Pemikiran Seorang Ibu untuk anaknya

1.4K 121 8
                                    


Hari ini tidak seperti hari biasanya, ruang rawat Angkasa cukup ramai karena kedua sahabatnya datang untuk menjenguknya, mereka berdua ialah Erik dan juga Satria.

"Kapan lo boleh balik?" Tanya Erik yang duduk di sofa dekat ranjang rawat Angkasa.

Angkasa menggeleng. "Gak tau, Bunda belum ijinin buat pulang."

Satrio yang sedari tadi duduk di dekat kaki sahabatnya itu hanya mengangguk, sedangkan Erik yang menanyakan hanya dapat menatap sahabatnya dengan tatapan sendu. "Gue harap lo bisa cepet sembuh. Gue bakalan terus support lo, pokoknya lo harus sembuh."

Angkasa tersenyum. "Makasih Rik, Sat. Gue beruntung punya temen kayak kalian."

Erik tersenyum entah kenapa hatinya terasa menghangat ketika mendengar suara lembut Angkasa. "Oh iya, Ka Renata kemana? Kok gue gak liat dia dari tadi?"

"Dia masuk kerja hari ini, tadinya dia pengen disini tapi sama Ayah dipaksa masuk kerja."

"Kasa, gue mau tanya sama lo. Tapi lo harus jawab jujur."

Alis Angkasa menyerit ketika mendengar permintaan sahabatnya itu. "Pertanyaan apa?"

"Lo bahagia punya Ayah tiri dan Kakak tiri kayak Kak Renata sama Om Andra?"

Angkasa terdiam, sebenarnya itu adalah hal mudah untuk ia jawab tapi entah mengapa dia tidak ingin menjawabnya.

"Kasa? Lo kenapa kok bengong?"

"Gue bahagia." Hanya kalimat itu yang terlontar dari mulut Angkasa. Tidak ada lagi penjelasan yang membuat dirinya bahagia.

Kedua sahabatnya hanya mengangguk. "Kita berdua ikut bahagia kalo lo bahagia dengan anggota keluarga baru lo."

Angkasa mengangguk. "Gue bahagia, selagi Bunda bahagia gue bakalan mencoba ikut bahagia,  karena kebahagiaan gue cuma cukup ngeliat bunda bahagia."

Satria merasa tersentuh dengan ucapan sahabatnya itu, sungguh ia merasa sangat beruntung bisa berteman dengan Angkasa karena tidak semua orang memiliki sikap seperti Angkasa, sahabatnya itu selain tampan dia juga sangat baik hati, bahkan ia akan dengan mudahnya memaafkan orang-orang yang sudah mengkhianatinya.

Disaat ketiganya tengah sibuk membicarakan masa-masa saat mereka menduduki bangku sekolah mengengah, Tidak lama kemudian Atlanta datang bersama dua orang perawat yang selalu ikut memeriksa keadaan Angkasa.

Atlanta tersenyum kepada Satria dan juga Erik. "Kalian udah lama disini?"

Erik mengangguk. "Udah Bun, Kita kesini mau jenguk Kasa. Takutnya dia kangen sama kita berdua."

Atlanta hanya bisa menggelengkan kepalanya ketika mendengar perkataan Erik. Setelah menyapa kedua teman anaknya itu, Atlanta berjalan mendekati ranjang anaknya dan mulai memeriksa keadaannya.

"Gimana? Ada yang sakit?" Tanya Atlanta sambil memeriksa pernapasan anaknya yang masih terdengar berat meski dengan bantuan nassal canulla.

Angkasa mengangguk. "Dada aku sakit Bun setiap aku narik nafas."

Atlanta tersenyum sendu ketika mendengar keluhan anaknya. Sebenarnya ia mencoba untuk kuat ketika mendengar keluhan anaknya, tapi ia tetaplah seorang Atlanta yang akan lemah jika dihadapkan dengan kondisi putranya yang seperti ini.

"Gak apa-apa sayang, nanti Bunda kasih obat ya. Sekarang kamu tidur selagi Bunda harus periksa kamu. Bunda tahu kamu pasti capek, sekarang kamu tidur ya.."

Angkasa hanya dapat menganggukan kepalanya dan menutup kedua matanya. Sungguh sakit di dada sebelah kirinya cukup menyiksanya, ia tidak tahu harus bagaimana lagi untuk menahan rasa sakitnya. Atlanta menyuntikan obat ke selang infus anaknya dibantu oleh dua orang perawat. Setelah selesai ia tidak langsung pergi keluar melainkan meminta waktu kepada kedua sahabat anaknya untuk meninggalkan dirinya berdua dengan sang putra. Erik dan juga Satria mengerti dan mengangguk, mereka berdua pergi meninggalkan ruang rawat Angkasa dan membiarkan sepasang Ibu dan anak itu menghabiskan waktu mereka.

Setelah dirasa kedua sahabat anaknya telah meninggalkan ruangan. Atlanta duduk di samping ranjang anaknya dan terus menggenggamnya dengan erat. Ia tahu jika anaknya tidak akan terusik dengan gerakannya, karena ia sengaja memberikan sedikit obat tidur di obat yang telah ia suntikan tadi dan membiarkan anaknya beristirahat.

Atlanta mengusap air mata yang jatuh tanpa ia sadari, entahlah dia tidak pernah terbiasa dengan kondisi putranya, meski ini bukan yang pertama kalinya ia melihat anaknya seperti ini, tapi tetap saja ia merasakan kesedihan yang sangat mendalam. Terkadang ia selalu menanyakan takdir yang menimpa anaknya. Apa salah anaknya hingga ia diberikan cobaan yang berat seperti ini. Jika memang Tuhan ingin menghukum Atlanta ia akan menerimanya dengan ikhlas tapi tidak dengan anaknya. Anaknya itu tidak salah sama sekali, bahkan Angkasa yang notabennya adalah anak yang sangat ceria dan selalu berpikiran positif namun siapa sangka ia selalu mengeluh dengan keadaan tubuhnya yang semakin hari melemah. Bahkan untuk bernafas saja harus menggunakan alat bantu dan hal itu yang membuat Atlanta semakin merasa bersalah.

"Maafin Bunda sayang, Bunda tau kamu pasti cape kan? Suatu saat nanti kalo kamu udah bener-bener cape Bunda gak bisa nahan kamu sayang." Alanta menjeda kalimatnya. "Maafin Bunda yang gak bisa buat kamu bahagia dan sehat seperti dulu lagi, Tapi kamu mau kan berjuang buat Bunda? Bunda akan melakukan semuanya buat kamu. Bunda janji."
Sambil mengusap kepala anaknya dengan sangat lembut Atlanta terus memandangi wajah terlelap anaknya dengan tatapan sendu.

"Terima kasih karena kamu udah hadir dalam hidup Bunda, kamu adalah pelengkap untuk Bunda yang enggak sempurna ini. Maafin Bunda yang gak bisa jaga kamu, maafin Bunda yang udah buat kamu kayak gini. Sekali lagi Bunda minta maaf."

-
-
-

Dua hari kemudian Angkasa sudah diperbolehkan untuk pulang karena keadaannya yang sudah membaik. Renata yang sudah datang untuk menjemput Angkasa nampak terus menemani adiknya yang duduk di pinggir ranjang dengan nassal yang entah sampai kapan akan menemaninya.

Renata terus menggenggam salah satu tangan Angkasa dengan erat.

"Kak Tata seneng aku pulang?"

Renata mengangguk. "Gue seneng, rumah sepi kalo gak ada lo."

"Kakak harus terbiasa." Kata Angkas sangat lirih, namun masih bisa terdengar oleh Renata.

Alis Renata menyerit. "Maksud lo? Kenapa lo ngomong kayak gitu?"

Angkasa menggeleng. "Enggak, Aku ngantuk kayaknya Kak. Maaf."

Tidak lama kemudian Andra dan juga Alanta masuk ke dalam ruang rawat Angkasa dan mengajak kedua anaknya untuk segera bersiap. Andra mengambil sebuah kursi roda untuk puteranya. "Sini Ayah bantu." Andra membantu Angkasa untuk duduk di kursi roda, Sedangkan Atlanta membantu membenarkan letak selang canulla yang digunakan oleh anaknya. Setelah dirasa sudah selesai, Andra mendorong kursi roda Angkasa diikuti oleh Renata dan juga Atlanta.








TBC

Tau kok aku udah lama gak update. Sebagai permintaan maaf aku up satu chapter aja yaa. Bukannya gak mau update, ini juga maksain karena hp akunya lagi enggak bisa di ajak kerja sama. Mohon pengertiannya yaa..

Minal aidzin walfaidzin ya kawan-kawan. Mohon maaf lahir dan batin.

Maaf kalo aku punya salah, sering php-in kalian tentang update, sering gak bales komen kalian. Mohon dimaafkan yaaa..














Itung-itung thr yaa dari aku😘

STEPBROTHER ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang