Bab Tiga - Udahan (dua)

775 112 6
                                    

"Lo di mana? Gue ada di depan kantor lo, nih," ucap suara di seberang.

"Ngapain?" tanya Cinta. Ia menghimpitkan ponselnya di antara telinga dan pundaknya. Ia sedikit memiringkan kepalanya agar ponselnya tidak jatuh. Tangannya sibuk mencoret-coret sebuah kertas yang ada di depannya.

"Tadi habis kerja tugas bareng temen gue di sini. Lo ke sini, gih. Sekalian makan siang."

Cinta melirik sebentar jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Lima belas menit lagi pukul dua belas. Memang sudah waktunya makan siang.

"Yang kafe depan, kan?"

"Yoi. Cepat!"

Sambungan terputus secara sepihak. Kebiasaan Ivo yang tidak bisa ditinggalkan. Cinta segera membereskan kumpulan kertas-kertas bergambar yang berserakan di atas meja kerjanya. Barulah ia menyambar tasnya dan segera keluar dari ruangannya.

Sebenarnya di kantor ini sudah disiapkan kantin khusus para karyawan yang berada di lantai satu untuk beristirahat, makan siang, ngopi, dan sebagainya. Tapi kalau mau makan di luar juga boleh asalkan tidak telat masuk saat jam kerja sudah dimulai lagi.

Cinta membuka pintu kafe yang memiliki dua lantai ini dengan pelan-pelan. Kafe ini merupakan salah satu kafe yang letaknya begitu strategis. Dari kantor hanya butuh menyeberang untuk sampai di kafe ini. Di depan pula sudah disiapkan tempat parkir yang luas dan tak berbayar. Tempat parkir impian.

Desainnya juga sangat bagus. Bangunannya didominasi oleh warna cokelat namun dindingnya terdapat gambar-gambar bunga. Dinding kafe ini juga dililiti oleh tanaman merambat asli yang bunganya berwarna putih. Sangat kontras dengan dinding kafe ini yang berwarna cokelat. Saat pertama memasuki kafe ini, Cinta langsung jatuh cinta sama pesonanya. Ia memuji orang yang berhasil menciptakan desain yang luar biasa keren ini. Baik dari segi eksterior maupun interior.

Mata Cinta menyusuri isi kafe yang berada di lantai dasar. Mata Cinta tak mendapati keberadaan Ivo. Yang artinya bahwa Ivo pasti berada di lantai dua. Cinta segera menaiki tangga dua dan mendapati Ivo yang duduk di ujung ruangan. Tepatnya berhadapan langsung dengan jalanan kota.

Ivo tersentak kaget saat mendengar suara meja yang tergeprak.
"Ngapa lo?" tanya Ivo langsung.

"Ngapa-ngapa... kenapa nggak bilang kalau lo ada di lantai dua, sih." Ivo hanya mengernyit bingung melihat ekspresi Cinta yang manyun.

"Kenapa, sih? Naik satu lantai aja juga," balas Ivo.

"Naik selantai buang kalori gue sepersekian gram. Udah tahu tubuh kurus gini." Cinta mengambil tisu yang ada di atas meja dan menghapus keringat yang membasahi bawah hidungnya. "Teman lo mana?" sambungnya.

"Udah ke kampus duluan. Habis makan siang juga gue bakalan balik ke kampus."

"Ya, udah. Sana pesanin makanan. Yang kayak biasa tapi," suruh Cinta. Ivo segera bergegas untuk memesan makanan untuk mereka berdua.

Cinta kembali sibuk dengan ponselnya. Ia membuka whatsapp-nya. Ada beberapa panggilan yang tak terjawab dan pesan dari Edwin. Cinta menghiraukan itu semua. Ia membuka ruangan khusus untuk menulis status. Entahlah, saat ini ia hanya ingin menulis status di whatsaap.

"Aku tidak tahu bagaimana cara menuangkan sebuah rasa menjadi kata. Jika ada manusia yang bisa membaca perasaan tersiratku dengan tepat, pastilah kau orangnya. Namun aku ingin mencoba menulis dan berbagi dengan semuanya tentang perasaanku melalui kata-kata. Sebab, mereka tidak sehebat kamu yang bisa membedah isi hatiku secara tepat tanpa kata-kata."

Cinta kembali membaca status itu sebelum mengirimnya. Baru sebentar saja terkirim, whatsaap Cinta langsung banjir dengan notif. Ada yang meminta izin untuk dicapture, ada pula yang sekadar memberi respon kalau mereka juga tengah merasakan hal yang sama.

C I N T A R A (Selesai) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang