Abang💕 1.0

4.1K 194 4
                                    

-Abang 1.0-

Aku dibawa si bungsu,Arman dan salah satu kembar, Akbar ke mobil akbar. Aku kira ketiga anakku tidak ada yang tau tentang kelakuan bapak mereka.

"Bar, Ibu belum solat ashar. Bantu ibuk ke masjid ya. Bapakmu mungkin sudah pergi."

"Bu, istirahat dulu sebentar. Minum air putih dulu."

"Sudah cukup ibu istirahat nak, ibu mau solat."

Dengan dituntun anakku, aku menuju masjid agung. Aku solat. Aku tumpahkan segala gundah gulana dalam hati. Aku pinta yang terbaik dari Tuhanku. Seusai salat aku menerawang,mengingat kembali kisahku dengan Abang.

Pernikahan kami bukan pernikahan penuh cinta. Tapi Abang sangat bertanggung jawab padaku dan anak anak. Dulu saat aku menemani abang di Ambon, abang tak segan untuk membantu pekerjaan rumah. Abang juga sering mengajak si kembar kalau si bungsu sedang ingin bersamaku. Bahkan Abang sering sekali memberiku waktu sendiri meski hanya 1 jam.

Saat si kembar berusia 5th alhamdulillah abang lolos dan berhasil melalui pendidikan perwira. Setelah itu, aku mulai membantu Abang berdagang. Pernah ada yang bertanya, Bukankah gaji perwira sebenarnya sudah cukup untuk kami. Cukup tidak cukup itu relatif. Ada empat mulut lelaki yang doyan sekali makan. Beras 20kg saja tak cukup untuk sebulan. Belum lagi kebiasaan Abang yang harus ganti lauk tiap kali makan yang ditiru oleh ke tiga anakku.

Abang izinkan aku berdagang. Aku bersyukur abang tidak malu memiliki istri yang bekerja seperti aku disaat istri perwira lainnya banyak memiliki pangkat. Yang abang pesan tetaplah seperti padi,semakin berisi semakin menunduk.

Kios terbesarku berada disalah satu mall besar kota ku. Dikiosku dijual aneka macam makanan. Dari yang kekinian sampai yang tempo dulu. Aku memiliki beberapa pegawai. Dulu saat awal merintis rasanya susah sekali, tapi abang selalu menguatkan ku. Berawal menerima pesanan dari lingkungan sekitar sampai aku sudah memiliki brand sendiri

Jangan tanya mengapa aku lebih suka menaiki motor padahal aku cukup mampu untuk menaiki mobil. Karena dari dulu aku lebih suka bermotor.

Keluarga kami cukup sering berlibur. Karena menurut Abang, kenangan masa kecil akan membekas di anak anak jadi Abang akan menciptakan kenangan yang indah untuk anak anak.

Aku cukup percaya diri menjadi istri Abang. Aku kira aku telah memenangkan hati Abang. Ternyata aku keliru. Dari dulu hingga kini hanya Ika. Air mataku tumpah lagi. Terdengar adzan maghrib berkumandang. Aku mengikuti jamaah di masjid ini sekalian.

Setelah solat, ku lihat anak anakku sudah menungguku. Mereka memelukku. Rambut depan mereka basah,sepertinya sisa air wudhu.

Mereka berdua masih tinggal dirumahku. Hanya Akhtar yang sudah meninggalkan rumahku dan berkumpul dengan keluarga kecilnya. Jarak rumahku dan Akhtar hanya 10menit dengan motor.

"Its okay Bu untuk merasa ga oke." ucap Akbar padaku. Ku balas dengan anggukan.

"Arman cuma mau bilang ke ibu,apapun yang ibuk jalani saat ini,Arman tetap anak Ibuk. ibuk ga usah curhat nyari solusi sama orang lain. Aku Akbar dan Akhtar akan jadi pendengar ibuk."

Aku peluk mereka berdua. Mereka adalah sumber kekuatanku.

"motor Ibuk biar Akbar bawa. Ibuk sama Arman ya." Aku mengangguk. Sungguh aku masih tak sanggup bicara. Kami mampir makan malam di warung tenda. Meski aku tak nafsu makan tatapan Arman dan Akbar mebuatku menelan bulat bulat pecel lele di depanku.

Sampai di rumah, ternyata Abang sudah diruang tv.

"Assalamualaikum." ucapku

"Waalaikumsalam. Kalian pergi bertiga kok ga ajak Bapak?" tanya Abang pada kami.

"Bapak sibuk sih,mana berani Arman ajak bapak." sahut Arman

"Abang, sudah makan malam?"

"Sudah, tadi makan nasi goreng." jawab suamiku

"Aku tinggal ke kamar ya. Mau mandi,lengket semua badan rasanya." ujarku pamit pada mereka. Tak peduli jawaban mereka, aku langsung ke kamar. Menuju kamar mandi, aku berdiri dibawa guyuran sower.

Harapanku, Abang akan menyusul ke kamar. Nyatanya realita tak seindah harapan. Sampai aku selesai solat Isya pun Abang belum masuk kamar. Sampai jarum jam menunjukkan angka 10 Abang belum juga masuk kamar. Aku lelah menangis. Aku menyerah pada rasa kantuk yang menelanku.

Getar gawaiku terasa di bawa bantal. Alarm untuk bangun. Aku menggeliat. Ada tangan kekar Abang di perutku. Aku lihat sampingku, Abang tidur nyenyak. Saat aku bergerak, Abang makin menaruh wajahnya diceruk leherku. Ah, Bang, kalau saja aku belum tau apa yang kamu lakukan sore tadi mungkin aku akan GR dan mengira ini bukti sayang Abang padaku.

Hubungan biologisku dengan Abang termasuk sehat bagiku. Dulu saat muda kami bisa 4x dalam seminggu. Semakin bertambah usia seminggu sekalipun masih kami lakukan. Tapi tiga bulan terakhir ini aku merasa berbeda. Entah karena menjelang menopouse atau memang karena aku terlanjur ilfeel sama Abang. Hubungan sebatas kewajibanku untuk melayani suamiku.

Aku pindahkan tangan Abang diperutku,tangan itu semakin erat memelukku. Wajah itu semakin dalam masuk dalam ceruk leherku.

"Bang, aku mau solat. Udh keburu subuh nanti."

"Nanti Aja lah Ik."

Ik? Ika? Astaga. Rasanya remug panas dan perih.

"Aku Rani, Bukan Ika." ucapku lirih. Abang menjauhkan wajahnya dan melihatku. Ia melepas tangannya diperutku. Mengecup singkat keningku dan berbalik memunggungiku.

Segera aku bangkit. Tangisku pecah. Aku ambil wudu dan segera berserah diri di sepertiga malam ini pada Rabbku.

AbangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang