DuaDelapan - Rampung yang Kembali Rumpang

315 37 1
                                    

Cinta hanya termenung di belakang sebuah rumah sederhana. Di depannya hanya ada tumbuhan bunga mawar. Sudah sore, matahari sudah mau menampilkan siluet warna jingganya. Segelas teh yang ia pegang, ia seruput untuk kali pertama. Padahal teh itu sudah sangat dingin. Terlihat dari kepulan uap teh itu yang sudah hilang. Suara burung-burung menambah kesan suasana kampung di tempat itu.

"Cinta! Kamu enggak lapar?" teriak Ivo dari belakang.

Mereka berdua sedang berada di rumah salah satu teman kampus Ivo. Cinta yang meminta―setidaknya untuk menenangkan pikiran dan juga fokus atas kesembuhannya. Masih di satu kota dengan kontrakan Cinta. Hanya saja, rumah teman Ivo itu berada jauh dari jalanan besar.

Sebenarnya Cinta meminta ingin ke Pati saja; ke rumah Bude Dina. Tetapi, mengingat keadaannya yang belum stabil kembali mengurungkan niatnya. Akhirnya Ivo menawarkan rumah temannya sebagai tumpangan sementara, setelah Ivo meminta persetujuan lebih dulu pada temannya tentu saja.

"Lo duluan aja," ucap Cinta singkat. Ia kembali menikmati pemandangan yang ada di depannya yang mana mengingatkannya pada kampung halamannya.

Ivo mendekat lalu duduk di samping Cinta. Ia menelisik wajah Cinta dari samping. "Lo lagi mikirin apa? Lo enggak ingat kata dokter? Jangan banyak mikir untuk sekarang," ucapnya.

Cinta kembali menyeruput tehnya lalu menoleh ke arah Ivo. "Emang lo tahu kalau gue lagi mikir?"

"Ya, iya. Secara juga otak manusia tidak akan pernah berhenti berpikir kalau awake kayak gini. Cuma lo jangan mikirin apa yang buat kepala lo kembali sakit. Masih untung dokternya ngizinin lo pulang tadi," cerocos Ivo.

"Di sini enak, ya? Gue jadi keingat kampung," ucap Cinta menimpali. Ivo berdecak kesal dalam hati. Lagi-lagi sahabatnya itu mengalihkan topik pembicaraan.

"Libur natalan juga nanti lo balik. Lo enggak mau makan? Rilan udah masak buat kita," kata Ivo yang sudah berdiri. Rilan adalah seorang mahasiswi yang mengambil jurusan yang sama dengan Ivo. Lebih tepatnya mereka adalah teman sekelas.

"Bantuin gue," tandas Cinta. Ia menghabiskan tehnya lebih dulu. Ivo dengan hati-hati memapah Cinta berjalan masuk ke dalam rumah.

Di meja makan sudah ada Rilan yang masih sibuk menata beberapa makanan sederhana. Ibunya juga ada.

"Eh, Nak! Ayo, makan dulu. Habis itu istirahat biar cepat sembuh," ucap Mirna; Ibu dari Rilan.

"Iya, Cin. Tapi maaf, ya. Makanannya cuma seadanya saja," ucap Rilan tak enak hati.

Cinta tersenyum. "Enggak masalah, Lan. Ini aja aku makasih banget sama kamu dan Tante juga udah mau numpang aku untuk sementara waktu," balas Cinta.

"Enggak apa-apa, Nak. Kami juga dengan senang hati membantu. Makanlah," ucap Mirna ramah. "Ivo juga, dong," tambahnya.

"Tanpa disuruh pun, Tante," kelakar Ivo yang sudah mulai melahap makanannya.

"Gue sama Rilan habis ini mau ke kampus bentar, ya. Ada bazar malam ini di sana," sahut Ivo.

"Iya. Gue juga mau tidur bentaran, kok," jawab Cinta.

Mirna dan Rilan tersenyum ramah. Mereka tidak keberatan. Apalagi Ivo yang sudah mereka anggap keluarga sendiri. Hitung-hitung agar rumahnya kembali ramai. Ayah Rilan sudah meninggal dua tahun lalu. Rilan masih memiliki seorang kakak laki-laki, yang juga sudah bekerja sebagai seorang dosen di salah satu kampus yang berbeda dengan Rilan.

"Gue sama Rilan berangkat dulu, ya. Baik-baik lo di rumah. Titip Cinta, ya, Tan," ucap Ivo pada Mirna.

"Iya, tenang aja. Kalian hati-hati. Pulangnya jangan larut," pesan Mirna.

Mata Cinta hanya memandang kepergian Ivo dan Rilan lalu mengembuskan napas pelan. Ia kemudian diantar oleh Mirna ke dalam kamar Rilan.

"Kamu istirahat, ya. Kalau ada apa-apa, panggil Tante saja," ucap Marni ramah. Cinta hanya mengulas senyum lalu mengangguk.

Cinta menatap ponselnya yang ada di atas nakas kecil. Rasa-rasanya ia ingin membuka ponselnya dan mengecek, apakah ada pesan dari seseorang itu. Namun, ia juga tidak mau kembali menelan kepahitan.

***

Atar hanya terdiam di depan kontrakan Cinta. Sudah satu jam ia berada di sana. Semenjak mengetahui kalau Cinta sudah dipulangkan dari rumah sakit; lebih tepatnya Cinta yang memohon-mohon agar segera dipulangkan, Atar langsung bergegas ke kontrakan Cinta. Namun, apa yang ia jumpai adalah kontrakan yang kosong. Kata Tantenya, sudah dua hari Cinta tidak kembali ke kontrakan.

Atar masih menatap nanar ponselnya. Puluhan pesan yang ia kirim hanya berakhir centang dua. Meskipun Cinta online pesannya belum ada yang dibaca. Atar memberanikan diri untuk menelponnya, namun panggilannya juga tidak diangkat.

Atar menghela napas panjang. Dalam hati kecilnya ia mendapati nyeri dan sesak yang belum pernah ia rasakan jika melihat kondisi Cinta seperti ini. Bahkan sesak yang ia rasakan jauh lebih terasa ketimbang saat Tata meninggalkannya dulu. Apalagi saat melihat mata Cinta yang sudah memancarkan luka yang teramat dalam karena perlakuannya, Atar seperti ingin merengkuh wanita itu dan membisikkan padanya bahwa semuanya akan baik-baik saja.

Namun apa daya. Semuanya cuma hanya terlintas di pikiran saja. Atar yang dilema mengubur niat sebenarnya dalam-dalam. Katakan ia bodoh karena lagi, ia melukai dua perempuan sekaligus.

Atara: Tidak masalah kamu enggak mau balas pesanku. Baik-baiklah di mana pun kamu berada. Maaf kalau aku lancang, tapi sungguh. Aku rindu sama kamu.

Setelah mengirim pesan itu, Atar segera memasang helm dan memutar balik arah motornya dengan hati yang tidak karuan.

***

"Datang juga lo. Dari mana aja? Bazar udah jalan sejam yang lalu," tanya Rangga begitu melihat Atar duduk di sampingnya.

Atar hanya diam tidak menimpali. Rangga dan Dika jadi bertanya-tanya dalam hati.

"Kusut amat. Ada masalah lo sama Si Tata?" tanya Dika penasaran.

"Gue habis dari kontrakan Cinta, tapi dia enggak ada di sana," ucap Atar lesuh.

Rangga mengernyit, "Kan dia di rumah sakit, dodol!"

Atar menggeleng lalu memainkan sendok yang ada di gelas kopi Dika. "Kata dokter pas gue ke rumah sakit, Cinta memaksa untuk segera dipulangkan," ucapnya terlihat gusar.

Dika terkekeh lalu memukul ringan pundak Atar. "Kenapa lo jadi gusar seperti ini? Lo, kan, udah memilih Tata. Ngapain pusing mikiran Cinta?" tandasnya.

Atar menajamkan matanya pada Dika, lalu kembali menghela napas panjang. "Lo boleh ngomong gitu karena lo enggak tahu apa dan bagaimana posisi gue sekarang ini," tukasnya. Atar segera pergi. Lebih tepatnya keluar dari kafe kampus setelah melihat Ivo sedang duduk santai di atas motornya.

"Vo, Cinta di mana?" tanya Atar langsung.

Ivo yang dihampiri tiba-tiba hanya menatap Atar datar. Ia menyeruput kopinya seperti menghiraukan keberadaan Atar.

"Vo, kasih tahu gue ke mana dia? Gue dari kontrakannya dan Cinta tidak ada di sana. Tante gue juga bilangnya gitu," kata Atar.

"Ngapain lo nyari dia? Mau lo lukain lagi? Belum puas lo ngegantung sahabat gue?" tanya Ivo sinis.

"Perbaiki hati lo dulu sebelum nyari Cinta. Lo dengan tampang lo yang sekarang hanya akan semakin melukainya. Biarkan dia tenang dan fokus sama kesembuhannya. Itu kalau lo masih punya hati!" Ivo segera berlalu setelah mengucapkan kata-kata itu.

Atar diam tidak berkutik. Ia mengepalkan tangannya erat-erat menahan sesuatu. Seperti ingin marah pada dirinya sendiri karena sudah menjadi pengecut. Salahkah kalau ia memang sangat merindukan Cinta? Belum sehari ia tidak melihat Cinta, tetapi rasanya ada serpihan yang kembali rumpang dan hanya dia yang bisa merampungkan semuanya kembali.

C I N T A R A (Selesai) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang