Abang 8.0 💕

2.4K 169 14
                                    

-Abang 8.0-

Saat perjalanan menuju kamar rawat ingatanku melayang menuju masalalu. Sebagai seorang Ayah, Abang adalah Ayah yang hebat. Dari mulai aku hamil si kembar, Abang tak pernah lupa untuk tirakat. Saat setelah aku melahirkan si kembar, Abang tak pernah malu memakaikanku pembalut. Membantuku memasang CD. Mencuci bajuku dan anak anak. Bahkan sampai anak anak menjelang remaja bagian cuci mencuci baju diambil alih oleh abang. Pun dengan dalamanku. Pernah ku tanya apa abang tidak malu,abang menjawab nyuci baju keluarga sendiri kok malu,bukan baju tetangga kok yang dicuci.

Pernah saat ekonomi kami belum kokoh, Abang rela puasa daud. Bukan hanya karena ibadah tapi agar kebutuhan kami tercukupi dengan gajian abang yang didapat saat itu. Karena masih menyusui, oleh abang aku dilarang ikut puasa. Biar Abang yang tidak makan asal aku dan anak anak bisa makan.

Ternyata waktu memang cepat sekali berlalu. Selama ini aku terlalu percaya diri. Menganggap hanya aku dan akulah sang juara. Padahal sejak menikah aku tau, rumah tangga kami tidak didasari oleh cinta. Nyatanya bukan akulah sang juaranya.

Abang sudah dipindahkan Arman ke tempat tidurnya.

"Aku balik ke UGD ya buk. Mas Aan biar pulang. Take your time Buk. Kalau Ibuk ga tega mukul bapak, please tlf Arman. Arman sangat bersedia melakukan itu untuk Ibu."

"Ingat omongan Ibuk y Nak, relasi buruk ini antara ibuk dan bapak. Bukan bapak dan kamu."

"ya ya ya. Ayo mas Aan. Kamu ga mau kan terus disini jadi saksi?" ucap Arman dengan senyuman. Aan dan Arman pergi meninggalkan ruangan.

Di ruangan ini, ada 1 tempat tidur pasien. 1 sofa tidur, kulkas, tv, ac dan meja. Aku memilih duduk ditempat tidur sebelah kaki Abang yang sehat. Cukup lama hening diantara kami

"Abang mau cerita sekarang?" ucapku membangunkan Abang dari lamunannya. Hanya tarikan nafas panjang yang terdengar.

"Abang pernah cinta sama aku?" tanyaku lagi.

"Perluka rasa cinta itu dek? Bukankah aku selalu ada untukmu?"

"Nah disini permasalahan awal kita Bang. Bagimu cinta itu tak perlu sementara bagiku perlu. Kita sudah berbeda mengenai standart keperluan. Kalau diteruskan bisa adu menang kita ini."

"Selalu jadi wanita yang penuh logika ya dek." ucap abang dengan senyuman.

"belajar dari abang."

"Abang masih cinta Ika?"

"Selalu."

"Sejak dulu?"

"Pasti."

"Sudah ku duga Bang."

"kamu tau?"

"Bodohnya aku menunggu saat seperti ini. Saat abang jujur dengan perasaan Abang sendiri."

"Kamu tau aku masih cinta Ika?"

"Kecuali kamu anggap aku Buta, aku bisa lihat perilakumu terhadap dia Bang. Terlalu jelas. Hanya saja aku yang terlalu bodoh. Menganggap perasaanmu tak akan kamu realisasikan dalam perbuatan."

"sejelas itu ya dek?"

"Abang sebagai ayah adalah Ayah yang baik. Abang sebagai pasangan yang belum bisa baik menurutku. Selama aku nemani Abang, ada kalanya Abang terlihat jelas merindukan Ika. Jadi kapan tepatnya kalian mulai kembali lagi?"

"Aku ga pernah keliru jadikan kamu Ibu dari anak anakku dek. Logikamu berjalan. Sebelum aku jelaskan, boleh aku tanya?"

"mau tanya apa?"

"Apa kabar hati kamu dek?"

"Hancur Bang, remuk. Tapi seperti yang Abang bilang hidup tidak melulu soal hati. Jadi aku bisa disini diskusi bareng Abang bukan karena aku baik baik saja dengan perselingkuhan Abang tapi karena Aku tau Abang sudah memikirkan segala resiko yang terjadi ke depannya termasuk resiko kehilangan aku dalam hidup Abang."

"Sifatmu yang seperti ini kadang bikin Abang merasa ga dibutuhkan dek. Kamu yang mandiri dan menganggap dirimu mampu yang membuat Abang merasa tersisihkan. Sepanjang jadi suamimu, Abang tak pernah dengar kamu merengek minta ini itu. Padahal Abang ingin sesekali menerima kemanjaanmu." aku menganga mendengar penuturan Abang. Aku akui selama aku bisa sendiri tak pernah aku mau merepotkan orang lain meski itu suami dan anakku.

"Mari fokus ke relasi Abang dan Ika. Jadi kapan dimulai lagi antara kalian?"

"Hari itu saat Abang selesai mengurusi pensiunan, teman Aan adalah adik Ipar Ika. Abang minta nomor hp istrinya untuk sekadar menanyakan kabar keluarganya. Kamu tau kan kalau abang dulu dekat dengan keluarga Ika,dengan adik adiknya juga. Sampai akhirnya Adiknya memberi nomor Ika pada Abang."

"Lalu?"

"Lalu Abang semakin terlena. Awalnya abang kira abang akan Imun dengan kehadiran Ika. Ternyata Abang salah. Abang terlena. Abang kasihan dengan Ika. Suaminya sudah menelantarkan Ika. Membuat Ika berjuang sendirian. Mereka tidak cerai tapi suaminya memiliki gundik. Ika diperas oleh suaminya untuk membiayai anak anak dan saudara suaminya"

"Ah jadi berawal dari kasihan ya Bang. Itu sebabnya uang pensiun Abang ga sepenuhnya masuk tabungan ya. Benar itu untuk Ika?"

"Tebakanmu benar. Sejak saat itu kami semakin dekat. Seperti yang kamu lihat di hp Abang Ika sering mengirimi Abang puisi. Menceritakan hari harinya. Bahkan mengirim foto foto yang tidak senonoh. Abang merasa dibutuhkan oleh Ika yang manja."

Tiba tiba pintu terbuka. Ku lihat Akbar menerobos masuk. Mukanya merah, tanganya mengepal. Tanpa salam, Dia melaju menuju Abang. Aku sunggingkan senyum. Mau aku jelaskan ke Akbar tapi ternyata tindakan Akbar membuatku mengaga tak percaya. Satu bogem dilakukan Akbar untuk Abang. Bibir Abang sobek.

"Akbar. . ."

"Ibuk punya kesepakatan dengan Arman tapi tidak denganku." ucap Akbar santai. Aku menarik nafas.

"Dan Pak, Please, be a gentleman." ucap Akbar dengan senyum sinis.

"Akbar mau marah? Masih pengen nonjok Bapak? Ayo ibuk temenin Akbar nyalurin emosi dulu. Baru kita bicara." ucapku sambil berusaha memisahkan Akbar dan Abang.

"Ayo Buk temenin Akbar,enak amat laki ga gentle ini udh bejad masih ditemani Ibuk."

"Oke ayuk. Bang, tau kan klo emosi harus disalurkan? Aku nemanin Akbar dulu. Arman aku suruh jaga Abang ya. Aku telfon Arman dulu."

"Ga usah ditelfon buk. Iam here."

"Kamu sembunyi dari tadi? Tau Akbar kayak gitu ke Bapakmu?" ucapku lembut.

"Tau lah. Karena aku udh sepakat sama Ibuk makanya aku biarin aja Akbar kayak gitu. Untung masih Akbar yang nojok. Klo Akhtar yang turun tangan bisa bisa bapak beneran ga bisa pipis lurus."

"Hah kalian ini. Ya udah Ibuk nemenin Akbar dulu. Ayo Bar, emosimu harus dituntaskan."

"Untung Akbar sayang sama Ibuk. Kalau ga lihat Ibuk, udah Akbar bikin tangan dan kaki yang sehat ikut dibebat juga deh si Bapak."

"udah ayo Bar."

Aku melangkah pergi meninggalkan ruangan Abang dirawat. Tugas utamaku harus menenangkan Akbar dulu.

AbangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang