• • • • •
Author's Point of View
=====
"Segitu trauma-nya naik motor?" tanya Miki ketika ia dan Lenna sudah menginjak rumput basah di tempat yang tak pernah Lenna kunjungi sekali pun. Mengetahuinya saja tidak. Dan kini, cowok itu dengan tenangnya bertanya pada Lenna sementara tadi motornya dikendarai kayak orang kesetanan. Nggak mau telat, katanya. Padahal, tempat ini nggak ada "jam masuk" layaknya sekolah, 'kan?
Lenna akui, perjalanan tadi tak semenakutkan yang ia bayangkan. Pohon-pohon terlihat buram, saking cepatnya motor melaju. Wajah Lenna juga terasa seperti ditampar-tampar angin. Dan juga ... kini masih terasa di benaknya saat ia memeluk Miki karena takut jatuh. Masih terasa pula kehangatan tubuh cowok itu.
Sekarang sudah cukup gelap. Entah berapa jam mereka membuang waktu untuk pergi ke tempat asing macam ini. Yah, mungkin tidak asing untuk Miki. Sebuah halaman belakang gedung yang agak tak terurus. Pemandangannya memang cukup bagus, namun terlihat agak tandus.
Lenna menghela napas dalam. "Bukannya gimana-gimana sih. Gue cuma takut ..."
"Takut jatuh, 'kan? Aku tau," tambah Miki sambil manggut-manggut. "Kamu takut ketinggian karena takut jatuh, takut air karena takut tenggelam, takut petir dan takut boneka. Kamu suka sunset, suka novel, suka musik, suka kembang api, suka hujan, suka gulali dan suka bunga mawar."
Lenna menautkan alisnya. "Stalker much?"
"Aku cuma mengamati," jawab Miki polos sambil tertawa. "Jam sunset udah lewat, dan pasti kamu udah punya ratusan novel di rak buku kamu. Kotak musik udah aku berikan, dan juga, aku bukan Tuhan yang bisa mendatangkan hujan. Jadi, cuma ada tiga kesukaan kamu yang bisa aku persembahkan untuk sekarang."
Lenna masih menautkan alisnya. Dan alisnya semakin mengerut ketika melihat Miki menyodorkan tangannya. Akhirnya, Lenna pun menyambut uluran tangan Miki.
Rasa itu masih ada. Jantung yang berdetak tak karuan. Rasa nyaman dan aman. Semuanya masih sama. Lenna menyesal sudah membuat hubungan mereka hancur seperti ini. Tapi semoga Miki dapat memperbaikinya ... mungkin.
Miki terus menuntun Lenna, entah kemana. Jalanan yang agak gelap membuat Lenna sendiri bingung akan dibawa ke mana. Namun, ia percaya pada Miki. Tak berapa lama kemudian, Miki berhenti berjalan dan mendudukan Lenna di salah satu bangku taman yang berada di tempat itu.
"Tunggu bentar ya," bisik Miki, lalu ikut duduk di sebelah Lenna. Cowok itu pun menelepon seseorang. "Ya, sudah siap, terima kasih."
Setelah bicara begitu, Miki merangkul Lenna, kemudian menunjuk ke arah langit. Cewek itu menautkan alis untuk yang keberapa kalinya dalam beberapa menit terakhir. "Ada ap-Astaga, Miki ..."
Kembang api. Kembang api memenuhi langit malam itu. Kembang api warna-warni. Lenna terbelalak tak percaya. Mulutnya sedikit menganga saking kagetnya. Air mata sudah berlinang. Ia terharu dan senang.
Beberapa menit lamanya kembang api menghiasi langit. Dan ketika Lenna menoleh untuk bertanya pada Miki, cowok itu tengah tersenyum sangat manis, sampai lesung pipinya terlihat begitu jelas dan gelar playboy yang dulu disandang-nya seakan hilang begitu saja. Hati Lenna terenyuh. Baru saja cewek itu ingin membuka mulut, Miki menyodorkan seikat bunga mawar merah.
Tanpa bicara apa-apa, Lenna menerima seikat bunga itu dan memeluk Miki spontan. Setetes airmatanya menetes, hatinya benar-benar tersentuh.
Hangat dan nyaman. Itu yang mereka berdua rasakan.
=====
Lenna hampir tertawa terbahak-bahak kalau saja cewek itu tidak sadar kalau mereka berada di tempat umum. Tadi, selepas melihat taburan kembang api, Miki mengajak Lenna pergi menuju sebuah festival yang agak megah di daerah Jakarta. Kebetulan, di sana pasti terdapat banyak penjual gulali. Sekarang pun, Lenna tengah mengulum gulali-nya dan hampir tersedak karena tertawa.
KAMU SEDANG MEMBACA
NERDIOLA ✔
Teen FictionPROSES PENERBITAN. Alenna Nerdila Putri bener-bener cewek terpopuler disekolah. Tapi tidak, dia bukan terkenal karena dia anak cheers atau sebagainya. Dia terkenal karena dia nerd, ditambah lagi nama tengahnya yang juga sedikit mirip 'nerd'. Michael...