"Aku memintamu di sini dulu, di depan senja. Tetapi sekarang kau yang mengakhiri semuanya, pun di depan senja."
~Edwin, yang dipatahkan.
***
Cinta tak lagi fokus sama pekerjaannya. Tangan dan matanya memang terlihat sibuk dengan benda persegi empat yang ada di depannya tetapi pikirannya melambung jauh melewati batas kantor yang ia tempati bekerja.
Cinta akhirnya mendesah pelan. Rasanya percuma juga pura-pura berpikir keras pada desain yang tengah ia kerjakan karena otaknya benar-benar tidak berada di titik itu. Andai saja Edwin tidak menelponnya mungkin desain ini bisa selesai seperempatnya. Tetapi yang ada bahkan sepuluh persen saja tidak sampai. Cinta kembali mengamati pekerjaannya di di laptopnya. Hanya ada beberapa garis lurus dan itu pun berbentuk absurd.
Kurang lima menit lagi pukul empat. Cinta akhirnya menyudahi pekerjaannya. Toh, ia bisa menyelesaikannya di rumah apalagi besok adalah hari Minggu sedang hari Senin juga hari raya. Lumayan, Cinta bisa merehatkan pikirannya dalam waktu itu.
"Sore, Pak!" sapa Cinta yang kebetulan bertemu dengan Pak Dimas di dalam lift.
"Sore. Sudah mau pulang?" tanya Pak Dimas basa-basi.
"Iya, Pak."
"Oh, iya. Kalau desain rumah Pak Hermanus selesai, segera kirimkan saya filenya, ya!" kata Pak Dimas sebelum keduanya berpisah di lantai satu.
"Baik, Pak. Kalau begitu saya duluan." Cinta segera melangkahkan kakinya menuju parkiran untuk mengambil sepeda motornya. Jarak kantor dan kontrakan Cinta memang tidaklah jauh. Hanya sekitar lima belas menit untuk pengendara sepeda motor. Namun kali ini perjalanan rasanya begitu lama bagi Cinta. Ia hanya ingin cepat-cepat sampai di kontrakan untuk memastikan semuanya. Apakah ia benar-benar datang?
Cinta memarkir asal sepeda motornya saat sudah sampai di depan kontrakan. Helmnya pun ia lepas begitu saja lalu segera menuju taman yang berada di samping kontrakannya.
Jantung Cinta perlahan memompa dengan cepat saat ia sudah melihat punggung laki-laki yang menelponnya tadi. Laki-laki itu menggunakan jaket hitam dengan sebuah topi berwarna senada untuk menutupi rambutnya.
Cinta melangkah perlahan mendekati laki-laki yang duduk di sebuah bangku panjang itu. Ia berdehem sebentar sebelum duduk di samping laki-laki itu.
"Sudah pulang?" tanya laki-laki itu yang tak lain adalah Edwin. Cinta menatap Edwin lamat-lamat. Bohong jika Cinta tidak merindukan sosok pria yang ada di hadapannya ini. Mata Cinta pun perlahan turun ke celana Edwin yang masih berseragam SMA. Pikiran Cinta kembali berkelana. Apakah Edwin membolos dari sekolah demi menemuinya?
"Aku tadi... em, maksudku aku bolos. Tadi langsung terbang ke sini," ucap Edwin menjelaskan setelah melihat kerutan di kening Cinta yang sepertinya sedang berpikir keras.
"Kenapa, Ed? Kamu sudah mau ujian masih bolos-bolosan," balas Cinta. Ia kembali memandangi sekeliling taman. Begitu ramai, banyak yang melakukan olahraga ringan seperti joging, bersepeda, ada pula yang hanya sekadar jalan santai.
"Tadi malam aku kepikiran kamu terus. Apalagi setelah membaca pesan terakhirmu, firasatku sudah mulai buruk." Edwin menatap Cinta dengan kekalutan yang tampak begitu jelas di wajahnya.
"Yang kamu minta di pesan hanya candaan, kan, Cin? Jujur, aku sedikit tidak percaya saat membaca pesan darimu. Aku masih sangat mencintaimu, Cin."
Cinta menggigit bibir bawahnya setelah mendengar ucapan Edwin. Ia bingung harus mulai berkata dari mana untuk menyampaikan apa yang sebenarnya ia rasakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
C I N T A R A (Selesai)
RomanceWAJIB FOLLOW SEBELUM BACA!!! ~~~~~ Cinta menyandarkan dagunya di atas bahu lelaki yang sedang ia peluk pinggangnya itu, merasakan angin yang berembus melawan mereka berdua saat motor itu melaju. "Di kota yang seluas ini, aku nemuin kamu. Kita ber...