"Lily,"
"Liandra," koreksiku.
"Tapi saya mau manggil Lily,"
"Pak-"
"Saya nganggap kamu temen, bukan murid." potongnya cepat.
"Saya nganggap Bapak 'guru'."
"Ya, terserah." katanya, dih?!
"Ly,"
"Apa?" sahutku tanpa menoleh, masih berukutat dengan materi.
"Lapar gak?" tanyanya.
"Kata Ibu kalo ngemil sambil belajar gak akan fokus."
"Loh saya 'kan cuma nanya? Saya gak nawarin makan,"
Sontak aku menoleh ke dia. Bisa-bisanya! Tapi dia cuma diam sambil nahan ketawa dengan pandangan dialihkan. Apa-apaan dia? Kau harus tau bahwa penampilan dia itu biasa-biasa aja. Selalu begitu-begitu aja, pun hari ini dia masih dengan rambut rapi dan kacamata tipisnya, pula kaos merah dan jam tangan di pergelangan kirinya.
"Saya bercanda, Lia..." katanya mendapati aku cuma diam menatap dia.
"Liandra." koreksiku lagi.
"Iya, Liandra, lupaaaaa..."
"Ck," kembali aku fokus ke materi.
"Saya pesenin lagi cemilan, ya. Minuman juga, suka kopi gak?"
"Gak laper, udah tadi bareng temen."
"Saya gak nawarin, saya maksa."
"Pak Rega, bapak kenapa sih?"
"Kenapa apanya?"
"Terserah lah."
Dia panggil pelayan dan mulai pesan, aku gak mau tau dia pesan apa aja. Sebenernya aku kadang lapar sih tiap belajar tapi Ibu bilang jangan makan sambil belajar.
"Gimana? Paham? Bagian mana yang mau dijelasin sebelum kita lanjut ke soal,"
"Ini Pak, yang ini-"
"Mana coba sini," dia beringsut mendekat. "Yang ini?"
"Iya."
"Yang ini?"
"Iya, Pak."
"Yang ini,"
"Astaga, iya Pak-"
Begitu menoleh jarak mukanya dekat tapi gak sedekat adegan drama atau novel, ya! Intinya dekat karena begitu memalingkan antensi aku langsung terkunci di dua kenari. Matanya, legam.
"Kenapa matamu pakai lens? Gak pakai juga cantik kok."
Aku menjauh dulu sedikit.
"Iya, gak pakai aja cantik apalagi kalo pakai," jawabku.
Pak Rega malah ketawa.
"Iya deh bener, sini kita bahas yang ini."
Sore itu aku belajar seperti biasa dengan Pak Rega, aku sebetulnya penasaran dia betul-betul pesan makanan gak ya? Karena ditunggu pun gak kunjung datang!
"Gitu, ya, Lia. Pembahasan hari ini sampai ini dulu."
"Liandra." koreksiku lagi-lagi.
"Astaga, Lia. Lupa saya, sumpah. Kamu ini fokus kemananya sih kok malah fokus sama kesalahan saya terus?" tanyanya dengan ketawa kecil tapi gak aku jawab.
Beberapa saat setelahnya barulah pelayan datang mengantarkan pesanan Pak Rega tadi. Dasar, masa pelayanannya lelet begini?
"Nungguin?"
"Hah? Eh? Enggak!" sanggahku.
Pak Rega nahan ketawa, emangnya kelihatan, ya?!
"Nih, dicharge pake ini." katanya sambil menyodorkan gelas tinggi isi-sebentar.
Ini minuman kesukaanku disini, tau!
"Makasih, Pak."
"Sama-sama, Liandra."
Dia pesan beberapa cemilan juga, bagus deh. Aku agak-agak ragu gitu sih makannya tapi Pak Rega kelihatan lempeng aja, ya udah.
"Pak, saya pulang dulu," pamitku sambil buka ponsel, berniat mau pesan ojek online.
"Oh, ayo,"
Kok ayo sih?!
"Maksudnya?"
"Maksudnya apa?" tanyanya balik.
"Maksudnya Bapak bilang ayo, apa?"
"Oh, ya ayo saya anterin lah."
"Oh gak usah, saya bisa pulang sendiri pake-"
"Guru 'kan orang tua kedua diluar rumah, Ly."
"Tapi 'kan Bapak cuma guru les?"
"'Kan sama-sama guru?"
IYA DEH.
"Lagian masa kamu selesai belajar sama saya, saya tinggalin gitu aja. Tanggung jawab lah saya sama orang tua kamu juga."
"Iya."
Kami keluar dan ke area parkiran, mobil hitam minimalis yang selalu kinclong itu jadi objek yang pelan-pelan kuhafal betul. Kami pulang dan jalanan sedikit padat. Ini pertama kali aku naik mobilnya dan mobilnya itu wangi, wangi apa ya sejenis wangi permen tapi soft.
"Lily,"
"Hm,"
"Kamu gak suka belajar?"
"Biasa aja." jawabku dengan arah pandang ke jendela sedari tadi.
"Oh, kalo gitu, kamu gak suka ya belajar sama saya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Dua Lusin
Short StoryBerdua tanpa makna, berada tanpa rencana. ©anyanunim, 2019 ⚠️ Mengandung beberapa adegan yang ambigu/mengganggu.