Tujuh

323 59 10
                                    

*
H A P P Y
*
R E A D I N G
*

Minggu.

Terletak di penghujung hari.

Dimana, hampir kebanyakan orang menunggu ia datang. Selain karena hari libur, biasanya minggu juga merupakan hari berkumpul. Entah sama siapapun itu. Dimana pun tempatnya.

Tapi, seperti yang barusan saya bilang diatas. 'Hampir kebanyakan orang menunggu ia datang'.

Hampir.

Berarti tidak semua.

Seperti, Mishel contohnya. Minggu pagi nan segar ini justru di isinya dengan rebahan malas di kasur. Niat untuk mandi secuil pun bahkan tak terlintas di benaknya sama sekali.

Mishel menggulingkan tubuhnya ke kanan. Dia menguap malas. Penampilannya sekarang ini justru membuat orang yang melihatnya merasa prihatin. Dan, sedikit takut mungkin.

Masalahnya, rambut ikal sebahunya kini sudah seperti sapu ijuk. Belum lagi ada garis mengering yang terbentuk dari ujung bibirnya sampai ke pipi. Ih, pokoknya Mishel serem! Plus, jorok banget!

"Hoammm!!" Mishel memejamkan matanya. Dia memeluk gulingnya posesif. Seakan takut gulingnya itu pergi.

Drtt.. Drtt..

Suara dering ponsel membuat Mishel reflek membuka kembali matanya. Tangannya meraba-raba sekitar mencari benda sejuta umat miliknya.

Fariz.

"Halo?" Mishel mengangkat panggilan telepon. Dia menggosok-gosok hidungnya yang terasa gatal.

"Shel?" Jauh di sebrang sana Fariz menggaruk kepalanya canggung. Padahal ia dan Mishel hanya berbicara melalui via telepon. Tapi kenapa rasanya deg-degan gini?

"Ngh.. nanti siang jadi, kan?"

Mishel memang sudah bilang ke Fariz, menjemputnya siang saja. Soalnya sorenya ia akan menonton Alvaro tanding basket.

Awalnya Fariz tampak sedikit kecewa. Lantaran Mishel main mengganti waktunya seenaknya. Demi Mishel, Fariz bahkan membatalkan janji latihan bola bersama teman-temannya.

Karena ini kencan pertama mereka. Fariz tak mau dinilai buruk didepan Mishel.

"Hm." Mishel berdehem singkat.

"Gue jemput ke rumah lo jam sebelas aja, ya?"

"Iya."

"Oke, lo jangan lupa siap-siap."

Fariz terdiam beberapa lama. Sampai-sampai Mishel kira sambungan telah terputus.

Saat Mishel hendak memutuskan sambungan, suara Fariz kembali terdengar. Membuat ia mengurungkan niatnya.

"Shel? Ngh.. sampai nanti."

Tutt.. Tutt..

Sambungan telepon terputus. Mishel mengerutkan dahinya heran. Kemudian mengedikkan bahunya tak peduli.

Masih ada waktu dua jam lagi untuk bersiap.

Santai.

Untuk apa terburu-buru.

Mishel kembali memejamkan matanya. Mencoba untuk tidur lagi. Tapi sepertinya, dewi fortuna sedang tidak memihak pada Mishel. Karena tiba-tiba saja, ponselnya kembali berdering hebat.

Namun, nada deringnya Mishel buat berbeda. Sehingga tanpa melihat pun, Mishel sudah tau siapa yang sedang menghubunginya ini.

"Hm?"

Best Friendship (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang