Cinta hanya menatap jalanan yang tengah basah karena hujan deras. Ia berdiri, kedua tangannya ia masukkan ke dalam saku jas kerjanya. Matanya tertutup, seiring dengan napas yang ia tarik pelan-pelan. Petrikor hujan membuatnya nyaman. Seakan-akan pekerjaan yang menumpuk di pundaknya langsung terangkat saat petrikor berhasil merilekskan pikirannya.
"Jangan terlalu dekat, kamu kecipratan air hujan." Lengan Cinta tertarik ke belakang. Sebuah jaket kembali membungkus badannya dari belakang. Ia berbalik, dan mendapati Atar yang tengah menatapnya dengan wajah datar.
Cinta terkekeh. "Aku suka bau khas hujan. Apalagi kalau abis panas banget terus tiba-tiba hujan deras. Baunya jauh akan lebih terasa," ucap Cinta pelan lalu kembali duduk di samping Atar. Mereka sedang berada di sebuah halte untuk bertedu karena Atar menjemput Cinta menggunakan motor antiknya.
"Petrikor maksudmu?" tanya Atar pelan. Cinta mengangguk semangat. Ia kembali memandangi jalanan yang masih mengepulkan asap seperti air panas. Mungkin efek aspal panas yang tiba-tiba dirinai hujan dengan sangat deras.
"Iya. Bikin tenang dan emm ... nyaman."
"Perasaan bau tanah aja deh," timpal Atar. Cinta merengut.
"Hish! Bau tanah dan bau khas hujan itu beda. Tanpa kujelasin juga kamu sudah mengerti, kok."
Giliran Atar yang tertawa tertahan. "Iya. Enggak usah cemberut begitu. Kalau petrikor bisa bikin kamu tenang dan nyaman, apa aku enggak?"
Cinta tersentak. Sesuatu menggelitik bagian dalam tubuhnya yang otomatis membuat detak jantungnya berdetak tak karuan. Panas pada kedua kupingnya mulai menjalar hingga ke wajahnya. Apalagi saat Atar menangkup kedua pipinya hingga kedua mata mereka bertubrukan.
"Jawab aku, Cin," ucap Atar lembut. Ia mengusap pipi Cinta bermaksud menghilangkan rona merah pada pipi itu. Bukannya hilang, malah yang ada makin menjadi-jadi.
Cinta mencoba mengalihkan pandangannya. Posisi seperti ini malah membuatnya rikuh.
"Hei, jawab. Jangan melamun."
"Iya. Kamu em ... buat aku nyaman," jawab Cinta kaku.
Alis Atar terangkat sebelah. "Nyaman gimana kalau gitu?"
Cinta menghela napas pelan tanpa sepengetahuan Atar. Kenapa Atar malah membuatnya blank hingga ia pun kehilangan kosa kata sendiri?
"Ya, nyaman. Aku kalau sama kamu, maksud aku ... kamu dekat aku membuatku merasa terlindungi," ucap Cinta lagi.
Atar menyelipkan rambut-rambut yang menutupi separuh wajah Cinta karena angin yang kini berembus sedikit kencang.
"Kamu ada rasa lain selain teman?"
Detak jantung Cinta semakin tak beraturan. Ia melepaskan tangan Atar yang masih berada di pipinya lalu digenggam dengan erat seakan genggaman itu adalah penetrasi dari rasa gugup yang makin menderanya.
"Kalau ada, apa kamu akan marah?" lirih Cinta.
Perasaan Atar menghangat. Ia pun membalas genggaman Cinta. "Enggak. Buat apa aku marah?" tanyanya.
Cinta memberanikan diri untuk menatap kedua mata Atar. "Kamu tahu? Aku selalu berharap lebih dari kita yang sekarang. Aku nyaman sama kamu. Dan bahkan apa yang dulu pernah hilang dari aku juga perlahan kembali lagi seiring adanya kamu di samping aku. Maaf kalau aku lancang. Aku sudah mencoba menahan semuanya, tetapi makin lama, perasaan itu juga makin tumbuh."
Cinta mengalihkan pandangannya lagi. Rasa malunya mendadak hilang. Mulutnya sudah seperti tidak miliki pedal rem. "Apalagi kamu selalu memperlakukan aku seperti seseorang yang istimewa," tutupnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
C I N T A R A (Selesai)
RomanceWAJIB FOLLOW SEBELUM BACA!!! ~~~~~ Cinta menyandarkan dagunya di atas bahu lelaki yang sedang ia peluk pinggangnya itu, merasakan angin yang berembus melawan mereka berdua saat motor itu melaju. "Di kota yang seluas ini, aku nemuin kamu. Kita ber...