DuaEmpat - Tata Sevanien

273 30 1
                                    

Atar hanya menatap kepergian Cinta dengan nanar. Ia bisa melihat luka yang terpancar dari kedua mata itu. Namun, saat Atar akan mengejarnya, seperti ada yang memaku kedua kakinya hingga membuatnya untuk tetap tinggal. Lebih-lebih mempererat pelukan perempuan yang ada dalam pelukannya.

Kerinduannya yang sudah ia kubur, mencuat begitu saja ketika sosok dari masa lalunya itu-itu tiba-tiba hadir kembali. Rasa benci yang ia sudah tanamkan kalah begitu saja. Sebab, rindunya jauh lebih menggunung. Alih-alih memberikan tatapan benci pada perempuan yang tengah ia peluk, ia malah menjadi seperti seekor kucing yang melunak―karena takut ditinggal untuk ke sekian kalinya.

Wangi vanila pada rambut Tata Sevanien―perempuan yang tengah ia peluk itu kembali menyadarkannya dan membawanya pada masa di mana keduanya masih menjadi mahasiswa ospek-an. Andai saja Tata tidak menghilang begitu saja, Atar yakin; kisah mereka akan jauh lebih sempurna. Tentu pun, ia tidak akan mengobarkan kebencian―walau pada nyatanya semua itu tidak berguna. Sebab, melihat netra Tata pun, Atar sudah kalah.

"Tar ... udah. Malu dilihatin sama orang-orang," bisik Tata mendongak. Atar melihat sekitar dan benar saja, orang-orang masih setia memerhatikan mereka.

"Maaf." Atar langsung menarik tangan Tata lembut ke belakang kafe di mana teman-temannya sedang duduk di sana.

Rangga dan Dika hanya menatap kedatangan Atar dan Tata dengan pandangan yang sulit diartikan.

"Hai, Dika! Ngga!" sapa Tata dengan senyuman lembut. Mereka memang sudah saling kenal dari jaman ospek dulu. Dika dan Rangga pun sudah tahu mengenai hubungan keduanya di masa lalu.

"Eh, Tata. Hai!" sapa Rangga kikuk. Sedangkan Dika hanya menanggapinya dengan senyum tipis yang bahkan susah untuk terlihat.

Atar mengambilkan Tata sebuah kursi, sedang dirinya duduk di lantai beralaskan karpet.

"Gimana kabar lo?" tanya Rangga.

Tata tersenyum, "Baik. Kalian berdua gimana?"

"Seperti yang lo lihat," jawab Dika. Tata hanya tersenyum maklum. Ia tahu, pasti teman-teman Atar tidak menyukai hadirnya. Terbukti dari perkataan Dika yang langsung menohoknya.

"Sudah puas menghilangnya? Atau gimana, nih?" tanya Dika terdengar seperti sindiran.

Tata menatap Atar takut-takut. "Maafin gue. Gue enggak ada maksud buat menghilang begitu saja dulu. Terlebih seperti memberi harapan kosong sama Atar. Keadaan yang mendesak gue dulu pergi," jelas Tata pelan. Tangannya sampai bertautan satu sama lain.

"Enggak perlu dijelasin, Ta. Yang penting kamu sudah di sini," sahut Atar.

Dika langsung menyanggah, "Mana bisa begitu, Tar? Jelas Tata harus menjelaskan semuanya. Lo juga gimana, sih? Bucin akut, sumpah!" kesal Dika. Ia meremas botol kaleng yang ia pegang.

"Ini urusan gue, Dik. Lo enggak perlu se-sensi itu." Dika hanya memutar bola matanya malas mendengar ucapan Atar. Sahabatnya itu sudah menjadi bucin tidak berguna.

"Jadi, dulu kenapa, Ta?" pancing Rangga kepo.

Tata menghela napas sebelum menjelaskan. Ia menatap Atar, Dika, dan Rangga satu persatu. "Dulu pas awal gue masuk jadi maba di Brilliant, orang tua gue bangkrut. Rasanya gue percuma kuliah, sedangkan orang tua gue sedang ditindas sama masalah besar. Salah satu rekan kerja Ayah gue ngasih solusi waktu itu. Dia bisa menyuntik dananya ke perusahaan Ayah dengan syarat gue harus menikah sama anak beliau. Gue yang dengar langsung kaget. Namun, gue semakin dilema saat Ayah tiba-tiba kena serangan jantung. Otak gue semakin panas mikirin semuanya. Gue cuma berusaha menjadi anak yang bertanggung jawab juga dengan menerima tawaran dari rekan kerja Ayah gue, demi Ayah dan juga perusahaan. Saat itu, keluarga gue pindah ke Singapura. Rekan kerja Ayah gue yang memfasilitasi semuanya, termasuk biaya rumah sakit Ayah." Tata membasahi bibirnya. Ia harus kembali ke belakang dan mengorek semua pengalaman pahit yang ia sudah lewati.

"Namanya Kazou―laki-laki yang dijodohkan sama gue. Dia kuliah di Singapura juga. Dia enggak pernah memperlakukan gue sebagaimana gue yang notabenenya adalah tunangannya. Butuh banyak waktu bagi gue untuk meyakinkan Ayah gue kalau Kazou itu bukan orang baik. Dia memutuskan semua koneksi gue dan mengekang gue. Tetapi, Ayah gue enggak percaya. Sampai ketika, empat bulan lalu―Kazou hampir melecehkan gue, Ayah gue yang langsung menolong gue saat itu." Tata menunduk. Bibir bawanya ia gigit rapat-rapat supaya isakannya tidak terdengar. Atar yang juga ikut merasa prihatin langsung berdiri dari duduknya dan menarik Tata ke dalam pelukannya. Tata akhirnya terisak. Dika dan Rangga hanya diam. Seperti sudah menerima, namun dalam hati kecilnya masih tidak terima dengan keputusan Tata yang pergi begitu saja tanpa penjelasan.

"Sudah. Enggak usah nangis. Kamu, kan sudah ada di sini," ucap Atar lembut. Ia mengusap-usap rambut Tata untuk menetralisir amarah yang ia rasakan saat mendengar penjelasan Tata.

"Terus Bokap lo sekarang gimana?" tanya Dika setelah melihat Tata yang sudah tidak terisak lagi.

Tata menghapus pelan air matanya, "Sudah sembuh. Saat dia nyelamatin gue dulu juga perusahannya sudah kembali normal. Makanya Ayah gue memutuskan perjodohan itu. Ayah kembali membawa gue ke sini langsung," jelas Tata lagi.

"Jadi, lo sudah ada di sini berbulan-bulan dan lo belum menampakkan diri juga?" tanya Rangga.

Tata mencoba tersenyum, "Gue trauma sama perlakuan Kazou selama ini sama gue. Gue butuh waktu untuk mengembalikan semuanya. Hingga baru sekarang, gue baru bisa bertemu dengan kalian semua lagi."

Atar melepas pelukannya dan menangkup wajah Tata. "Kamu tahu dari mana kalau kami ada di sini?"

"Aku ke Brilliant dan bertanya di sana," jawab Tata. "Sekali lagi, maafin gue sama sikap gue dulu. Gue enggak bermaksud melakukan itu. Tapi, kembali lagi. Kondisi yang mendesak gue. Termasuk sama kamu, Tar," tambahnya kembali menatap Rangga dan Dika, dan terakhir Atar.

"Enggak usah dipikiran. Aku udah maafin kamu. Aku pikir kalau aku memang sudah tidak akan bertemu sama kamu lagi," ucap Atar.

Tata sumringah. Ia kembali memeluk tubuh kekar Atar. "Kita belum putus, kan, Tar? Kita masih bisa kayak dulu lagi, kan?" tanyanya yang sontak membuat Dika dan Rangga tersentak kaget. Apalagi setelah melihat reaksi Atar.

"Iya. Bagiku, hadirmu di sini sudah mengembalikan Atar yang dulu," jawab Atar.

"Tar! Lo? Lo tahu, kan, dia datang tadi?" sentak Dika kesal.

"Iya, Tar. Sikap lo salah kalau udah kayak gini," tambah Rangga yang juga tidak terima.

Tata melepas pelukannya dan menatap Dika dan Rangga bingung. Ia mendongak dan meminta jawaban sama Atar.

"Maksudnya, Tar?"

Atar malah menggeleng-gelengkan kepalanya. "Bukan apa-apa. Mau pulang sekarang? Aku anterin?"

Tata langsung berdiri. "Iya. Aku mau. Kangen juga diboncengin sama kamu. Aku ambil tasku dulu di meja tadi."

Seperginya Tata, Dika dan Rangga sama-sama berdiri. Ia menatap Atar tidak suka.

"Baru kali ini gue lihat lo goblok karena cinta, Tar!" sentak Rangga lalu keluar dari kafe lewat pintu belakang.
"Jadi budak cinta boleh. Asal jangan diperbudak kayak yang lo lakuin sekarang. Lo enggak pikir bagaimana perasaan Cinta tadi? Jangan sampai lo nyesal nantinya." Dika mengikuti Rangga meninggalkan Atar yang terdiam seribu bahasa.




Tbc



C I N T A R A (Selesai) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang