-Abang 9.0-
Aku dan Akbar jalan menuju mobil Akbar yang ditaruh diparkiran belakang. Saat didalam mobil,keheningan begitu terasa. Mobil melaju dengan kecepatan sedang membelah jalanan. Ku lihat muka Akbar,mukanya masih tegang dan memerah. Ku hembuskan nafas berat. Ini situasi sulit bagi kami sekeluarga. Benar benar sulit.
"Bar, Its okay untuk ngerasa ga okay."
"Aku memang ga oke tapi udah sedikit lebih baik kok Buk. Lumayan masih denial sih Buk. Bullshit Bapak bilang ga pernah cinta Ibuk. Orang buta juga bisa lihat kalau dulu Bapak itu cinta sama Ibuk."
"Oh ya?"
"Kalau Bapak ga pernah cinta sama Ibuk, ga mungkin bapak seprotective itu sama ibuk dulu. Tiap ibuk pulang telat jualan bapak udah muter kayak kitiran."
"Bapak seperti itu?"
"Iya buk. Kan Akbar yang ikut sama bapak." ucap Akbar penuh dengan emosi. Aku tau rasanya, Bapak favoritnya sedang menorehkan luka dalam pada Akbar.
"Sadari nafas Nak. Lagi dijalan ini. Ga aman nyalurin emosi saat seperti ini. Kamu mau nyalurin emosi dimana?"
"Ikut ke markas yuk Buk?"
"ibuk disana dikacangi ga?"
"Ga lah. Aku bersedia deh ajari ibuk muay thai kali ini."
"Dulu giliran Ibuk pengen ga ada yang mau ajari ibuk. Giliran udah jadi nini nini gini baru kamu tawarin. Ibuk nemenin kamu nyalurin emosi di markas aja ya." ujarku ke Akbar
"Oke. Ke markas ya kita."
"nanti setelah kamu selesai nyalurin emosi, gantian kamu yang nemenin ibuk ya?"
"Motoran lagi buk?"
"Iya. Tapi ibuk yang bonceng ya?" ucapku sambil menaik naikan alis
"ogah ah diboncengin ibuk. Emang aku cowok apaan diboncengin nini nini." ujar Akbar mencibirku
"Eh meski nini nini, Ibuk masih ga kalah loh sama teman teman perempuanmu Bar. Ya ga? Gini aja deh kamu ikutin ibuk aja pake mobilmu."
"Iya ibuk ga pernah kalah kok ma mereka. Aku iyain biar ibuk seneng loh ya bukan karena itu benar hahahaha" ujar Akbar tertawa. Akhirnya perlahan ada tawa di Akbar.
"Oke aku ikutin Ibuk ya nanti" Ujar Akbar kemudian.
"tolong kabari Akhtar ya, ingat dia punya Arya. Kasih teladan yang baik."
"kenapa ibuk ga bilang sendiri?"
"ibuk hubungi dari tadi ga direspon sama dia. Udah wa ga diread, telfon ga diangkat juga."
"titah ibunda akan hamba laksanakan dengan segera." ucap Akbar.
Aku menemani Akbar menyalurankan emosi. Emosi merupakan energi. Energi tak bisa dimusnahkan. Bisanya diubah menjadi bentuk energi lain. Energi yg masuk harus sama dengan energi yang keluar. Begitu menurut ilmu fisika.
Sejak menjadi Istri Abang, Abang selalu mengajarkan aku untuk menjadi pribadi yang sanggup dewasa. Karena Abang ingin mencetak pribadi yang sanggup mengambil keputusan secara rasional.
Biar aku bisa seperti itu Abang menjadi fasilitas belajarku untuk sanggup kecewa, sanggup bersepakat dengan diri sendiri maupun orang lain dan sanggup berjuang.
Hal itu yang memdasari aku mendidik anak anakku seperti Abang mendidik aku. Abang dan aku juga menjadi fasilitas belajar untuk anak anak. Dari kecil Abang tak pernah melarang anaknya untuk menangis meski laki laki. Abang dan aku menjadi teladan dengan mengiklankan sarana penyaluran emosi yang aman dan nyaman.
Kalau aku suka bermotor, Abang suka olahraga fisik dalam menyalurkan emosi. Dan itu dicontoh Akbar itulah sebab mereka sangat dekat. Akbar berbakat dalam bidang olahraga tapi dia tidak ada keingan menjadi Abdi negara seperti Bapaknya. Alasannya dia punya cara sendiri untuk membela negaranya.
Ku lihat Akbar, keringatnya sudah bercucuran. Kali ini lawan mainnya adalah pemilik markas. Lawannya cukup seimbang,untung bukan para newbie yang menjadi lawan. Ada luka lebam di wajah keduanya. Aku menarik nafas berat. Mencoba memahami bahwa mereka bermain "aman". Mereka mengakhiri dengan saling ber hi five. Aku lega melihatnya. Akbar menuju padaku.
"Aman semua Bar?"
"Aman Buk. Yuk giliran Akbar nemenin ibuk nyalurin emosi. Ini ada kunci motor anak anak. Nanti balikin kesini kalau ibuk selesai. Disini lebih dekat ke RS juga."
"Oke Bar. Oh iya,ibuk mau bilang ke kamu, relasi ibuk bapak yang buruk ini urusan ibuk bapak ya Bar. Selama Ibuk ga memerlukan bantuanmu, tolong ya jangan ikut campur ya. Sekarang kamu beresin dulu badanmu. Bau tuh." ucapku dengan senyuman.
"ya ya ya. Aku rasa ibuk udah cukup rasional buat ambil keputusan."
Aku menerima kunci motor yang diberikan Akbar setelah Akbar selesai berbenah. Segera ku lajukan motor berkeliling. Akhirnya setelah lega berkeliling aku kembalikan motor ke markas Akbar bermain muay thai. Kami menuju ke RS.
Saat aku membuka kamar rawat Abang. Aku tak bisa menyembunyikan keterkejutanku. Muka Abang benar benar babak belur. Lebam di kedua pelipis, dan pipi kiri,bibir sobek tadi makin lebar. Ku pandangi Arman menuntut penjelasan. Dia malah tersenyum tengil sambil pandangannya diarahkan ke Akhtar Aku hanya menggelengkan kepala.
"Assalamualaikum" ucapku
"Waalaikumsalam." ujar mereka serentak.
"Jadi. Ada yang bisa cerita ke Ibuk?"
"Akhtar lagi nyalurin emosi ke Bapak buk,Akhtar tau ini ga Aman tapi Akhtar ga bisa tahan. Akhtar udah minta maaf ke bapak dan tanya ke bapak mau ganti rugi apa." ucap Akhtar tenang.
Memang, dalam keluarga kami, meminta maaf harus dibarengi rasa penyesalan dengan menunjukkan penawaran ganti rugi pada pihak yang "disakiti". Ku pandang Abang menanti jawabannya. Tapi Abang malah senyum.
"Its Okay Dek. Akhtar udah menunaikan permintaan maafnya. Dan aku ga minta ganti rugi. Justru aku yang harusnya minta maaf pada kalian. Tar, Bar, Man maafin Bapak ya. Bapak ganti rugi apa karena udah nyakiti kalian?"
Kami semua menghembuskan nafas berat. Masih dalam situasi sulit kedepannya ini. Dan aku rasa hari ini akan menjadi hari terpanjang dihidupku. Bagaimanapun Aku menyayangi Abang, masih ada perasaan tidak tega dalam hati melihat kondisi Abang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Abang
RomanceKarena pada setiap perselingkuhan, kesalahan bukan hanya milik pihak ketiga tapi pasanganlah yang memiliki andil cukup besar atas kesalahan tersebut.