Fee memutuskan resign dari tempat kerjanya dan menguras habis semua isi tabungannya untuk pergi travelling ke Benua Eropa.
Ini bukan perjalan biasa, ini adalah pelarian. Pelarian dari konyolnya hidup yang dijalanani Fee selama ini.
Fee berkenalan...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Semesta seolah bersekongkol dengan Gavin untuk meledeku. Aku tidak menemukan satupun taksi uber sejak keluar dari Terasa U Zlaté studně. Bukan cuma uber, taksi konvensional dan bis pun tidak ada yang lewat. Sedangkan jam oprasional trem juga sudah berakhir.
Memang ini sudah malam banget, tapi tidak adakah satu saja transportasi umum yang bisa mengantarku pulang sampai ke hotel? Apa aku harus jalan kaki?
Gavin terus menggumamkan kalimat-kalimat satir secara pelan sepanjang perjalanan kami menyusuri trotoar batu bata jalanan kota Praha. Mungkin dia sengaja begitu untuk memancingku agar mau berbicara dan menceritakan masalahku.
Tapi tidak! Aku tidak akan bicara!
Gavin terus bicara dan bicara dengan kalimat-kalimat yang semakin jelas menyinggungku. Aku nggak ngerti kenapa malam ini dia nyebelin banget. Apa karena efek alkohol yang ada pada minuman red wine-nya tadi?
Ah, alkohol memang membuat orang jadi tidak waras. Alkohol juga yang paling banyak menjadi sebab terciptanya segala bentuk kejahatan yang ada di bumi ini. Aku tidak suka berurusan dengan orang yang sedang berada dalam pengaruh alkohol, itu membahayakan. Aku sudah merasakannya kemarin di Berlin.
Apa Gavin akan melakukan hal yang jahat juga padaku malam ini?
Sepertinya tidak.
Semoga saja.
Tapi Gavin terus meracaukan kalimat-kalimat yang membuatku muak dan menyulut emosiku.
"Teruskan saja menyalahkan diri sendiri atas kematian orang lain. Kalau itu bisa membuatmu merasa nyaman. Ow ... Jangan-jangan kematian Josh W Bush juga karenamu. Jangan-jangan kamu adalah dalang penembakan waktu itu. Atau jangan-jangan kamu juga yang menabrak Puteri Diana di dalam trowongan gelap malam itu? Oh astaga! Apa kamu akan membunuhku juga? Apa aku harus waspada karena sekarang aku berjalan kaki di tengah malam bersama seorng pembunuh?"
"Gavin cukup!"
"Apa? Kenapa? Kamu merasa dirimu pembunuh, kan? Ya sudah sekalian saja anggap semua kematian adalah akibatmu." Dia tertawa, tawa mengejek yang membuat dadaku panas.
"Gavin diam!" Aku mengacungkan jari telunjuk tepat di depan wajahnya. Ku harap dia mengerti kalau aku muak mendengar ucapannya.
"Aku tidak bisa diam. Aku tidak bisa diam sepertimu. Aku ingin terus bicara. Kamu kan, tadi yang bilang kalau kita berbeda? Iya kita berbeda, aku si banyak bicara yang tanpa malu menceritakan hal memalukan diputusin pacar setelah delapan tahun karena pacarku berselingkuh dengan temanku sendiri. Sedangkan kamu ... Si pendiam yang menggap dirinya adalah pembunuh," katanya dengan menggebu-gebu.
Lalu dia menarik nafas dalam dan menghembuskannya secara kasar, "Kita berbeda! Benarkan, Pembunuh?"
PLAAAAKK!
Satu tamparan mendarat di pipi kiri Gavin. Aku mendesis tajam tepat di depan wajahnya. "Shut fucking up!"
Aku melangkah cepat meninggalkan Gavin yang berdiri membeku di tempatnya. Semoga dia tidak berlama-lama begitu, atau dia akan benar-benar menjadi manusia es.