Abang 16.0 💕

2.8K 181 11
                                    

-Abang 16.0-

Sepulang sarapan buryam kami menunggu Abang di ruang tunggu. Akbar tidur dengan duduk. Salah satu kebiasaan Akbar yang juga sama denganku, tidur dengan duduk. Saat matahari mulai ke atas panggilan dari ruang ICU ditujukan untuk keluarga Abang.

Aku bergegas masuk ke dalam bersama Abang. Dokter menjelaskan kondisi terakhir Abang. Abang mulai sadar. Tapi ventilator tidak bisa lepas dari tubuhnya. Hipertensi yang diderita Abang juga membuat beberapa pembuluh darah diotaknya pecah. Abang hanya bisa menggerakkan tubuh bagian atasnya saja, perawatan Abang bakal lama dan kemungkinan terburuknya Abang tetap harus di RS ini karena hidup Abang bergantung dengan ventilator,kecuali aku dan anak anak siap membeli ventilator dan dibawa pulang ke rumah. Akbar hanya diam mendengarkan penjelasan dokter. Setelah penjelasan kondisi Abang, kami kembali duduk diruang tunggu.

"Bar, hubungi saudara saudaramu. Kita putuskan membeli ventilator atau tidak." ucapku

"Biarin di RS aja kenapa sih Buk? Kalau bawa pulang nanti Ibuk jadinya yang ngurusin."

"Lah kan Bapak masih suami Ibuk, masak bu RT yang urusin?"

"Ibuk ga capek apa urusin Bapak? Kan Bapak udah jahat sama Ibuk."

"Ya urusannya Bapak kan jahat sama Ibuk,yang penting Ibuk engga."

"Dasar Bucin."

"Daripada kamu cinta mati tapi ga berani bilang."

"Belum saatnya Akbar bilang ke Intan lah."

"Diambil orang baru tau rasa kamu."

"Ibuk doanya jelek sih."

"Kejar Bar, Intan ga bakal tau apa yang kamu rasa kalau kamu ga bilang."

"Akbar telfon Akhtar aja deh dulu." ujar Akbar sambil pergi menjauh.

Aku menyandarkan tubuhku dikursi. Memejamkan mata. Mengatur nafas. Tiba tiba ada yang menepuk pundakku. Ku buka mata. Oh sudah waktunya bertemu Ika ternyata. Baiklah mari kita hadapi ujarku menyemangati diri sendiri

"Mbak,boleh bicara?"

"usiamu masih lebih tua dariku." ucapku datar

"Tapi kamu istrinya Mas  Wito."

"Apa yang mau kamu bicarakan?" ucapku datar

"Lepaskan Mas Wito. Dia tidak bahagia bersamamu." ucap Ika dengan mata berkaca kaca.

"Lalu, apa bersamamu Abang akan bahagia?"

"Tentu saja. Kami saling mencintai. Dari dulu hingga kini." ucap Ika dengan semangat

"Oh cinta ya. Tapi setauku cinta itu berjuang. Bukan meninggalkan."

"Kamu ga tau situasinya saat itu. Dulu tak ada alat komunikasi seperti saat ini. Surat surat mas wito tak sampai padaku. Aku kira mas wito pergi itu sebabnya aku menerima perjodohan meski aku tak pernah mencintai suamiku."

"Itu urusanmu, bukan urusanku."

"Itu urusanmu juga mbak, karena orang yang aku cintai adalah suamimu. Mas Wito selalu ada untukku. Untuk anak anakku. Lepaskan Mas Wito."

"Gini ya, kamu tau kondisi terakhir Masmu itu? Kalau memang kamu siap silahkan saja. Aku tak masalah." ku lihat wajah Ika Pias

"Kenapa Mas Wito?"

"Masmu ada di ICU. Berventilator. Hidup segan mati tak mau." ucapku dengan senyum puas.

"Bukan karena doamu kan mas wito seperti itu mbak? Tolong cabut doamu mbak." Ika mulai berkaca kaca

"Aku tak pernah mendoakan jelek untuk suamiku,hanya saja Tuhanku tau bagaimana menjalankan bagianNya."

"Dari dulu aku selalu iri denganmu Mbak." ucap Ika lirih

"untuk apa?"

"untuk segala perlakuan mas Wito padamu dan anak anakmu. Aku iri. Aku tidak pernah diperlakukan seperti itu oleh suamiku. Itu jadi alasanku untuk tetap dekat dengan mas Wito akhir akhir ini. Aku ingin merasakan kebahagiaanmu mbak." deras air matanya mengalir diwajah tuanya.

"Silahkan ambil Masmu jika memang dia mau. Dia bukan barang yang bisa dilempar kesana kemari. Lihat hatimu lagi, kalau cinta berjuang, bukan meninggalkan. Silahkan kamu temui mas mu, setelah kalian memutuskan hubungi anak anakku. Aku tak mau berurusan lagi denganmu dan masmu. Cukup ini yang pertama dan terkahir."

"Mas Wito terlihat sangat mencintaimu mbak."

"Tentu saja. Dia suamiku kalau kamu lupa."

"Aku tidak bisa menerima itu. Aku depresi. Aku dalam perawatan psikiater. Itu sebabnya mas wito mau bersamaku."

"sekali lagi itu urusanmu. Bukan urusanku."

"Kenapa Mbak selalu bahagia sementara aku selalu susah?"

"Kenapa engga?"

"Harusnya Mbak menderita. Harusnya mbak marah padaku. Harusnya rumah tangga mas wito hancur sama dengan rumah tanggaku."

"sayang sekali itu tidak terjadi. Mungkin mas wito rumah tangganya dan dirinya hancur. Tapi tentu saja tidak denganku."

"Kenapa kamu ga marah sih mbak? Lebih mudah menghadapi kamu yang marah." ucap Ika sinis

"Kenapa harus marah?"

"Agar semua tau kamu juga manusia!!" teriak Ika

"Jaga suaramu, ini rumah sakit. Aku masih manusia dan aku juga marah. Tapi marahku dan marahmu tentu saja tak sama."

"Suamiku punya istri lagi. Mereka sudah punya anak. Aku hancur mbak, aku gila." Ika menangis

"Lalu itu sebabnya kamu menghancurkan mas wito?"

"Mas wito hadir saat itu untuk menyapa. Aku terlena. Aku bisa melepas ketergantunganku dengan obat obatan."

"syukurlah."

"Tapi Mas Wito bukan lagi mas wito yang sama. Selalu kamu. Adek yang sabar. Adek yang nurut. Adek yang mandiri. Adek yang ga mau menyusahkan. Selalu kamu."

"Tentu saja."

"Dan aku tidak terima. Aku tampilkan segala sengsaraku agar mas Wito Iba padaku. Dan itu efektif. Aku jerat saja dengan segala dukaku. Suamiku tau. Kami dalam proses perceraian saat ini. Tak mungkin aku melepas mas Wito lagi. Katamu cinta berjuang kan mbak,akan aku perjuangkan cintaku."

"Sekali lagi ku tegaskan. Itu urusanmu. Bukan urusanku, silahkan perjuangkan apa yang kamu anggap benar. Aku akan tak akan menghalangi. Karena aku percaya, Tuhan tau apa yang memang harusnya menjadi milikku."

Aku beranjak dari ruang tunggu. Ku lihat Akbar memerah melihat ke arahku.

"Its okay Bar, udah selesai semuanya. Antar Ibuk pulang. Ibuk sudah memutuskan harus bagaimana."

Akbar memelukku erat. Kami menuju mobil

"Bar, segera urusi semua kebutuhan Bapak. Ibuk akan memasukkan gugatan ya."

"Ibuk lagi emosi, udah ibuk pikirin semuanya?"

"Ibuk beberapa waktu lalu sudah memutuskan berpisah. Hari ini semakin mantab."

"Kalau memang itu bikin ibuk nyaman Akbar ga masalah."

"Tolong kamu urus semuanya ya Bar. Ibuk pulang ke rumah atas aja ya. Ibuk ga minta apa apa, cukup jangan ganggu Ibuk dengan hal remeh temeh pengambilan keputusan tentang kesehatan Bapak ya."

"Iya buk. Nanti aku kabari Ambar untuk nyusul Ibuk ke rumah atas ya. Aku kuatir kalau ibuk sendirian."

"Ibuk ingin sendiri ya. Bibi aja suruh nyusul Ibuk."

Aku menyandarkan tubuhku dikursi mobil. Ku pejamkan mataku. Aku ingin istirahat.

AbangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang