DuaEnam - Perhentian

298 39 1
                                    

Nuansa putih langsung menyambutnya begitu mata yang terpejam beberapa jam yang lalu akhirnya terbuka. Ia menutup kembali matanya kala cahaya lampu terasa menusuk retina matanya. Hingga beberapa menit kemudian, barulah ia bisa menyesuaikan semuanya.

Ia melihat sekeliling dan baru sadar kalau ternyata ia sedang berbaring di atas brankar rumah sakit. Cairan infus yang menetes dari kantungnya kini tersisa setengah saja. Siapa yang membawanya ke sini?

Tak lama pintu terbuka. Ternyata Ivo dengan sebuah plastik berwarna hitam di tangan sebelah kanannya.

"Akhirnya lo sadar juga. Lo bikin gue nyaris jantungan pas dengar lo kecelakaan tadi tahu nggak!" sentaknya langsung, namun wajahnya begitu menunjukkan kekhawatiran.

"Siapa yang bawa gue ke sini tadi?" tanya Cinta serak. Ivo dengan sigap memberinya segelas air yang ada di atas nakas.

"Rangga dan Dika. Siapa lagi? Lo harap si bangsat itu yang nganterin lo?" cecar Ivo dengan wajah yang terlihat menahan amarah.

"Vo, lo?"

Ivo mengembuskan napasnya kasar. "Dika udah cerita semua ke gue. Gue enggak nyangka aja sama Atar. Bangsat, ya, bangsat aja!"

Cinta mengernyitkan alisnya. "Kenapa jadi lo yang emosi gini, sih? Gue aja santai kali, Vo."

Ivo memicingkan matanya sangsi, "Ya, kali gue harus bikin pesta meriah saat lo sedang sakit gini. Lagian gue enggak yakin kalau lo baik-baik aja. Gue yakin, hati lo udah berdarah-darah," ucap Ivo menggebu-gebu.

"Lo mending enggak usah kontakan sama si bangsat itu. Katanya sudah ada si Citata kawe yang tiba-tiba datang merebut perhatian Atar dari lo," tambahnya lagi.

"Tata, Vo. Kalau itu pilihan Atar, gue bisa apa, Vo. Andai aja gue tahu lebih awal kalau Atar ternyata belum berdamai dengan masa lalunya, enggak mungkin gue bakalan jatuh sejauh ini," ujar Cinta berusaha duduk, namun badannya terasa remuk.

"Baringan aja dulu," kata Ivo menahan.

"Gue cuma enggak mau lo jatuh lebih dalam lagi. Jadi, gue wanti-wanti lo aja dari sekarang. Kalau gue tahu soal masa lalu Atar pun, gue udah larang lo juga dari awal. Apalagi saat Dika bilang tadi kalau ternyata mereka berdua belum putus. Kesempatan mereka kembali bersama jauh lebih besar. Lo harus mikirin itu," papar Ivo. Ia membuka plastik hitam yang ada di atas nakas dan mengeluarkan dua kotak ricebowl yang dipesannya lewat aplikasi ojol.

"Nih, makan dulu. Gue tahu kalau lo enggak doyan sama makanan rumah sakit. Lo bisa makan sendiri, kan? Atau perlu disuapin?" tanya Ivo.

Cinta sontak menolak. "Gue bisa sendiri. Sekarang sudah jam berapa?"

"Jam sebelas malam."

Cinta hanya mengangguk lalu mulai menyendok makanannya. Kadang-kadang ia meringis saat mengangkat tangannya. "Gue enggak apa-apa, kan? Apa kata dokter?"

Ivo meneguk air minumnya lebih dulu lalu menatap Cinta. "Lo enggak kenapa-napa. Cuma kedua lutut lo yang di perban sama siku tangan kiri lo."

Cinta merasa tidak yakin. "Tapi, kenapa badan gue kerasa berat gini? Mana ngilu juga."

"Itu karena terpental. Badan lo terbentur sama aspal dan motor lo sendiri. Wajarlah. Untung bukan kepala lo. Kalau saja iya, gue enggak yakin lo masih bisa ingat gue," ucap Ivo berkelakar.

Cinta merengut. "Doa lo itu. Ngomong-ngomong, makasih udah nemenin gue di sini."

"Santai. Cepat makan biar lo bisa minum obat. Apa perlu gue bilangin orang tua lo?" tanya Ivo yang malah membuat Cinta tersedak makanannya sendiri. Ivo kembali mengambilkannya minuman.

C I N T A R A (Selesai) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang