9. The Girl with Two Bodyguards

545 88 25
                                        

Hari kedelapan, kami berancana mengunjungi Kinderdijk, dan Giethoorn

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hari kedelapan, kami berancana mengunjungi Kinderdijk, dan Giethoorn. Seperti hari sebelumnya, kami mengantarkan Anastasia ke sekolah nya terlebih dahulu sebelum memulai perjalanan.

Perjalanan dari Amsterdam ke Kinderdijk lumayan jauh. Kami harus menempuh perjalanan sepanjang sembilan puluh delapan kilometer.

Sejak keputusanku untuk membuka diri pada Jack kemarin, Jack semakin menempel padaku. Saat makan malam di rumahnya tadi malam, Jack bahkan tak segan untuk menyuapkan beberapa sendok makanan padaku di depan orang tuanya. Dan lihat sekarang. Dia memegang setir kemudi hanya dengan satu tangan dan satu tangannya yang lain menggenggam tanganku.

Kami tak banyak bicara sepanjang perjalanan, hanya suara musik dari audio mobil yang mengiringi.

Sesekali aku melirik ke spion tengah untuk melihat Gavin. Dia masih terlihat diam seperti kemarin. Dia sedang menunduk melihat pada ponselnya dengan ekspresi yang sulit ditebak. Aku pengen banget tanya sebenarnya dia kenapa, apa dia sakit?

Gavin mengalihkan pandangannya dari ponselnya dan menatap kearah spion tengah juga. Mata kami bertemu di pantulan cermin. Mata gelap itu terlihat lebih kelam. Lama kami bertatapan di cermin, sampai akhirnya aku memutuskan berbalik untuk menatapnya langsung.

"Vin..," panggilku pelan.

"Hhmm ...."

"Are you ok?"

"Yes." jawabnya datar.

"Ada apa?" tanyaku.

"Ada apa?" dia balik bertanya dengan pertanyaan yang sama.

"Kamu kelihatan berbeda."

"Berbeda bagaimana?"

"Kamu terlihat lebih muram."

"Perasaan kamu saja, Fee."

"Kamu sakit?"

"Tidak. Aku baik-baik saja." Dia menarik bibirnya membentuk sebuah senyum.

Aku tersenyum membalas senyumannya, lalu mengusap lututnya kemudian kembali berpaling menghadap lurus kedepan.

Aku mencuri pandang untuk melirik Jack dari sudut mataku. Jack menyetir dengan sebelah tangan yang ia gunakan untuk menggenggam tanganku tadi, dan tangan yang lainnya menopang samping kepalanya dengan siku yang bertumpu pada kaca pintu mobil.

"Kau lelah?" tanyaku.

"Hhmm ... sedikit."

"Mau bergantian menyetir?" tawarku dengan ragu. "Aku bisa menyetir, tapi aku tidak mempunyai SIM Internasional."

"Jangan kalau begitu," ucapnya sambil tersenyum padaku, "kita akan sampai sebentar lagi. Tidak masalah, aku masih kuat untuk menyetir."

"Baiklah kalau begitu."

A Month to RememberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang