DuaTujuh - Andai Kata

306 37 4
                                    

Cinta menutup pintu ruang inapnya dengan kasar. Darah yang merembes dari punggung tangan dan kedua lututnya tak dihiraukannya sama sekali. Meski sakit dan perih, namun hatinya jauh lebih terluka. Mungkin ia bodoh karena lebih mementingkan luka batin dari pada luka fisik yang sudah tampak nyata di depannya.

Ia menangis, sesegukan. Punggungnya tidak berhenti naik turun. Kenapa Atar begitu jahat padanya? Kenapa Atar sama sekali tidak memahami perasannya? Hatinya begitu terluka di saat Atar lebih mementingkan gadis lain selain dari dirinya. Ia ingin egois, memiliki Atar seorang diri. Namun, nyatanya Atar memilih orang lain.

"Astaga, Cinta! Lo sudah gila?!" hardik Ivo begitu ia membuka pintu dan mendapati Cinta dengan darah yang sudah menetes di mana-mana. Ia kembali diam. Cinta tengah menangis.

Ia berjongkok dan mengangkat wajah Cinta. Ia juga ikut terluka melihat wajah sahabatnya yang begitu kacau. Matanya menyiratkan luka yang enggan ia ceritakan pada siapa pun.

"Atar lagi?" tanya Ivo mencoba menebak. Cinta tidak menjawab, namun pelukan erat yang Ivo dapatkan sudah menjawab tanyanya.

Ia mengusap punggung Cinta pelan. Ivo hanya diam dan membiarkan Cinta menangis sepuasnya. Namun, Kepalan tangan Ivo juga menandakan kalau gadis tomboi itu tengah menahan emosinya.

"Lo diapain lagi sama dia?" tanya Ivo setelah Cinta melepas pelukannya. Ia menghapus air mata Cinta lebih dulu. Cinta menggeleng, enggan membuka suara.

Ivo menghela napas. Pasti ada sesuatu yang tidak beres. Ia membantu Cinta berdiri. Belum berdiri dengan sempurna, Cinta sudah ambruk membuat Ivo seketika panik. Ia berteriak meminta pertolongan. Dua orang perawat datang membantu mengangkat tubuh Cinta ke atas brankar. Ivo memencet bel rumah sakit dan tak lama seorang dokter datang.

Ivo keluar begitu dokter menyuruhnya untuk menunggu di luar. Ivo menggigit jarinya. Antara bingung dan khawatir. Ia ingin menelpon orang tua Cinta, namun mengingat Cinta melarangnya semalam membuatnya begitu dilema.

Pandangannya begitu menajam begitu melihat Atar berjalan ke arahnya. Tanpa menahan lagi, ia mendekati Atar dan melayangkan satu tamparan keras di pipi sebelah kanan Atar.

"Gue udah bilang sama lo, jangan sesekali sakitin sahabat gue!" sarkasnya di depan Atar.

"Apa enggak ada setitik dari rasa kepedulian lo sama Cinta? Kalau lo enggak bisa membalas perasaannya, setidaknya jangan buat ia jatuh cinta!" ucap Ivo lagi berapi-api. Matanya memancarkan kebencian. Ia tidak peduli lagi bahwa yang baru saja ditamparnya adalah senior di kampusnya.

"Vo, gue ti―"

"Gue enggak mau nerima alasan apapun dari lo karena apa yang lo lakuin sama Cinta memang enggak ada benarnya sama sekali," potong Ivo.

Atar menghela napas kasar. Bukan seperti ini yang ia maksudkan. Baru saja ia akan menimpali, pintu ruangan Cinta terbuka. Seorang dokter dan dua orang perawat keluar dari dalam ruangan itu.

"Gimana kondisi teman saya, dok?" tanya Ivo langsung.

Dokter itu menatap Ivo dan Atar bergantian sebelum menjawab. "Luka-lukanya sudah diganti dengan perban baru. Jangan buat dia tertekan. Benturan di kepalanya yang membuatnya pingsan. Semakin dia banyak berpikir, semakin lama juga ia sembuh karena dia sepertinya tidak fokus sama kesembuhannya. Kalau sudah sadar, ada obat di atas meja. Tolong berikan padanya nanti. Kalau begitu saya permisi dulu." Seperginya dokter dan dua perawat itu, Atar terguguh.

Cinta pingsan?

"Mau ngapain lo?" tanya Ivo ketika melihat Atar mengikutinya.

"Gue mau lihat Cinta," jawab Atar. Ivo mendelik. Kemarahannya kembali mencuat.

C I N T A R A (Selesai) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang