Abang 💕 3.0

2.8K 155 2
                                    

-Abang 3.0-

"Buk, Ambar udah cuci piring nih." teriak Ambar dari dalam. Aku usap air mataku. Ku langkahkan kaki menuju Ambar.

"Tumben kamu mau cuci piring Mbar? Bersihkan piring dan teman teman milik Ibuk?" ucapku menggoda Ambar dengan senyuman.

"Bersih dong Buk. Ya meski Ambar ga suka cuci piring Ambar udah mulai bisa adaptasi untuk pekerjaan itu Buk. Kalau udah ga kuat ya tinggal lambaikan tangan aja ke mas Akhtar." ucap Ambar diiringi cengiran dimukanya. Aku balas dengan senyum dan acungan jempol.

"Ibuk ga ke kios?"

"Ibuk lagi Males Mbar, di kios sudah ada Riska jadi biar Riska aja nanti yang tinggal lapor ke Ibuk."

"Ibuk mau nonton film ga? Kita streaming. Kalau ke Bioskop kasihan Arya."

"Hmmmmmmm. Boleh juga. Ibuk taruh Arya dulu ya. Kamu pilih filmnya Ibuk siapin camilannya."

"Siap Ndan." ucap Ambar dengan gaya militer. Ku geleng gelengkan kepala melihat kelakukannya.

Ku langkahkan kaki menuju kamar Akhtar. Setelah menikah, kamar Akhtar tidak berubah dan memang tidak aku rubah. Ku letakkan pelan pelan Arya. Mendarat dikasur dengan sempurna. Tentu saja gendongannya ikut mendarat. Itu tips yang aku dapat saat mengikuti kelas menggendong dulu,agar anak tidak bangun saat ditaruh kasur setelah digendong, taruh bersama dengan gendongannya.

Ku pandangi kamar Akhtar. Di dinding kamarnya foto tumbuh kembang Akhtar dan Akbar mendominasi. Ingatanku kembali pada salah satu foto didinding. Foto Akhtar dan Akbar sedang makan nasi bungkus bersama dan dibelakang mereka ada Abang membawa kresek merah. Aku jadi teringat cerita dibalik foto itu.

Dulu setiap jumat malam, Abang selalu pulang dengan Nasi makan malam yang dibeli diwarung tenda. Setiap pulang piket dihari jumat, Abang tak pernah lupa.

Tapi beda dengan Jumat itu, sampai Adzan Isya Abang belum juga pulang. Akhtar dan Akbar sudah aku suruh makan makanan yang ada di rumah. Tapi mereka kekeuh menunggu Abang. Mereka tak ingin mengecewakan Abang krn sudah kenyang makan makanan rumah dan tidak makan Nasi dari Abang.

Sampai jarum menunjukkan pukul 9 pun Abang belum datang. Hujan sudah mengguyur sejak sejam lalu. Aku mulai khawatir. Tak ada yang bisa ku lakukan untuk menghubungi Abang. Zaman dulu telpon rumah adalah kemewahan dan tidak semua orang memiliki

Selang beberapa menit kemudian pintu depan diketuk. Akhtar dan Akbar melompat berlomba membukakan pintu. Dibalik pintu itu, Abang basah kuyup dengan 2 kresek berwarna hitam dan merah ditangan kanan.

Kresek hitam diberikan kepada Akbar. Karena sudah tau biasanya, Akbar menerima dan segera menyiapkan makan malam terlambat kami. Hanya dua bungkus nasi. Maklum tanggal tua. Sebungkus untuk Akbar dan Akhtar, sebungkus lagi untukku yang masih menyusui Arman. Kata Abang, dia sudah makan saat piket tadi.

Aku ambil kamera ku potret mereka. Kamera dengan film yang berjumlah 36 saja. Setelah motret, Abang mengkodeku untuk mengikutinya ke kamar kami.

Abang serahkan kresek merah padaku. Aku buka, ternyata isinya dalaman. Jangan kira dalaman seksi. Itu Bra dan CD biasa yang biasanya dijual di pasar malam

"Abang lihat, dalaman adek udah pada lubang dan berjamur. Abang tau adek lebih memprioritaskan beli kebutuhan anak anak dan kebutuhan Abang dari pada kebutuhan adek sendiri." Jelas abang panjang lebar

"Terimakasih banyak Bang." ucapku seraya menghambur ke pelukan Abang.

"Maafin Abang ya,nikah sama Abang belum mampu belikan kamu lingerli seksi." ucap Abang dengan kedipan mata.

"Abang ada rejeki kah sampai bisa belikan aku daleman?"

"Tadi komandan Abang minta tolong Abang untuk mengantar mertuanya ke bandara. Itu sebabnya Abang pulang telat. Abang dikasih uang saku sama mertuanya komandan Abang. Pulangnya Abang langsung belikan nasi sama dalaman kamu."

Sentuhan dipundakku menarikku pada kenyataan. Aku lihat Ambar tersenyum padaku.

"Ibuk ngelamun ya. Kangen ya buk sama masa masa itu?" ucap Ambar disisihku. Pandangan mata kami masih berada pada foto yang ada didepan kami.

"Kangen banget Mbar."

"Selamat menikmati rasa Kangen ya buk. Jadi kan lihat filmnya?"

"Ayuk."

Kami segera melangkah menuju ruang TV. Cukup lama aku melamun ternyata hingga camilan yang aku janjikan tadi malah sudah disajikan oleh Ambar.

Kami menonton dengan nikmat. Film action menjadi pilihan Ambar. Mungkin Ambar tahu kalau aku sudah lelah menangis jadi Ia memberiku film yang minim dengan adegan menguras air mata.

Bagiku Abang adalah suami yang bertanggung jawab. Kami mendidik anak anak dengan kompak. Bukan akademik yang menjadi target kami. Adalah kedewasaan yang menjadi tujuan kami.

Menemani anak anak Belajar menjadi dewasa berawal dari mengajarkan sanggup kecewa. Belajar untuk mengidentifikasi rasa dan menunaikan rasa yang ada.

Itulah mengapa aku dan Abang santai saat Akhtar memilih menikah muda. Karena setelah proses menjadi fasilitas belajar anak anak,kami lebih menjadi pendamping anak anak daripada menjadi orang tua yang memaksakan kehendak.

Biaya yang kami tanggung untuk anak anak adalah biaya pokok. Meliputi sandang pangan dan papan. Sedangkan kebutuhan hura hura mereka, kami berikan kebebasan untuk mengelola keuangan mereka masing masing.

Saat usia senja ini, aku kira aku sudah berhasil melewati segala permasalahan hidup. Nyatanya justru masalah datang disaat ini. Getar gawaiku menarik perhatianku. Ada pesan dari Abang.

"Dek, Abang sama Aan ga bisa pulang ya hari ini. Kalau kemana mana ajak Akbar atau Arman ya."

Sederet kalimat dalam pesan singkat itu malah membuatku khawatir. Abang ga pulang bukan untuk menemui Ika kan Bang?

AbangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang