Abang 15.0

2.8K 162 5
                                    

-Abang 15.0-

Acara tangis menangis usai beberapa waktu lalu. Kondisi depan ruang ICU banyak penunggu. Ruang tunggu keluarga pasien ICU ada disisi kiri pintu masuk.

Kami berempat mengambil posisi paling ujung. Aku sudah menyuruh anak anak pulang. Mereka perlu istirahat. Tapi mana ada anak yang semuanya bakal nurut kan. Hanya Akhtar dan Arman yang mau pulang setelah ku yakinkan akan menghubungi mereka jika kenapa kenapa. Tinggal lah aku dan Akbar. Dia masih dikuasai rasa bersalah. Wajar, mengingat betapa dekatnya dia dengan Abang.

"Buk." Panggil Akbar padaku. Matanya menerawang ke depan.

"Ya?" ku gengam erat tangannya.

"Akbar sayang Ibuk. Sayang Bapak juga."

"Ibuk tau. Sangat tau."

"Bakal berakhir kayak apa keluarga kita buk?"

"Itu Ibuk yang belum tau."

"Bayangan Akbar ga seperti ini jadinya. Akbar ingat semua memori bareng Bapak buk. Dan itu hancur lenyap. Rasanya sakit buk, disini." ucap Akbar dengan pandangan mata kosong dan menunjuk dadanya.

"Bar, Ibuk turut berduka atas penderitaan yang kamu rasa." usapku pada genggaman tangan kami.

"Manusiawi ga sih buk kalau Bapak begini? Padahal bapak menurut Akbar sudah matang saat menjadi orang tua."

"Menurut Akbar, wajar ga Guru salah?"

"Wajar."

"Wajar ga kalau Orang dewasa salah?"

"Wajar."

"Nah jadi Bapak salah ya wajar karena Bapak Manusia."

"Karena Manusia tempatnya salah ya buk?"

"Iya. Makanya ibuk selalu bilang ke kalian kan, relasi yang rusak biar relasi ibuk sama bapak saja. Relasi bapak ke kalian tolong pertahankan." Akbar hanya diam

"Saat ini Akbar sedang berduka, itu terjadi karena gagalnya pencapaian harapan. Akbar berharap di usia Ibuk Bapak yang sepuh ga bakal ada cobaan kayak gini kan tapi nyatanya ada cobaan ini. Intensitas duka Akbar berkaitan dengan seberapa besar Akbar berharapnya." Ujarku melanjutkan.

"Akbar rasanya masih ga percaya akhirnya seperti ini." mata Akbar berkaca kaca

"Berduka itu alamiah Bar. Dan itu diawali oleh reaksi menolak atau menyangkal. Penolakan itu sebagai bentuk pertahanan diri yang ditujukan agar hal itu ga terjadi Nak."

"Iya buk. Rasanya Akbar pengen Marah, dada ini rasanya ingin meledak."

"Iya wajar. Karena saat upaya mencegah tidam dapat terpenuhi, rasa Marah lah yang muncul. Setelah itu akan lelah dan mencoba berdamai dengan situasi. Akbar sudah dalam tahapan lelah ya?"

"Sangat Buk."

"Istirahat nak. Jangan paksa hatimu untuk menolak atau menerima. Biarkan hatimu merasa."

"Harusnya Akbar yang nguatin Ibuk. Kok jadi ibuk yang ngehibur Akbar."

"Karena Ibuk adalah ibumu."

"Memberi saja percaya saja ya buk."

"Iya."

"Ibuk kalau pisah sama Bapak, bakal bahagia ga?"

"Itu belum terjadi. Ibuk ga bisa jawab. Tapi yang perlu Akbar tau, bahagia atau tidak itu harusnya ga tergantung orang lain nak."

"Tergantung siapa jadinya?"

"Tergantung hati masing masing. Karena bahagia itu datangnya dari hati setiap individu. Bukan dari kondisi luar individu."

"Ah Buk, kenapa relasi Ibuk bapak bermasalah padahal ibuk udah oke banget jadi orang."

"Bar, gini ya. Setiap ada relasi pasti ada emosinya. Kalau ada emosinya pasti ada potensi erornya. Kalau ada potensi erornya  pasti awalnya akan ada upaya untuk saling menguasai. Jadi kalau ada relasi pasti ada sengketanya karena ingin menguasai sekalipun tentang hal sepele kan. Kalau ga ada sengketa gini jadi ada pertanyaan kan sebenernya ada relasi ga antara ibuk sama bapak."

"Jadi wajar kalau ada masalah gini ya buk."

"Iya nak."

"Ibuk ga sedih?"

"Ibuk sedih. Ibuk marah. Ibuk kecewa. Sangat karena ibuk hanya perempuan biasa. Tapi situasi kondisi saat ini mengharuskan ibuk untuk parkir emosi kan?"

"Parkir emosi?"

"Iya. Keadaan bapak saat ini masuk ke kondisi dimana ibuk harus menyingkirkan sementara emosi yang ibuk rasa. Menyingkirkan ga harus dihilangkan. Karena emosi ga bisa dihilangkan. Hanya dialihkan untuk memikirkan hal lain. Kalau di ibu, ibuk jadi mikirin Akhtar, mikirin kamu. Mikirin biaya RS bapak. Mikirin yang nungguin Bapak."

"Biaya Bapak kan diklaim asuransi buk. Yang nungguin nanti gantian aja."

"Iya nak tapi biaya RS ga melulu semuanya ditanggung kan. Tissu pampers yang dibutuhkan kan tetap kita yang keluar. Untuk yang nunggu nanti kita diskusikan bareng bareng ya. Karena kita hidup di Indonesia. Kalau Ibuk cuek ga mau nungguin Bapak pada komen semua. Dan Ibuk lagi males banget jelasin satu persatu ke mereka. Apalagi ke keluarga besar Bapakmu." ucapku dengan senyuman

"Makasih ya Buk. Tetap menjadi fasilitas belajarnya Akbar sampai Akbar segede ini."

"Makasih juga sudah kuat. Kamu belom sarapan kan. Yuk sarapan sama ibuk. Laper banget ibuk."

"Ayo. Bubur ayam depan RS ini aja ya. Jangan ke kantin."

"Kenapa ga ke kantin?" tatap ku curiga. Di kantin RS ini ada temen SMA Akbar, apa dia ga kangen sama temannya.

"Akbar males makan ke kantin."

"Bukan ngehindarin Intan kan?"

"Hehehe itu ibuk tau. Mau ditaruh dimana muka Akbar ketemu Intan dengan muka bengkak habis nangis gini." ucap Akbar nyengir

"oke buryam depan RS. Tapi pulangnya tetep ke Kantin. Ibuk perlu beli air mineral dan camilan."

AbangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang