Sepuluh

263 36 6
                                    

___
H
A
P
P
Y

|R E A D I N G|

"Alvaro." Kate mencegat Alvaro saat cowok itu hendak ke toilet.

Alvaro berbalik. Tampak kaget, lalu tersenyum. "Ya, tante?"

Kate menghela napas. "Tante takut~ traumanya Icel gak papa, kan?" Sorot mata Kate jelas menampilkan ketakutan yang nyata. Khawatir akan kondisi sang puteri.

Alvaro tersenyum menenangkan. "Tante gak usah khawatir. Icel gak papa."

Ragu-ragu Kate mengangguk. Dia harus percaya pada Alvaro. "Tante percaya sepenuhnya sama kamu Alvaro." Napas Kate tercekat. Dia menatap Alvaro sendu seperti hendak menangis. "Jangan biarin Icel sendirian. Jangan biarin dia pergi sama orang lain lagi. Kamu~ mau kan jagain Icel?"

Alvaro tersenyum canggung. Kemudian dia mengangguk cepat.

Kate tersenyum lega. Hanya Alvaro yang ia percaya untuk menjaga puteri satu-satunya itu.

Trauma yang Mishel alami ternyata masih membekas sampai sekarang. Padahal Kate dan Juan sudah membawanya berobat ke psikiater.

Sempat sembuh memang, tapi sekarang kembali kambuh.

"Kamu tau nama cowok yang jalan sama Icel tempo hari?"

°'''''''''''°

"Malam, tante."

Fariz berdiri tepat di ambang pintu rumah Mishel. Sebenarnya, dia berencana melihat kondisi gadis yang diam-diam di taksirnya itu dari kemarin. Tapi, karena suatu urusan mendadak jadinya tidak sempat.

Cukup kaget Fariz, karena ternyata, yang membukakan pintu justru mama nya Mishel.

"Iya, malam. Kamu~ Fariz, kan?" Tanya Kate. Matanya lalu beralih ke tangan kanan Fariz yang menenteng sebuah kotak roti. Melihat logonya saja Kate sudah tau kalau itu toko roti ternama di Jakarta.

Fariz nyengir canggung. "Iya, tan. Mishel nya ada?"

Kate terdiam lalu mengangguk kaku. "Mari, masuk."

°'''''''''''''''''''°

"Mishel nya ada di kamar. Lagi tidur. Mau tante bangunin?" Bohong Kate. Sebenarnya puterinya itu tidak tidur. Mishel hanya nonton film di temani Alvaro sambil rebahan malas.

Fariz menggeleng kikuk. "Enggak usah, tante. Saya cuma mau kasih ini aja." Fariz menyerahkan sekotak roti yang sejak tadi di tentengnya.

Kate menerimanya. Dia duduk di sofa yang berhadapan dengan Fariz.

"Keadaan Mishel gimana, tan? Baik-baik aja, kan?" Tanya Fariz memastikan. Sungguh dia sangat khawatir. Ada perasaan takut yang kian menggerongoti.

Kate tersenyum simpul. Kemudian dia mengangguk.

Fariz menghela napas lega. "Syukurlah." Perasaan khawatir yang berapa hari ini menghantuinya langsung lenyap seketika. "Jujur, saya sama sekali gak tau kalau Mishel ada trauma. Sumpah demi tuhan saya gak ada maksud ninggalin dia." Fariz berkata serius. Tangannya membentuk seperti peace.

"Tante tau." Jawab Kate tenang. Dia menghela napas sesaat. "Tante mau nanya sama kamu Fariz. Boleh?"

Fariz mengangguk tenang.

Best Friendship (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang