PLAN V

67.3K 3.1K 442
                                    

Ting. Ting. Sudah berkali-kali seperti ini—Miki mengetuk-etukkan sendok tehnya ke permukaan gelas kaca yang berisi teh hangat buatan Lenna. Lenna sendiri sedang sibuk dengan ponselnya, entah melakukan apa. Miki sibuk merangkai kata-kata untuk bertanya pada Lenna, namun selalu saja terlalu aneh. Dan akhirnya, setelah perdebatan dengan hatinya, Miki pun membuka suara.

"Kenapakamunggakmasuk?"

Lenna menautkan alisnya, berusaha mencerna ucapan Miki yang kelewat cepat. "Maksudnya?"

"Kenapa kamu nggak masuk?" ulang Miki setelah meneguk seteguk teh panas itu. Lidahnya terasa sedikit terbakar, namun ia mengabaikan perasaan sakit itu.

"Oh ... Itu tadi aku pilek, trus demam gitu," sahut Lenna sambil berdeham. "Sebenernya nggak parah-parah banget, tapi mama ngotot supaya aku nggak masuk sekolah."

Bibir Miki melengkung ke atas, membentuk sebuah senyum lega.  "Aku kira kamu sakit parah."

Lenna nyengir. "Oh ya, soal Sabtu yang kemarin ... Aku mau ngomongin sesuatu."

Kok pake inget segala sih dia. "Iya, ngomong aja."

* * *

Miki meringis. Ingin rasanya dia menangis dan berteriak. Namun, rasanya untuk hal macam ini, ia tak seharusnya bersikap seperti itu. Miki sudah dewasa, dan harus menerima segala konsekuensi dari keputusan-keputusan yang ia putuskan. Dan tanpa Miki sadari, air mata menggenangi mata Miki. Takdir memang kejam.

Bisa nggak sih, takdir itu bikin gue seneng sekali aja?! Sakit woy, sakit! batin Miki sambil menghembuskan napasnya.

"Aku tak dapat menahan rasa sakit ini," gumam Miki lirih.

Seseorang yang duduk di sebelah Miki menatap Miki bingung. "Lebay banget sih, Mik."

"Gimana nggak lebay?! Ini sakit banget tau," Miki menambahkan efek dramatis dengan meneteskan air matanya. "Sakitnya tuh di kelingking kaki."

Seseorang yang duduk di sebelah Miki itu—Lenna—berdecak sambil tertawa kecil saat itu juga. "Kelingking kamu kesandung apa?"

"Kena tembok tadi. 'Kan sakit banget!" sahut Miki berlebihan sambil memijat kelingkingnya itu. "Tapi tak sebanding dengan rasa sakit di hatiku ini."

Lenna bergidik. "Miki alay, ih. Udah, ayo lanjut makan. Udah aku bikin susah-susah nih."

Miki tertawa, mengacak-acak rambut Lenna gemas, lalu kembali melanjutkan makannya. Sambil mengunyah makanannya, Miki pun menatap wajah Lenna yang sedang sibuk mengaduk-aduk nasi gorengnya sendiri.

Lucu, batin Miki tanpa sadar. Dan sekarang gue lega karena dia nggak mutusin gue.

Miki pun kembali teringat tentang kejadian tadi siang—menjelang sore.

---

"Iya, ngomong aja."

Lenna terlihat sedikit ragu, namun sesaat kemudian dia berkata, "Jangan marah atau apa, ya?"

Ekspresi Miki masih juga tegang. Dan perasaan cowok itu pun makin campur aduk lagi. "Udah, ngomong aja. Aku rela, kok. Aku ikhlas."

"Beneran ya?" Lenna masih juga berbasa-basi. "Seriusan deh, aku ... agak nggak tega mau ngomong ini, tapi—"

"Gapapa Lenna, ngomong aja," potong Miki dengan suara agak bergetar. "Gue rela, ikhlas, dan akan menerimanya dengan lapang dada. Suer deh."

Lenna mengangguk pelan. "Berarti, abis aku ngomong gini, kita bukan—"

NERDIOLA ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang