EmpatBelas - Perkara Martabak

345 45 1
                                    

Cinta menutup buku catatan kecilnya. "Tinggal kalian follow up tugas masing-masing," tutup Revan sebelum meninggalkan ruangan. Baru saja divisi Cinta mengadakan rapat dadakan karena ada costumer yang tiba-tiba memajukan deadline-nya.

"Huft! Makin runyam aja kerjaan," kata Cinta. Bela yang ada di sampingnya hanya mengusap pundaknya halus.

"Yang sabar. Namanya bekerja. Lagian kita, kan, dari dulu tim solid. Jadi, percaya, deh. Akan teratasi semuanya." Cinta mengembangkan senyumnya sebelum keluar dari ruangan itu.

"Iya, Mbak."

"Kamu mau langsung balik?" tanya Bela mulai merapikan barang-barangnya.

"Iya. Capek juga. Mau istirahat banyak, hehehe."

"Ya, udah. Kamu hati-hati. Mbak duluan. Sudah ditunggu Mas Kian di depan."

"Hati-hati."

Cinta memeriksa ponselnya terlebih dahulu. Namun, belum ada tanda-tanda Atar akan menjemputnya padahal ini sudah pukul empat lewat lima belas menit. Cinta akhirnya memutuskan untuk menunggu di depan saja.

"Nunggu jemputan, ya, Non?" tanya pak satpam saat memberikan helm milik Cinta.

"Iya, Mang. Boleh duduk di sini dulu?" izin Cinta.

"Boleh atuh, Non."

Cinta akhirnya mendudukkan dirinya di sebuah kursi berwarna biru. Ini pasti kursi pak satpam. Sembari menunggu, ia tenggelam dalam sosial medianya. Sesekali matanya melirik ke arah jalan raya, kali-kali Atar sudah datang.

Namun sudah tiga puluh menit menunggu, Atar sama sekali belum memberinya kepastian. Setidaknya mengabarinya lewat pesan whatsapp.

"Belum datang jemputannya, Non? Mau hujan loh." Cinta mengangkat wajahnya. Benar, langit sudah menyendu kembali. Angin juga sudah mulai terasa menyentak di kulit.

"Pesan gojek aja, Non. Nanti kelamaan nunggu malah kehujanan. Jatuhnya sakit." Cinta menimang-nimang dulu usulan pak satpam sebelum akhirnya mengangguk. Toh, jika nanti Atar datang dan tidak mendapatinya lagi di kantor juga bukan salah Cinta.

Lima menit kemudian, gojek yang dipesan Cinta sudah datang.
"Mang, saya pulang duluan, ya. Semangat kerjanya."

"Iya, Non. Hati-hati."

Ada perasaan aneh yang dirasakan oleh Cinta selama di perjalanan. Berkali-kali ia memeriksa ponselnya, namun tetap sama. Ruang percakapan itu masih kosong. Mungkin salahnya yang teramat menaruh harap, akhirnya ia sendiri pun yang merasa kecewa.

***

"Kapan selesainya, sih, ini?" tanya Atar menyentak kedua sahabatnya yang masih sibuk dengan laptopnya.

"Ya, kalau kita sudah sampai di bab penutup," jawab Dika asal.

Atar menyugar rambutnya kasar. Berada di semester yang mendekati akhir kadang membuatnya ingin segera wisuda saja. Mata kuliah memang semakin menyusut tapi tugas yang diberikan sama sekali tidak ada tandingannya.

"Lo kenapa, sih? Dari tadi kayak cacing kremi mulu?" Atar menatap sahabatnya, Rangga.

"Gue udah janji mau jemput Cinta. Ini sudah mau jam lima dan dia pulang ngantornya jam empat. Telatlah gue. Mana gue lupa ngabarin dia gara-gara tugas sialan ini yang butuh perhatian banget."

Rangga dan Dika malah menahan tawanya. Atar yang melihat keduanya seperti itu langsung melemparkan segumpal kertas hvs yang tidak terpakai.

"Malah dilemparin. Lo itu kalau udah dilanda lope-lope jadi nggak normal gini, ya? Bukan Atara banget. Bener nggak, Ngga?" tanya Dika pada Rangga.

C I N T A R A (Selesai) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang