Aku gak mau percaya dengan apa yang aku rasain soal Pak Rega jadi beda. Aku gak mau. Aku masih mau ketemu Pak Rega.
"Bapak kenapa gak pernah ke rumah lagi?"
Selanjutnya hening setelah aku melontarkan pertanyaan tersebut sebab Pak Rega kelihatan gak punya jawaban untuk dikeluarkan.
"Saya berhenti ngajar."
"Tapi Bapak masih ngajar Yasaㅡ"
"Saya berhenti ngajar kamu."
Adalah kalimat yang gak pernah aku kira bakal bikin aku sedih sekaligus sakit hati. Jarak aku dan Pak Rega berdiri gak terlalu dekat, gak terlalu jauh. Gak jelas, sama seperti aku dan dia selama ini kayaknya.
"Minggu ini minggu terakhir saya ngajar."
Rasanya yang ada aku malah makin sedih tau itu.
"Maksudnya?"
"Jelas 'kan yang saya bilang?" katanya.
Saat itu dikepalaku cuma, kok dia jadi kayak gini sih?! Sekaligus rasanya aku hilang akal. Rasanya aku mau marah, kesal, sedih, semuanya jadi satu.
"Aku gak mau, Pak. Aku mau terus ketemu kalopun Bapak gak ngajar aku lagi aku gak peduli. Aku masih mau ketemu, jangan kemana-manaㅡ"
"Tapi saya gak mau ketemu kamu lagiㅡ"
"Tapi kita 'kanㅡ"
"Kita kenapa, Liaㅡ"
"Lia suka sama Pak Rega."
Hari itu Pak Rega nyebut namaku lagi, dan aku juga nyebut namaku sendiri sekaligus ngaku. Aku kira setelahnya bakal sesuai apa yang aku pikirin. Kalaupun gak bisa ketemu Pak Rega sesering dulu lagi, aku pikir Pak Rega mau buat terus komunikasi denganku, dengan begitu aku tau bahwa dia gak kemana-mana. Beberapa saat dia diam, gak jawab apapun. Aku pikir ini awal dari apa yang aku perkirakan, tapi yang gak pernah aku harapkan ternyata malah dia lontarkan.
"Apapun yang kamu rasain tentang saya, lupain aja. Saya gak punya perasaan yang sama." katanya.
Rasanya aku mau jadi tuli aja.
"Terus selama ini Bapak pikir ngapainㅡ"
"Saya cuma bercanda."
Setelah bilang itu Pak Rega masuk mobilnya, dua-duanya meninggalkan aku yang berdiri dengan mata yang panas banget rasanya mau nangis.
Hari itu aku langsung pulang ke rumah tanpa bilang ke Yasa. Aku naik umum dan sepanjang jalan aku nahan nangis meski gagal. Dibanding malu dilihatin orang aku lebih sakit hati gara-gara laki-laki yang selama ini aku kenal dengan nama Rega. Aku sampai di rumah dan begitu buka pintu, yang pertama aku lihat disana adalah laki-laki juga. Dengan titel Ayah yang aku gak tau dia masih cocok dengan sebutan itu atau enggak.
"Kak..."
Belum berapa langkah tangisanku pecah. Sore itu aku nangis di rumah, betulan nangis. Ada satu orang yang langsung peluk aku dan entah kenapa aku gak nolak. Gak bisa. Waktu itu rasanya aku gak bisa untuk gak nangis. Mataku panas, dadaku sesak. Rasanya kayak, aneh, aku gak tau akhirnya aku bakal ngerasain hal kayak gini.
"Anak Ayah... pasti selama ini Kakak gak pernah nangis, ya?"
"Hari ini nangis aja sepuasnya, habisin. Ayah temenin."
"Maafiin Ayah ya, Kak. Selama ini Kakak pasti capek, ya."
Hari itu adalah hari dimana aku mengakui kalau dia adalah Ayah. Hari dimana aku kembali punya laki-laki yang katanya terbaik sekaligus kehilangan laki-laki yang lainnya.
—end—
bluehanabi, 2020+ trailer
KAMU SEDANG MEMBACA
Dua Lusin
Short StoryBerdua tanpa makna, berada tanpa rencana. ©anyanunim, 2019 ⚠️ Mengandung beberapa adegan yang ambigu/mengganggu.