benda yang saksi bisu itu benar adanya. Meskipun termasuk benda mati, dengan adanya kemampuan psikometri, Pak Tio tahu apa yang terjadi ketika itu.

Ketika Mayang tertidur, neneknya terbangun karena mengalami mimpi buruk. Lalu, si nenek datang ke kamar Mayang dan mengambil gelangnya. Sesuai permintaan sosok yang hadir di mimpinya, si nenek datang ke kuburan tengah malam dan mengubur gelang tersebut.

Azmir mengangguk paham. Misteri perlahan terkuak dan menemukan titik terang.

"Kalian ingin tahu beliau mimpi apa?" tanya Pak Tio. Azmir dan Raka mengangguk, tapi Mayang tak begitu penasaran. Ia sudah mengira hal ini yang mungkin terjadi.

"Nenek dan Maria itu bekerja sama," lanjut Pak Tio yang membuat ibu Azmir terkejut bukan main. Firasat seorang ibu tak pernah salah. Ia sudah menduga hal ini karena beberapa kejanggalan. Namun, ia memilih diam karena takut berprasangka buruk kepada orang lain.

Mayang menitihkan air mata. Pantas saja neneknya begitu jahat dan tidak berperasaan. Ternyata yang melakukan perjanjian itu adalah neneknya sendiri.

"Jadi ...."

"Neneknya sakit karena ...?"

"Maria marah karena gelang ini ada di tangan Mayang sekarang," jawab Pak Tio. "Dengan kata lain, neneknya telah lalai menjaga gelang ini supaya Mayang tak memakainya lagi. Maria bisa leluasa mengendalikan tubuh Mayang bila tak ada yang menjaganya. Paham?"

Benar. Khodam di gelang itu sangat baik. Ia menjaga Mayang. Sebenarnya bisa saja khodam itu membunuh Maria, tapi konsekuensinya Mayang juga mati. Pak Tio memikirkan cara lain agar Mayang bisa lepas dari iblis ini.

"Tapi, darimana asalnya Maria, Pak? Perjanjian apa?" tanya Azmir.

Pak Tio menggeleng, penerawangannya belum sampai ke situ. "Saya juga belum tahu. Masih samar. Nanti kita cari titik terangnya. Yang penting sudah tahu siapa dalangnya."

Pak Tio mengembalikan gelang itu ke Mayang untuk dipakai lagi. Lalu, Tio izin pulang karena hari semakin malam. Ibu Azmir pun mengantar Mayang untuk istirahat. Wajahnya mulai pucat karena gelangnya sempat dilepas.

"Minggu depan saya ke sini lagi untuk membantu. Sekalian jenguk neneknya," kata Pak Tio.

"Waduh, minggu depan, Pak? Apa nggak kelamaan?" Azmir menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Lama sekali, padahal ia sudah tak sabar ingin mengungkap kejadian sebenarnya.

"Tugas saya banyak di daerah Bandung. Kayaknya nggak bisa ditunda. Saya pulang hari Minggu, bisa ke sini besoknya," jawab Pak Tio. Azmir pun manggut-manggut pasrah. Tidak bisa dipaksakan juga karena Pak Tio lumayan sibuk.

Tio dan bapaknya dipersilakan pulang. Sebelum itu, ibu Azmir memasukkan beberapa lembar uang ke kantong Pak Tio. Ia tahu orang tua itu menolak jika diberikan langsung, harus dipaksa dulu.

Azmir masuk ke kamar Mayang, menatap kekasihnya yang tertidur lelap.

"Sabar, ya, Sayang. Bentar lagi kamu sembuh, Mas bakal usahain. Semahal apa pun," ucapnya lalu mengecup kening Mayang.

***

Mayang [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang