30. Bonjour Paris

269 57 3
                                    

Kami tiba di Paris malam hari setelah menempuh enam jam lebih perjalan panjang dari Bern. Aku lelah sekali, ditambah dengan muatan carrier-ku yang lagi-lagi menjadi lebih berat karena aku membeli banyak coklat dan keju.

"Mau berjalan-jalan sebentar atau langsung istirahat di hotel?" tanya Gavin saat kami keluar dari stasiun Gare de I'est

"Istirahat saja, aku lelah sekali."

"Oke baiklah."

Kami tiba di Paris sekitar pukul sembilan. Kota Paris masih cukup berdetak dan di penuhi dengan atmosfer Cinta. Sebenarnya bisa saja kami berkeliling kota sebentar sebelum menuju hotel tapi, aku tidak mau egois dengan tubuhku sendiri. Perjalanan panjang dengan kereta membuatku terlalu lelah, belum lagi hari sebelumnya memang aktifvitasku menjelajah tempat-tempat di ketinggian Switzerland begitu banyak menguras tenaga.

Gavin memesan taksi secara online sebagai transportasi kami menuju Hotel yang sudah dia booking secara online juga di kawasan Rue Pascal. Sebenarnya, kami bisa saja naik Metro dengan tarif yang lebih murah, tapi Gavin tidak mau.

"Setidaknya kalau kita naik taksi, kita bisa melihat-lihat kota paris sebentar dari dalam mobil. Lagipula, sekarang jam sibuk. Aku yakin Metronya sangat penuh, bagaimana jika kita tidak mendapatkan tempat duduk? Bukannya kamu sangat lelah."

Yap. Oke. Baiklah, aku setuju. Dia benar.

Kami menginap di sebuah hotel di kawasan Rue Pascal, agak jauh dari Eiffel tapi tidak masalah. Kalau kalian bertanya kenapa kami tidak menginap di dekat Eiffel dengan pemandangan Menara Eiffel langsung di depan jendela, jawabannya adalah: karena harga Hotel dengan Eiffel view harganya ngajak main-main, yah sekitar 13 jutaan peramalam perkamarnya. Buset banget, kan?

Karena aku nggak mau jadi cewek yang terus-menerus mengeruk duit Gavin secara membabi buta. Jadi, kuputuskan untuk memintanya memesan hotel yang harganya masuk akal.

Setibanya di hotel, kami langsung istirahat di kamar yang kami sewa bersebelahan, tentu saja.

Aku lelah sekali, sangat lelah. Mungkin aku akan mengusulkan Gavin untuk pergi ke tempat spa besok pagi sebelum mulai berkeliling Paris.

***

Pagi di Hari kedua puluh Enam.

Gavin setuju untuk mendatangi tempat spa yang tersedia di hotel ini sebelum kami keluar untuk berkeliling Paris.

Menyenangkan bisa melakukan spa Bersama Gavin. Eh tidak terlalu menyenangkan, sih. Aku cemburu saat melihat Gavin di pijat sama Mbak-mbak bule yang cakepnya kebangetan.

"Kamu cemburu, ya, sama cewek Prancis yang tadi mijitin aku?" tanya Gavin saat kami melakukan sesi merendam kaki dengan air garam.

"Nggak. Biasa aja!" Aku sepenuhnya berbohong.

"Masa sih?"

Entahlah, aku hanya merasa sedikit kurang pantas untuk cemburu.

"Kapan-kapan kamu yang mijitin aku, ya."

"Ngarep!!" bentakku

Lalu kami tertawa bersama. Rasa cemburuku menguap begitu saja bersamaan uap panas yang mengepul saat kami berendam air hangat berdua dalam jacuzzi.

Gavin nggak berhenti menatapku saat kami duduk berhadapan di dalam Jacuzzi. Sebenarnya, aku kurang nyaman dengan tatapannya saat ini, apa yang dia pikirkan? Semoga dia nggak mikirin hal yang aneh-aneh. Lagipula, sekarang aku berendam nggak pakai bikini apa lagi telanjang, kok. Aku berendam dengan menggunkan kain yang di lilitkan di dada seperti jarik gitu. Eh tapi, apa ini terlihat seksi juga di mata Gavin?

A Month to RememberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang