Cinta dan Atar sekarang tengah berada di pom bensin. Mereka akan barbeque-an di halaman samping kontrakan Cinta yang berhadapan langsung dengan taman yang luas nanti malam. Kebetulan besok juga adalah hari minggu. Namun, persediaan di kontrakan nyatanya tidak ada yang memenuhi kriteria. Atar akhirnya berinisiatif untuk mengajak Cinta berbelanja. Awalnya ingin ke mall, namun kata Cinta bahan-bahan di sana akan jauh lebih mahal. Untuk itu mereka memutuskan untuk berbelanja di pasar pagi, lagipula jam baru menunjukkan pukul tujuh. Pasar pagi akan kembali sepi apabila sudah pukul sepuluh dan tentu saja kebanyakan bahan-bahan pokok akan raib diborong pembeli.
"Hari paling menyenangkan emang hari Minggu, ya, Cin?" tanya Atar yang sudah menarik pedal gas mobilnya.
Cinta yang tak paham berucap, "Menyenangkan gimana?"
"Ya, kayak gini. Enggak macet, bisa puas-puasan rebahan kalau lagi enggak ada tugas. Santai pokoknya," jawab Atar.
Cinta menyetujui. Andai kata Atar tidak mengajaknya berbelanja hari ini, ia dan Ivo akan menghabiskan waktu untuk tidur setelah semalaman begadang karena maraton film. Cinta jadi mengingat Ivo yang masih tertidur di kontrakan.
"Benar. Bukan kita aja, semua orang juga pastinya."
Atar membelokkan mobilnya ke arah kanan, lebih tepatnya di depan jalan utama masuk pasar itu. Ia memarkirkan mobilnya, kira-kira sepuluh meter dari sisi jalan masuk karena jelas tertulis di selebaran yang terpasang di sana bahwa kendaraan roda empat dilarang masuk.
"Nah, itu. Ayo, sudah sampai ini." Atar segera turun, lalu diikuti oleh Cinta. "Mau ke mana dulu?" sambungnya bertanya. Tak lupa ia menggenggam sebelah kanan tangan Cinta saat keduanya sudah memasuki pasar.
"Tempat penjual daging. Kamu ajak siapa aja emangnya?" tanya Cinta lalu melebarkan langkahnya saat di depannya ada genangan air.
"Paling cuma Rangga dan Dika. Ya, pasti Rangga bawa pacarnya juga, kan."
"Ohh ... belanja seadanya aja, ya?" usul Cinta. Atar mengangguk menyetujui.
Sampainya di penjual daging, Cinta dibantu oleh Atar langsung memilih daging sapi segar. Hanya beberapa potong. Setelah itu, dua ekor ayam yang sudah dibersihkan juga mereka beli. Sayur-sayur pelengkap seperti selada, wortel, dan kentang dengan lihai dimasukkan ke dalam keranjang belanjaan yang Cinta bawa. Ia memang menolak untuk mengantongi belanjaannya kalau memang ia merencanakan ke pasar.
"Sosis juga, Cin?" tanya Atar menunjukkan dua kemasan sosis.
"Boleh." Sekarang Cinta tengah memilih bumbu untuk acaranya nanti. Tak hanya itu, ia masih sempat mengambil dua botol sirup rasa stroberi dan juga buah pisang dan pepaya. Setelah semua terasa cukup dan membayarnya―yang sebenarnya dibayar semua oleh Atar, mereka berdua segera keluar dari dalam pasar.
"Aku mau beli donat itu dulu," tunjuk Cinta pada toko kue yang ada di seberang mobil Atar.
"Kamu ke mobil aja, biar aku yang beli. Toping apa?" tanya Atar.
"Apa aja. Yang penting ada toping matcha," jawab Cinta yang malah membuat Atar mengacak rambutnya gemas.
"Itu bukan apa aja namanya, Cin. Ya, udah. Masuk gih, udah makin panas," suruh Atar lalu menyeberang.
Atar melihat begitu banyak varian donat dengan berbagai toping yang ada. Atar belum lupa kalau Cinta adalah seorang maniak donat dan juga matcha.
"Buk, beli donatnya," kata Atar sama penjualnya.
"Yang toping mana, Mas?" tanyanya sudah memegang boks donat.
"Matcha, stroberi dan oreo, Buk. Dua boks, ya. Yang satu boks, semuanya isi matcha. Sisanya campur," kata Atar menjelaskan.
"Ini, Mas." Atar mengambil dua kotak donat yang sudah dimasukkan ke dalam sebuah plastik.
"Semuanya berapa?" tanya Atar.
"56 ribu, Mas."
Atar langsung merogo uang pas dari dalam sakunya. Setelah itu, ia kembali ke dalam mobil.
"Ini." Atar menyodorkan platik itu.
Cinta menerimanya dengan sumringah, "Makasih."
Atar hanya tersenyum lalu menjalankan mobilnya kembali.
"Kamu mau?" tanya Cinta mulai menyantap donat itu.
Atar menggeleng. "Aku lagi nyetir, Cin. Mana bisa," katanya.
Cinta mencomot satu donat lagi. Donat yang sudah digigitnya, ia pindahkan lebih dulu ke tangan kirinya. Ia mendekat ke arah Atar.
"Nih, buka mulutnya," suruh Cinta menyodorkan donat tepat di depan mulut Atar.
"Ternyata kamu peka juga, ya," ucap Atar sebelum membuka mulutnya.
Cinta hanya diam lalu kembali menggigit donat miliknya. Ia sampai tak sadar kalau separuh badannya sudah bersandar pada Atar.
"Enak juga. Lagi, dong," kata Atar setelah menghabiskan satu donat. Cinta membersihkan kedua tangannya dengan tisu lebih dulu lalu mencomot satu donat untuk Atar lagi.
"Kalau gini, kita udah kayak pacaran beneran loh, Cin."Cinta rikuh hingga ia sadar dengan posisinya. Ia hendak menarik diri, namun tangan kiri Atar menahannya dengan merangkul pundaknya membuat Cinta menjadi tambah merapatkan tubuhnya.
"Tar ...." bisik Cinta merasa tidak nyaman.
"Enggak papa. Gini aja dulu," kata Atar.
Cinta terdiam. Lebih tepatnya tidak tahu harus bertindak seperti apa.
"Kamu bisa dengar detak jantungku, enggak?" tanya Atar.
"Dengar," jawab Cinta.
"Enggak beraturan tahu. Kayaknya cuma pas dekat kamu doang," kata Atar lugas. Cinta menutup matanya. Apa Atar tidak bisa merasakan detak jantungnya yang bahkan sudah blingsatan tidak karuan? Bukan hanya itu. Apa Atar tidak bisa merasakan tubuhnya yang mendadak rikuh kalau di samping Atar? Apalagi jika terlampau dekat kayak gini?
"Kata orang, kalau jantung kita berdebar itu tanda orang yang sedang jatuh hati, loh, Cin. Jangan-jangan aku jatuh hati sama kamu lagi," sambung Atar. Cinta bisa merasakan rambunya yang disugar lembut. Ia mendongak, melihat manik Atar yang juga tengah melihatnya.
"Udah, ah. Lepas. Nanti malah tabrakan," ujar Cinta kikuk. Atar terkekeh.
"Kamu salting banget. Mau makan pecel? Aku laper dan pengen makan pecel lele."
"Ini ada donat," tunjuk Cinta.
"Lagi pengen makan pecel lele, Cin. Kamu temani aku, ya. Ya, ya, ya."
"Iya." Cinta merasa geli saat Atar merengek seperti itu.
Atar menghentikan mobilnya di depan sebuah warung pecel. Tidak begitu ramai. Mereka mengambil kursi di depan kipas angin.
"Aku pesan dulu, ya. Kamu mau juga?" tanya Atar.
"Enggak. Aku sudah kenyang makan donat."
Atar segera memesan satu porsi pecel lele komplit dengan dua es teh manis. Salah satunya untuk Cinta.
"Kamu benar enggak mau ikut makan?" tanya Atar lagi setelah menaruh makanannya di atas meja.
Cinta menggeleng, "Kamu aja. Tapi, kok, harum, ya?"
"Emang. Sini makan berdua aja," tawar Atar. Ia mulai memisahkan daging ikan dari durinya.
"Makan ini yang enggak ada durinya," katanya lagi.
Cinta tertarik. Ia membersihkan tangannya lagi lalu mencoba pecel lele dari warung ini. "Enak juga. Sambalnya gurih," komentarnya.
Atar mengangguk menyetujui, "Kubilang juga apa."
Atar terlihat sangat bersemangat sampai tak sadar kalau di bibirnya ada butir nasi yang tertinggal.
"Makannya santai aja, Tar," ucapnya lalu membersihkan bibir Atar dengan tisu.
"Habisnya enak. Ayo, dimakan lagi. Kalau perlu, kita nambah juga boleh."
Cinta hanya memerhatikan Atar. Ia sadar kalau makin hari, ia semakin dekat dengan Atar. Seperti sudah sebagai pacar namun belum. Lebih tepatnya, teman rasa pacar. Cinta masih berharap dan setia menunggu dan Atar masih belum memberinya kejelasan.
Tbc;
KAMU SEDANG MEMBACA
C I N T A R A (Selesai)
Lãng mạnWAJIB FOLLOW SEBELUM BACA!!! ~~~~~ Cinta menyandarkan dagunya di atas bahu lelaki yang sedang ia peluk pinggangnya itu, merasakan angin yang berembus melawan mereka berdua saat motor itu melaju. "Di kota yang seluas ini, aku nemuin kamu. Kita ber...