DuaLima - Rehat Sejenak

294 35 2
                                    

Menaruh harap pada orang yang belum tentu memberi kepastian adalah salah besar. Walau pada nyatanya tidak ada yang bisa mengatur hati bahwa kepada siapa nantinya akan jatuh cinta; bahwa kepada siapa nantinya ia menaruh hati; bahwa pada siapa nantinya―luka akan kembali tertuai. Sebab, oleh rasa yang nyatanya hanya dipermainkan. Sebab, oleh keadaan yang memaksa untuk mencintai seorang diri―meski tak memungkiri bahwa ia sudah mencintai seluruhnya laki-laki itu.

Memang terkesan egois. Lebih tepatnya egois akan dirinya sendiri. Membiarkan dirinya jatuh pada luka yang semakin dalam lalu kemudian memenjaranya dan menutup setiap sekat agar ia tidak bisa keluar dari tempat itu―mencintai laki-laki yang bahkan ia tahu bahwa setiap ucapannya hanyalah ucapan lintas mulut saja, misalnya.

Ia yakini, mencintainya adalah seorang diri saja. Ia lupa bahwa mencintai harus berdua. Bukan sendiri. Bahwa mencintai harus melibatkan dua rasa, bukan mengorbankan satu rasa yang dengan tulusnya terus saja dilukai.

Cinta menghapus kasar air matanya. Ia menertawakan dirinya. Untuk apa ia menangis? Sedang tak ada yang perlu ditangisi. Kecemburuannya tidak mendasar. Ia pun tidak memiliki hak untuk cemburu sedalam itu. Ia lupa, Atar dan dia belum terikat apa-apa―dan mungkin saja tak akan menjadi siapa-siapa. Hanya sebatas teman yang sama-sama sedang mencoba pelarian akibat hati yang mendadak hampa.

Cinta menatap langit yang sudah menggelap. Tak ada cahaya bintang yang menyapanya malam ini. Cukup tahu, dirinya malam ini tak sedang baik-baik saja. Untuk apa ia disapa?

Ia akhirnya berbalik lalu menatap air sungai yang meski dengan cahaya remang-remang saja, bias cahayanya bisa terpantul hingga ke air itu.

Ia memang sedang berada di sebuah jembatan. Orang mungkin saja mengiranya akan bunuh diri. Untuk apa ia berdiri, memegangi besi pembatas, dan hanya seorang diri saja?

Tapi biarlah. Cinta butuh menenangkan diri sebelum pulang ke kontrakan. Tahu apa yang ia harapkan tadi begitu ia keluar dari kafe itu? Atar akan mengejarnya. Begitu yang terlintas di dalam benaknya. Tapi, ia kembali menelan kepahitan saat Atar lebih memilih untuk merekatkan pelukannya pada perempuan itu. Kini ia sadar, Atar memang tidak memiliki rasa sebagaimana rasa yang ia miliki untuk Atar.

"Enggak guna!" umpatnya pada dirinya sendiri kala air matanya kembali menetes.

Klakson yang beberapa kali berbunyi membuatnya berbalik. Namun sebelumnya, ia menghapus air matanya lebih dulu.

"Hei! Ngapain di sini?" Rupanya Rangga dan Dika. Mereka menghampiri Cinta.

"Enggak. Lihat-lihat aja. Bagus pemandangannya," jawab Cinta berbohong. Jelas Rangga dan Dika tahu. Pemandangan apa yang ada? Sedangkan sekeliling hanya menyisakan gelap dan juga air sungai yang terdengar untuk mengisi keheningan di luar klakson kendaraan yang saling sahut-sahutan.

"Lo enggak kenapa-napa, kan?" tanya Dika. Ia duduk di atas jok motor Cinta.

Cinta mengulas senyum walau terkesan dipaksakan. "Enggak. Emang gue kenapa juga?" tanyanya balik.

"Soal tadi, Cin," sahut Rangga.

"Oh, itu tadi. Gue baik-baik aja. Emang harus bagaimana?" tanya Cinta.

"Lo enggak cemburu, Cin?" tanya Dika pelan-pelan.

Cinta hanya menatap keduanya nelangsa. Susah untuk menampilkan wajah yang baik-baik saja saat hatinya sedang kacau. "Ada hak emang? Lo berdua itu lucu," ucapnya lalu tertawa garing.

Rangga ikut duduk di atas jok motor Cinta lalu berucap, "Jelas lo ada haklah, Cin. Atar goblok itu sudah bersikap layaknya dia pacar lo. Lo harusnya lebih tegas buat minta kepastian sama dia―setidaknya hubungan lo berdua juga."

Cinta menelan salivanya kasar. "Gue enggak tahu. Harusnya gue yang emang harus sadar lebih awal kalau Atar memang enggak suka sama gue. Kalau emang dia suka, sudah lama ia memberi gue kepastian. Kita udah kenalan juga sudah terbilang lama, kok. Dan mungkin dia cuma mencari pelarian sesaat biar hatinya tidak kosong-kosong amat." Cinta kembali terkekeh garing.

Rangga dan Dika hanya menatapnya prihatin. Meskipun laki-laki, mereka tahu betul bagaimana perasaan Cinta.
"Yang tadi itu Tata. Pacar Atar. Dan sebelum Tata menghilang, mereka belum putus. Gue harap, lo bisa ngambil keputusan setelah ini. Gue lihat, Atar sangat bahagia dengan kehadiran Tata yang tiba-tiba tadi," ucap Dika menyentak Cinta. Pikirannya mendadak kosong. Ucapan Dika seperti sirine yang terus berputar di kepalanya.

Jadi benar, Atar ternyata memiliki kekasih? Jadi wajar saja kalau dia menggantungkan harapan Cinta begitu saja. Jadi benar kalau dirinya hanya mencintai seorang diri? Pembodohan!

"Lo baik-baik aja, kan, Cin?" Cinta menatap Rangga.

"Gue baik-baik aja, kok. Enggak perlu khawatir. Soal Atar dan perempuan itu, terserah mereka. Gue harus apa juga. Minggir, deh, lo berdua! Gue mau pulang," ucapnya berusaha tegar padahal hatinya sedang berdarah-darah.

Rangga dan Dika turun. "Kita anterin lo, ya? Enggak baik kalau lo jalan sendirian," sahut Rangga yang sudah berjalan menuju motornya.

"Enggak perlu. Gue baik-baik saja. Udah biasa juga, kok."

"Dianterin aja, Cin. Lagian kita berdua juga bakal di belakang lo doang." Dika menambahi.

Cinta tidak bisa menolak. Ia pun tidak yakin, akankah ia bisa mengendarai motornya dengan kondisi hati yang sedang seperti itu.

Baru saja ia meng-start motornya,suara klason kembali menusuk telinganya. Ia menoleh dan hatinya kembali terhenyak saat melihat Atar bersama dengan perempuan itu. Tangan perempuan itu memeluk pinggang Atar begitu erat. Cinta mencoba tersenyum meski matanya sudah mulai perlahan basah begitu Atar menoleh ke arahnya.

"Kalian ngapain di sini?" tanyanya.

"Perbaiki motor Cinta. Ini juga mau anterin dia balik," ucap Dika berbohong.

Atar kembali menatap Cinta. "Sudah enggak masalah motornya?" Cinta hanya mengangguk sekilas. Sekali ia bersuara maka gentaran dari suara itu bakalan terdengar dengan jelas.

"Kalau gitu gue duluan, ya. Mau nganterin Tata dulu."

Motor itu melaju, meninggalkan mereka. Dan Cinta, tentu saja dengan luka barunya.

"Ayo, Cin! Lo bisa bawa motor sendiri, kan?" tanya Dika.

Cinta membunyikan klasonnya sebagai jawaban. Dengan pelan, ia mulai mengendarai motornya. Ia tak menampik bahwa fokusnya sedang tidak baik. Pikirannya berkelana kembali pada kejadian awal di kafe, dari ucapan Dika, hingga apa yang baru saja ia lihat tadi sangat mempengaruhi pikirannya.

Ia membelokkan motornya ke kanan. Namun, sebuah motor tiba-tiba menyerempetnya kasar dari belakang. Motornya terpelanting beberapa meter hingga berakhir menabrak pembatas jalan. Sunyi. Itu yang ia rasakan. Tak ada suara sama sekali. Kecuali badannya yang sudah terasa remuk. Ia bahkan tak bisa menggerakkan badannya. Perih pada kulitnya juga terasa semakin membakar.

Ia menutup matanya pelan,  bersamaan dengan air matanya yang jatuh di kedua sisi. Terakhir, yang ia rasakan adalah badannya terangkat, namun ia tetap enggan membuka mata. Biarlah ia beristirahat dulu dari luka baru yang kembali merujamnya hari ini. Fisik dan nuraninya sama-sama sedang bersaing memberinya luka terbaik.

C I N T A R A (Selesai) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang