Luka Mayang 05

1.7K 72 1
                                    

Aku mengetuk pintu kamar Nenek. Sikapnya jadi aneh dan aku mulai khawatir. Tidak ada jawaban di sana. Berulang kali menyebut namanya tapi ia tak menjawab apalagi membukakan pintu. Ada apa denganmu, Nek? Jangan membuatku takut.

"Nek ... Nenek kenapa?"

"Nek, bukain pintunya. May mau ngomong," lanjutku sambil terus mengetuk pintu.

"Nenek, jangan bikin May khawatir gini. Tadi kenapa?"

Seseorang menepuk bahuku—pelan, tapi cukup mengejutkan. Aku berbalik dan mendapati tubuh besar itu sedang memperhatikanku sejak tadi.

"Kenapa?" tanyanya.

"Nenek ... dia aneh tadi, Pak. Tiba-tiba masuk kamar, nggak mau lihat Mayang," jawabku. Bapak pun mendesah pelan, ia maju selangkah dan ikut mengetuk pintu.

"Kamu yakin nenek ada di dalam?" tanya bapak memastikan.

"Yakin, Pak. Tadi May lihat sendiri nenek ketakutan terus masuk ke kamar," jawabku dengan mata yang mulai basah. Ya, air mata ini akan segera jatuh membasahi pipi. Cengeng, sangat. Jika melihat perubahan nenek yang tiba-tiba, aku khawatir dan entah mengapa perasaan ini mendadak kurang nyaman.

Bapak mundur selangkah lalu merangkul bahuku. Sebuah pelukan yang begitu nyaman dari cinta pertama anak perempuannya. Namun, entah mengapa, pelukan ini terasa familiar. Aku nyaman, aku merasa lebih disayangi dari sebelumnya. Sebuah dekapan kasih sayang yang tak pernah Azmir berikan padaku. Jarang sekali ia memeluk, hanya ketika ingin atau rindu.

"Emang tadi nenek kenapa?" tanya bapak sambil melonggarkan pelukannya.

Aku melepas pelukan dan menceritakan kejadian tadi. Bapak manggut-manggut tanda mengerti. Ia menghela napas berat, lalu beberapa kali menggumam. Ikut penasaran dan khawatir, ketakutan apa yang menimpa nenek.

"Nenek!" Pupil mataku melebar bersamaan dengan seulas senyum. Nenek membukakan pintu sambil membawa ....

Apa ini? Dupa?

"Nek, apa-apa ini?" tanyaku penasaran. Nenek hanya diam tanpa menatapku sama sekali. Ia sibuk menyebar asap tiga dupa ke sekeliling tubuhku. Bau asapnya kali ini sedikit berbeda dari dupa Mbah Rondo beberapa waktu lalu. Lebih pekat dan membuat dada sesak.

Aku terbatuk-batuk, tapi nenek seakan tak peduli akan hal itu. Bapak membawaku ke sofa, diikuti nenek dari belakang. Sesekali menoleh ke belakang, wajah nenek berubah ketakutan. Ia mendongak dan kami beradu tatap.

"Nek!"

Mulutnya komat-kamit membaca mantra. Sedangkan aku dipaksa duduk oleh bapak, tapi menolak. Nenek berdiri tepat di hadapan, dengan dupa yang sudah terbakar setengahnya. Seperti dugaan, akan ada hal yang terjadi. Kepala mulai pusing, mata kabur, dan tangan kaki bergetar.

Aku menutup mata karena merasa tidak nyaman. Seperti ada kekuatan lain yang memaksa untuk keluar. Ya, aku seperti bermimpi sekarang. Tak bisa berbuat apa-apa tapi masih merasakan sesuatu di luar kesadaran. Ini semacam ketindihan, bedanya aku tidak berbaring.

Samar-samar, bapak memanggil seseorang untuk mengambil air minum.

"Kaukah itu?" Suara nenek, sayup-sayup terdengar. Mata seakan terkunci, sulit sekali untuk dibuka. Seluruh tubuh kaku dan seperti ada jiwa lain yang memaksa untuk mengendalikanku sepenuhnya. Hatiku menangis, ingin lepas dari belenggu jin ini secepatnya.

"Aaargh!"

"Mayang!"

***

Ketika sadar, aku sudah berada di dalam kamar. Gelap, sepi, tanpa seorang pun yang menemani. Hanya ada sepiring beras dan garam di samping—yang entah untuk apa diletakkan di sini. Saat hendak bangkit dan mengambil air, tiba-tiba aku merasa perih luar biasa di daerah tangan.

Mayang [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang