Saat ini Renata dan juga Angkasa tengah berada di taman rumah sakit, keduanya berhenti di dekat sebuah kolam ikan dengan pohon rindang untuk berteduh.
"Kenapa lo ngajak gue ke taman rumah sakit?" Tanya Renata kepada Angkasa.
Angkasa hanya tersenyum ketika mendengar pertanyaan adik tirinya itu. "Enggak ada alasan apa-apa Kak, aku cuma bosen aja di kamar rawat."
Renata hanya mengangguk. "Emang lo udah sering dirawat disini?"
"Gak keitung Kak, sejak umur aku empat belas tahun sampe sekarang aku selalu aja keluar masuk rumah sakit."
"Reaksi lo waktu lo tau ternyata lo kena Kanker Paru-paru gimana? Bukannya umur lo waktu itu masih muda?"
"Reaksi aku? Gak tau deh Kak. Aku cuma inget Bunda dateng ke rumah terus masuk kamar aku sambil meluk tapi dia nangis, dan pas aku tanya kenapa, Bunda cuma jawab kalo aku harus kuat, harus bisa lawan monster nya. Dan aku bingung waktu itu, smape akhirnya aku denger Bunda marah sama Ayah dan dari situ aku tau kalo aku sakit."
"Bunda sama Ayah lo pernah berantem karena penyakit lo?"
Angkasa mengangguk. Ia kembali mengingat-ingat dimana dirinya mendengar kedua orang tuanya tengah berargumen di ruang tamu rumah megah milik Bundanya.
"Ini semua karena kebiasaan kamu Mas! Anak kita jadi sakit karena kebiasaan kamu!"
"Apa maksud kamu?!"
"Kasa sakit, dia sakit Mas! Kanker Paru-paru. Seharusnya kamu denger perkataan aku, berhenti buat ngerokok apalagi kamu sering ngerokok di depan Kasa. Dan sekarang kamu bisa lihat bukan?! Anak kita sakit! Kasa sakit Mas! Harusnya kamu sadar itu!"
Marcio yang saat itu baru saja pulang kerja, langsung terkejut dan tidak menyangka jika anaknya akan terkena penyakit mematikan itu. "Kamu bohong kan?"
"Ngapain aku bohong Mas? Ini semua karena Kamu!"
"Terus waktu itu lo ngapain? Lo diem aja di belakang pintu kamar lo sambil denger Ayah sama Bunda lo berantem?"
"Waktu itu aku bingung Kak, coba aja Kakak jadi aku. Aku bingung harus ngapain, waktu tau ternyata di dalam tubuh ini ada monster jahat, aku gak tau harus ngapain."
Renata mengerti dengan semua perkataan adik tirinya, hingga akhirnya sebuah pertanyaan yang keluar dari mulut Angkasa membuatnya langsung menatap adik tirinya itu dengan tatapan sendu.
"Kalo Mama Kak Tata gimana? Kata Kak Tata waktu itu Kakak gak tau kalo sebenernya Mama Kakak sakit?"
Renata menghela nafasnya berat sebelum ia menganggukan kepalanya. "Gue emang gak pernah tau kalo almarhumah Mama ternyata sakit parah dan entah ini kebetulan atau enggak penyakitnya sama kayak lo."
"Kanker Paru-paru juga?"
Renata mengangguk. "Gue tau Mama sakit itu sehari setelah Mama dimakamkan, Ayah cerita ke gue kalo ternyata Mama sakit. Gue waktu itu gak bisa ngebayangin gimana tersiksanya Mama waktu ngerasain sakitnya kayak gimana."
"Apa Kak Tata marah sama Ayah waktu Ayah kasih tau kalo ternyata Mama Kak Tata sakit?"
Renata kembali mengangguk. "Gue marah, tapi gue gak bisa marah lama sama Ayah, karen Ayah sama sedihnya kayak gue waktu itu, atau mungkin lebih sedih?"
Angkasa mengangguk, dan tanpa disadari oleh Angkasa tangan Angkasa mengusap punggung Kakak tirinya yang sudah bergetar karena menangis.
"Maaf ya Kak udah buat Kakak sedih lagi."
Renata mengusap air matanya dan menggeleng. "Bukan salah lo, guenya aja yang masih terus inget Mama."
"Aku yakin Mamanya Kak Tata pasti sekarang udah di surga, Kak aku boleh tanya sesuatu?"
"Apa?"
"Kalo misalnya nanti aku pergi ninggalin Kakak, Bunda sama Ayah. Kakak mau ya ngejagain Bunda?"
Renata menatap tajam Angkasa. "Gue gak suka lo ngomong gitu, lo harus optimis buat sehat. Gue yakin lo pasti bisa sembuh."
Angkasa kembali mengangguk.
"Lo gak boleh ngomong kayak gitu, seharusnya lo mau berjuang lebih lagi buat kesembuhan lo. Ya meski kata Dokter lo gak bisa sembuh, tapi siapa tau aja mungkin suatu hari bakalan ada keajaiban."
Angkasa hanya tersenyum ketika mendengar perkataan Kakak tirinya itu dan mengangguk. Di dalam hatinya ia mengiyakan semua perkataan Kakak tirinya itu, seharunya ia tidak seputus asa seperti saat ini, ia harusnya dapat mengingat semua perjuangan Bundanya yang telah memperjuangkan segala cara untuk kesembuhannya, biarlah waktu yang akan menjawab semuanya. Untuk saat ini dia hanya bisa berharap untuk kesembuhannya, semoga saja Allah SWT mau memberikan kesembuhan untuknya.
"Masuk yuk, lo udah lama diluar."
"Yaudah Kak, ayo."
Renata mengambil alih kursi roda Angkasa dan mendorongnya untuk kembali ke ruang rawatnya. Sesampainya di ruang rawat, Renata tersenyum ketika melihat Ayahnya ternyata sudah berada di dalam kamar rawat Angkasa.
"Kalian darimana?" Tanya Andra ketika melihat kedua anaknya baru saja kembali ke ruang rawat Angkasa.
Renata tersenyum. "Habis nemenin Kasa jalan-jalan Yah. Kok Ayah udah pulang? Emang di kantor lagi gak banyak kerjaan?"
Andra menggeleng. "Ayah minta tolong ke Asisten Ayah buat gantiin Ayah rapat malam ini, dan kamu tau Ren? Fika sama Radit terus nanyain kamu."
Renata terkekeh. "Mereka emang kayak gitu Yah."
Andra bangkit dari duduknya untuk membantu Angkasa berbaring di ruang rawat, namun telinganya mendengar suara nafas yang cukup berat dari Angkasa, ia menolehkan kepalanya dan dibalas oleh senyuman manis Angkasa. "Sesek ya?"
Angkasa hanya bisa mengangguk.
Tanpa menunggu waktu yang lama, Andra langsung menekan tombol yang ada di dekat ranjang rawat Angkasa. Lima menit kemudian, Atlanta datang dengan dua orang perawat. "Ada apa Mas?"
"Coba kamu denger suara nafasnya Kasa."
Atlanta berjalan mendekat ke arah ranjang anaknya dan menekan sedikit dadanya sambil telinganya ia dekatkan ke arah wajah anaknya. "Sakit gak? Bunda teken sedikit ya?" Atlanta menekan dada Angkasa tidak terlalu keras, namun ia dapat mendengar suara rintihan Angkasa.
"S..sakit Bun.."
Atlanta menyudahi menekan dada anaknya itu, ia memerintahkan kedua perawat yang sedari tadi hanya memperhatikan Atlanta untuk memasangkan masker oksigen, padahal anaknya itu sudah dibantu oleh nassal canulla, namun Atlanta hanya menatap sendu anaknya.
"Kuat ya.."
Angkasa mengangguk, ia tengah berusaha mengontrol jalur nafasnya yang terasa sangat menyakitkan setiap ia mencoba untuk menarik nafasnya.
Renata dan Andra berdiri tidak jauh dari ranjang Angkasa, Renata menatap sendu adik tirinya itu. Ia merasa bersalah karena sudah membuat adiknya itu berdiam terlalu lama di luar. "Pasti ini salah aku Yah.."
Andra yang mendengar perkataan putrinya langsung merangkul pundak kecil Renata. "Bukan, Ini bukan salah kamu sayang.."
Setelah kepergian dua orang perawat yang sebelumnya datang bersama dengan Atlanta, kini di dalam ruangan hanya ada Atlanta, Angkasa, Andra dan juga Renata. Angkasa sudah terlelap semenjak Atlanta menyuntikan obat ke selang infus anaknya.
"Maafin aku ya Bun, gara-gara aku Angkasa jadi sakit lagi."
Atlanta tersenyum ketika mendengar perkataan Renata. "Bukan salah kamu sayang. Bunda lupa kasih tau kamu, kalo paru-paru Angkasa udah gak berfungsi dengan baik, karena kanker yang menyerangnya. Jadi kamu jangan khawatir ya.."
Renata mengangguk. Mulai saat ini ia berjanji kepada dirinya sendiri untuk menjaga adik tirinya itu dan akan mengesampingkan egonya.
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
STEPBROTHER ✔
FanfictionRenata tidak menyangka tepat satu tahun setelah kepergian Ibunya, sang Ayah tiba-tiba memberitahu dirinya jika Ayahnya itu akan menikah dengan seorang janda yang telah dikaruniai anak seorang lelaki. Apakah Renata akan bisa menerima anggota baru di...