TigaSatu - Sebuah Pengakuan

342 34 15
                                    

Malam harinya, tepat jam tujuh, Cinta memilih keluar. Ia pergi ke sekitaran taman di samping kontrakannya. Ivo belum pulang. Mungkin masih sibuk dengan tugas kuliah atau bahkan lagi kumpul bersama teman-teman kampusnya.

Ia memilih duduk di sebuah rerumputan. Pikirannya berkecamuk. Lebih tepatnya memikirkan soal perasaan yang semakin susah dijabarkan tiap harinya.

Ia kembali mengingat kejadian tadi sore. Tepat setelah kejadian itu, Atar sudah tidak mengiriminya pesan lagi. Padahal biasanya Atar akan menyepamnya tiap jam. Ini yang Cinta pikirkan. Hubungan apa yang sebenarnya pantas mengikat dirinya dan Atar karena jika dipikir-pikirkan, ini sudah melewati batas yang wajar. Marah, cemburu, dan iri tak seharusnya hadir di hati keduanya.

Cinta memelintir ujung hidungnya. Ini bahkan jauh terasa lebih rumit ketimbang hubungannya dulu dengan Edwin. Ia kembali mengingat bagaimana ia dan Atar awalnya bertemu. Kalau bukan karena Ivo, mungkin Cinta tidak akan bertemu dengan laki-laki itu.

Tapi, mungkin ini memang sudah digariskan pada hidupnya. Hanya saja waktu belum menjawab pasti, bagaimana akhir dari kisahnya. Ataukah memang kisah itu tak akan berujung kasih. Entahlah. Cinta semakin pusing memikirkannya.

Ia merogo ponselnya dan langsung membuka foto-foto yang ada di galerinya. Foto yang ia ambil dulu di foto boks bersama Atar saat mereka berdua kembali mengenang masa SMA. Sudah banyak hal yang mereka lewatkan hingga pada akhirnya sampai pada puncak kerumitan seperti ini.

Lama terduduk di taman seorang diri, Cinta akhirnya memutuskan untuk kembali ke kontrakannya. Saat ia hendak menutup pagar kontrakannya, Atar tiba-tiba keluar dari rumah tantenya. Cinta hanya tersenyum kikuk. Terlebih saat Atar hanya menatapnya tanpa ekspresi.

Cinta menutup pintu pagarnya pelan-pelan.

"Bisa ngobrol sebentar?"

Cinta membalikkan badannya cepat. Atar masih menatapnya datar.

"Boleh. Di sini aja," ucap Cinta melirik bangku yang ada di depan kontrakannya. Atar mengangguk.

Ia duduk di samping Cinta. Keduanya membisu. Suasana pun tampak akward. Melihat Atar yang hanya diam, Cinta akhirnya berinisiatif untuk bertanya duluan.

"Mau ngomongin apa?" tanyanya. Atar menoleh sekilas.

"Kamu bahagia dengan kita yang sekarang?" tanya Atar pelan. Ia masih menatap Cinta dalam.

Sedangkan Cinta bingung. Ia tidak tahu bagaimana ia mengutarakan isi hatinya.

"Kamu tetap pengen kita kayak gini terus? Berjauh-jauhan?" tanya Atar lagi.

Cinta mencoba mengulas senyum terbaiknya. "Kalau kamu? Senang dengan kita yang sekarang?" tanya Cinta balik.

Giliran Atar yang tersenyum. Lebih tepatnya tersenyum getir. Ia membuang pandangannya ke depan.

"Tidak. Aku enggak senang. Aku enggak suka dengan kita yang sekarang. Aku lebih suka kita yang dulu," ucap Atar tanpa melihat Cinta.

"Harusnya kamu bahagia, Tar. Tidak ada alasan yang bisa membuatmu untuk tidak bahagia. Kamu sudah punya Tata, punya sahabat yang peduli sama kamu. Apa lagi?" Cinta menimpali. Ia memilin tangannya erat-erat.

Atar kembali terdiam. Matanya menatap langit malam, menyaksikan bintang dan bulan yang tengah memendarkan cahayanya dengan terang. Langit juga sudah tidak berawan.

"Tapi, aku kehilangan satu hal, Cin," kata Atar pelan.

"Apa?"

Atar terkekeh pelan. Ia menyandarkan punggungnya pada dinding tembok lalu mengembuskan napasnya kasar.

C I N T A R A (Selesai) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang