Abang 💕 2.0

3.2K 170 2
                                    

-Abang 2.0-

Pagi ini aku memulai aktifitas seperti biasa. Sejak pensiun, abang hanya dirumah. Memperbanyak waktu dengan burung perkutut koleksinya.

Sarapan sudah tersaji dimeja makan. Aku panggil Akbar dan Arman untuk sarapan bersama. Aku enggan memanggil abang, tapi tetap aku lakukan karena bagaimanapun abang masih suamiku.

Pagi ini aku memasak terancam timun dan tempe, dadar pete, ikan klotok serta ayam goreng. Suasana canggung terasa dimeja makan. Tentu saja yang canggung anak anakku. Mereka terlihat jengah dengan bapaknya. Akupun jengah dengan suamiku,Ku ambil nafas panjang untuk meredakan emosiku.

Setelah makan, abang berpamitan mau mengunjungi Aan. Aku iyakan saja. Anak anak memulai aktifitas masing masing. Meski anak perwira, ketiga anakku tak ada yang mengikuti jejak bapaknya. Akhtar bekerja di rumah sakit sebagai perawat anastesi. Akbar bekerja sebagai arsitek,dia masih ikut di perusahaan kakak kelasnya. Sedangkan si bungsu, Arman masih menyelesaikan intersif kedokterannya di RS dekat rumah.

Akhtar menikah saat berusia 21th. Dia memilih menikah muda. Menikahi teman kuliah D3 nya sendiri. Rumah yang mereka tempati adalah hiba dariku dan Abang. Karena mereka menolak menikah dengan pesta pora, jadi sebagai gantinya kami belikan rumah untuk mereka.

Dulu, saat muda aku selalu bercita cita menjadi mertua yang tetap upgrade ilmu agar tidak menjadi bahan gosip menantuku saat nongkrong dengan temannya. Itulah mengapa aku selalu bilang ke Ambar kalau ada seminar atau kulwapp berbau parenting tolong aku diberitahu. Sering, Aku dan Ambar sama sama belajar dalam suatu kulwapp atau menghadiri seminar bersama

Tentu saja aku tidak mencampuri asuh didik Ambar Akhtar pada anak mereka. Aku percaya Ambar dan Akhtar memiliki standart untuk keluarga mereka sendiri. Aku sering berdiskusi dengan Ambar, jika dirasa kami menemukan jalan buntu didiskuai kami, salah satu dari kami memilih sepakat untuk tidak bersepakat dari pada harus adu menang.

Sekarang Ambar lagi senang senangnya dalam mendalami ilmu menggendong. Tak jarang Ambar meminta pendapatku tentang motif gendongan yang menarik minatnya. Kadang kalau aku senggang, Ambar semangat sekali meracuniku berbagai rasa jenis jenis gendongan.

"Assalamualaikum buuuk." panjang umur. Itu suara cempreng si Ambar.

"Waalaikumsalam. Kamu sama siapa kesini Akhtar kerja kan?" sambutku pada Ambar yang datang dengan Arya yang tidur digendonganya.

"Berdua sama Arya Buk nge gocar."

"Ibuk kira kamu motoran. Jantung ibuk deg deg banget bayanginya."

"Ihs Ibuk, Ambar ga nakal loh. Mana berani gendong sambil motoran."

"Mbar, kenapa sih kamu suka banget sama gendong?"

"Ambar merasa tenang aja Buk kalau Arya dekat sama Ambar. Ibu ga mau ngajari Ambar bau tangan kan? Soalnya mama kemarin komplain tuh ke Ambar kuatir Arya bau tangan."

"Ya mending bau tangan kan Mbar dari pada bau kaki?" ucapku diiringi senyum.

"Nah bener. Apalagi bau ketek kan ya Buk."

"Iya. Ibuk ga bilang bau tangan kok. Karena dulu pun anak ibuk pada doyan gendong. Dulu mana kenal gendongan ergonomis gini Mbar."

"Tapi orang dulu keren loh buk, pake selendang diuwel uwel gitu kuad. Ambar ga ada apa apanya hahahah."

"Iya sih Mbar. Sekarang semua dipermudah. Coba dulu ada gendongan yang langsung buat anak kembar kayak sekarang, ibuk pasti dulu ga kecapekan jadi rebutan buat dimintai gendong sama suamimu."

"hahahaha gapapa bu. Kalau gendongan ini ada di zaman ibuk, mas Akhtar ga bakal kan punya cerita seru rebutan gendong sama Akbar."

"Iya. Fakta adalah berkahNya ya Mbar."

"Ibuk Apa kabar?"

"Kamu sehat Mbar, baru tanyain kabar Ibuk setelah ngomong panjang lebar gini?" ucapku sambil senyum.

"Ihs Ibuk nih ya tetep aja dari dulu selow begini."

"Udah kamu sarapan dulu. Itu ada klotok. Masih doyan kan kamu?"

"Ah mau buuuk. Busui mah bebas makan beberapa kali sehari." ucap ambar sambil tertawa

"Sini Arya sama Ibuk. Bentar Ibuk ambil ringsling dulu."

Aku ambil gendongan berjenis ring sling. Kemudian setelah terpasang ditubuhku aku transfer pelan pelan Arya ke dalam kantong gendongan yang menempel ditubuhku. Ambar makan sendiri. Aku ajak Arya ke samping rumah.

Aku tau kejadian di masjid kemarin pasti sudah sampai telinga Ambar hingga dia nekat datang berdua saja dengan Arya. Aku suruh Ia makan terlebih dahulu, aku belum siap berbagi meski dengan anak dan menantuku sendiri. Rasanya sakit kalau harus memanggil memori kemarin untuk diceritakan kembali.

Wajah Arya sama persis dengan Abang. Cucu satu satunya Abang ini adalah pelipur laraku. Ku cium ubun ubun Arya, kubisikan sederet doa. Dalam tidurnya, Arya tersenyum.

Sampai sekarang yang mengganjal dibenakku adalah, mengapa Abang sampai sejauh itu dengan Ika? Ika bukan perempuan single. Ia perempuan bersuami. Tak pernah lepas dzikir dari mulutku agar aku segera menemukan solusi untuk permasalahan ini.

Ku pandangi gawaiku, tuk melihat foto walpaper berisikan wajahku dan Abang berlatar belakang pantai diujung timur pulau jawa. Rekreasi terakhir kami enam bulan lalu. Saat semua masih seindah pelangi. Ku genggam erat gawaiku. Ku tutup mataku. Mengenang segala kenangan yang pernah singgah didalam kehidupan rumah tangga kami. Air mataku menetes deras. Arya bergerak gelisah dalam gendonganku. Aku ayun perlahan agar Ia tenang kembali. Ku bisikkan pada diri, aku masih memiliki anak anak dan cucu yang akan menemaniku meski misal kemungkinan terburuk nanti adalah suamiku tak lagi disisiku.

AbangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang