Abang 6.0 💕

2.4K 156 5
                                    

-Abang 6.0-

Arman memelukku erat. Dia membawaku ke mobil setelah meminta tolong Aan untuk menjaga Abang. Mungkin pengaruh obat, Abang tetap tidur meski tangisku pecah. Orang sekitar mengira aku menangis karena kuatir akan keadaan Abang.

Dimobil aku lanjutkan menangis. Arman tetap disisiku. Tubuhku masih gemetar melihat ponsel Abang. Tadi ponsel itu diminta Arman tapi ku genggam erat. Arman mengalah. Membiarkan ponsel itu ditanganku.

Alunan musik clasic dari audio mobil mengalun pelan. Sedikit membuatku rileks. Tapi tetap saja belum bisa menghentikan tangisku. Aku cukup paham, Arman saat ini berperan menjadi fasilitas pasif, seperti yang aku ajarkan pada dia dan saudara saudaranya. Apapun emosi yang sedang datang pada seseorang, jangan dihambat. Biarkan merasa dan melewati emosi tersebut.

Tangisku reda beberapa menit kemudian. Arman menyodorkan air mineral dalam botol kecil padaku. Isinya tandas dalam tiga kali teguk.

"Aku turut berduka atas kesedihan yang ibuk alami." ucap Arman. Padahal aku tau dia pun sedang sedih. Matanya merah, menahan tangis.

"Ibuk selalu bilang kan, gapapa laki laki menangis. Jangan ditahan." sekarang pertahanan Arman jebol juga. Meski tak histeris, air mata itu tumpah.

"Semua ga akan lagi sama kan Buk?"

"Ibuk belum tau Nak."

"Padahal bagi Arman, Bapak adalah pahlawan favorit Arman. Dari dulu setiap orang tanya Arman mau jadi apa Ibuk pasti tau jawabanku. pasti dengan lantang Arman bakal jawab jadi Bapak." ucap Arman dengan suara serak khas orang menangis.

"Kenapa Arman pengen jadi Bapak?" ucapku reflek karena memang aku penasaran. Aku tau Abang tak dekat dengan Arman, diantara ketiga putra Abang, Akbar lah yang paling dekat bukan Arman. Dan memang benar, Arman selalu menjawab jadi bapak tiap ditanya ingin jadi apa. Aku dulu menghormati jawabanya dengan tidak menanyakan alasanya. Tapi sekarang aku jadi penasaran.

"karena yang Arman lihat, bapak adalah pusat energi Ibuk. Benar memang kasih ibuk bagai sang surya menyinari dunia, tapi yang terlihat oleh Arman adalah Bapaklah yang memastikan sang surya tetap menyinari dunia. Arman mau jadi Bapak karena Bapak selalu memastikan Ibuk bersinar."

"Ibuk sampai speechless Man denger kamu ngomong gini." ucapku melihat Arman.

"Dan tau ga Buk, aku pernah baca bahwa orang yang paling kita cintai adalah yang berkemungkinan besar memberi luka yang rasanya paling sakit. Aku dulu ga percaya buk, tapi aku hari ini ga cuma percaya, benar benar merasakan juga sakitnya buk. Arman sayang banget sama Bapak tapi justru Bapak yang nyakiti Arman. Bapak mulai meredupkan sinar Ibuk"

"Kamu berarti sudah baca chat mereka Man?"

"Sudah buk. Kalau ga karena sumpah kedokteran, Arman tadi mana mau nolong Bapak."

"Terimakasih ya Man, sudah mau berbesar hati menolong Bapak. Ibuk bangga dengan kamu. Tapi yang harus disepakati disini, ini masalah Ibuk dan bapak. Arman boleh sakit hati dengan sikap Bapak, cuma Arman harus tau, bagaimanapun Bapak, beliau adalah orang tua Arman yang berhak mendapat penghormatan dari Arman karena Ibuk rasa bapak sudah melakukan kewajibannya terhadap Arman dengan menyayangi Arman."

"Bapak bodoh ya buk, orang kayak ibuk gini disakitin."

"ada yang lebih bodoh dari Bapakmu. Ibuk ini. Udah tau Bapakmu begitu,kok ya bisa bisanya ibuk cinta ke dia ya Man." ucapku diiringi tawa. Arman mendengus.

"Aku sudah hubungi Akhtar sama Akbar. Mereka aku suruh kesini kalau Bapak dapat kamar. Ibuk mau bahas masalah ini sama Bapak kapan?"

"Kalian atur aja gimana baiknya. Ibuk pesen tolong bawain baju ganti dan mukenah. Lihat sikon dulu lah Man, mau dibahas sekarang juga kok ya ga tepat. Pasti bakal banyak tamu yang kesini lihat bapakmu. Ga dibahas itu hati ibuk kok ya dongkol amat."

"pilih yang resikonya sanggup ibuk hadapi aja lah."

"wih Arman udah pinter dimintai pendapat sekarang hahaha. Iya nanti ibuk pikir lagi resikonya yang mana yang sanggup ibuk hadapi. Cuma kayaknya ibuk perlu nyalurin emosi nih Man. Kamu bawa motor kan. Pinjam dong."

"ogah ah minjemin ibuk motor. Mau motoran kondisi cuaca begini Arman yang ga siap dengan resikonya. Nanti ada berita nenek nenek galau jatuh dari motor akibat memikirkan pasangan yang tidak tau diri."

"sembarangan kamu. Gini gini ibuk masih cukup sehat dan waras buat bermotor."

"fisik ibuk sehat, hati ibuk engga."

"iya iya yang udah jadi pemerhati kesehatan kaum lansia. Eh Man, itu foto ga hoax kan yang dikirim Ika?"

"hoax gimana buk maksudnya?"

"editan ga menurutmu tuh foto?"

"udah Arman ambil foto itu dan kirim ke teman Arman buk untuk diperiksa itu editan apa engga."

"jejak di hp Bapak udah kamu bereskan kan? Bapak ga bakal tau kalau kamu seperti itu?"

"beres buk. Aman semua."

"nanti kalau ada hasil itu foto editan apa tidak, tolong kabari ibuk ya."

"beres."

"Ibuk lega udah nangis gini. Yuk balik ke bapakmu. Kuatir udah dipindah kamar tapi ga ada Ibuk disana."

"Cie yang bodoh karena cinta."

"Cie yang anak hasil kebodohan karena cinta."

"Ibuk ihs."

Kami berdua melangkah kembali ke UGD. Arman kembali pada teman temannya. Aku menuju tempat tidur Abang. Hp Abang masih aku genggam. Bukan chat mesra yang membuatku histeris. Tapi isi didalam chat itu yang membuatku patah sepatah patahnya. Apa yang dipikirkan Ika sampai berani menjadi wanita seperti itu. Demi Tuhan, dia wanita bersuami. Saat semakin dekat ku dengar samar obrolan Abang dengan  Aan. Ku pelankan langkahku.

"semoga Aman an."

"Iya pak. Tapi mohon maaf Aan tidak mau terlibat terlalu jauh lagi."

"sudah terlanjur An. Tapi kamu beneran sudah hubungi Ika kan? Hpku dibawa Ibuk. Belum sempat aku pegang."

"Siap sudah Pak. Saya hubungi melalui wa saja."

"okelah. Setidaknya Ika tidak menunggu dan ngambek ke saya."

Bangsat sangat Abang ini. Kalau ga ingat ini RS tempat Arman internsif sudah habis lah nasib kau Bang. Tarik nafas. 1 2 3. Tahan 1 2 3. Hembuskan 1 2 3 4.

AbangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang