Kabar Buruk

1.6K 127 6
                                    


Sudah seminggu lebih Angkasa telah kembali ke rumah, meski sesekali ia merasakan sakit di dadanya dan mengeluh kepada sang Bunda, namun apa daya, Atlanta hanya bisa memberikan obat-obatan untuk penahan rasa sakit yang dirasakan oleh anaknya. Seperti sore ini Angkasa tengah melihat beberapa berkas milik Bundanya di ruang kerja sang Bunda dengan ditemani oleh segelas minuman hangat.

"Lo udah makan?" Tanya seseorang yang baru saja muncul di hadapannya  sambil membawa piring yang berisikan buah-buahan untuknya.

"Kak Tata? Udah pulang? Bukannya kata Ayah banyak kerjaan di Kantor?" Angkasa menyerit bingung ketika melihat Kakak perempuannya sudah pulang. Padahal saat ini waktu baru saja menunjukan pukul dua siang.

"Gue disuruh Ayah buat pulang duluan. Tadi Bunda kasih tau gue, katanya Bunda ada jam operasi hari ini dan bakalan pulang malem, jadi gue yang bakalan nemenin lo disini."

Angkasa mengangguk. "Yaudah. Makasih Kak buat buah nya."

"Sama-sama, lo udah makan?"

Angkasa menggelengkan kepalanya. "Belum."

"Kenapa? Ini udah lewat dari jam makan siang loh, dan lo belum makan?"

"Perut aku gak enak Kak, mual pengen muntah."

Renata menatap Angkasa dengan pandangan khawatir. "Mau gue telfonin Bunda?"

Angkasa menggeleng. "Gak usah Kak, Kata Kak Tata, Bunda ada jadwal operasi hari ini? Aku gak mau buat Bunda khawatir."

Renata menatap adik tirinya dengan tatapan sendu. "Yaudah, gue kasih tau Ayah ya?"

Melihat adik tirinya yang kembali menggeleng membuat Renata semakin merasa kasihan kepada adik tirinya itu. "Terus gue harus gimana? Biasanya lo makan atau minum apa?"

"Kakak minta tolong Mbak Shinta aja buatin teh anget. Udah itu aja."

Renata mengangguk. "Yaudah gue ke dapur dulu."

Renata pergi meninggalkan Angkasa di dalam ruang kerja Atlanta. Sedangkan Angkasa hanya duduk di salah satu kursi kerja milik Bundanya sambil mengurut pelan kepalanya yang mendadak sakit. Angkasa sebenarnya sudah biasa mengalami hal-hal yang seperti ini. Merasakan mual, sesak, pusing dan tiba-tiba keram itu adalah hal yang sudah ia rasakan sejak ia di vonis menderita Kanker paru-paru. Ia sebenarnya sangat merasa bersalah kepada Bundanya, Bundanya harus merasakan kesedihan dan juga kekhawatiran yang mendalam karenanya. Ia ingin sekali membuat Bundanya bahagia suatu saat nanti, tetapi ia tidak yakin dengan kondisi tubuhnya sekarang. Hampir setiap hari ia merasakan sakit di dadanya. Tapi apa boleh buat, inilah takdir yang diberikan Tuhan kepadanya dan ia harus menerimanya dengan ikhlas.

Tok Tok Tok

Angkasa membuka kedua matanya yang tadi sempat memejam untuk menghilangkan rasa sakit di kepalanya. "Mbak? Ada apa?"

"Saya bawain teh anget buat aden, Tadi Non Renata minta tolong buatin teh anget."

Angkasa mengangguk dan tersenyum. "Makasih Mbak."

"Sama-sama Den. Perutnya mual ya Den? Mau saya pijitin?"

Angkasa menggeleng. "Enggak usah Mbak, tapi aku mau minta tolong."

"Minta tolong apa Den?"

"Bantuin aku jalan ke kamar, badan aku lemes Mbak."

Mbak Shinta langsung mendekat dan menuntun anak majikannya yang terlihat cukup pucat dari biasanya. "Aden baik-baik aja kan?"

Angkasa hanya mampu mengangguk.

"Mau saya telfonkan Nyonya?"

Sebenarnya Angkasa tidak mau mengganggu Bundanya yang tengah bekerja, tapi apa boleh buat tubuhnya tidak bisa berkata jika ia tidak membutuhkan Bundanya. Dan dengan terpaksa Angkasa mengangguk.

STEPBROTHER ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang