بسم الله الرحمن الرحيم
"Siapa dia? Kenapa jantungku berdegup kencang setiap kali netra kami tak sengaja bertemu?"
..
.Happy Reading
Ketika mobil kami melaju hendak memasuki gerbang pondok pesantren Raudlatul Jannah itu, tiba-tiba saja netraku fokus dan menangkap sosok laki-laki dengan koko putih dengan garis biru di kerah dan pergelangan tangan, sarung hitam, dan peci hitam. Masya Allah, tampan sekali dia.
Mas Fahri tak sengaja melihatku yang sedang memandangi laki-laki itu pun langsung mengeluarkan kebiasaannya, yaitu menerka dan menggoda.
“Huss, memperhatikan siapa, sih?” tanya Mas Fahri seraya menyenggol tanganku dengan sikunya.
“Em, a ... itu, Mas. Enggak, itu anu.” Seketika lidahku kelu, susah untuk berkata. Hanya gelagat salah tingkah yang kutampakkan.
Mas Fahri tertawa puas. “Hahaha, suka, kan? Baru pertama kali lihat saja sudah bengong begitu,” terka Mas Fahri kemudian menggodaku.
Aku pun memilih untuk mengalihkan topik pembicaraan. “Umi, itu nanti tasku biar Mas Fahri, ya, yang membawa ke asrama,” ucapku seraya memberi Mas Fahri tatapan sinis. Ini balas dendam karena sudah membuatku malu.
“Nggeh.” Umi mengiyakan ucapanku. Sementara Mas Fahri, dia menolak. Namun, pada akhirnya mau karena dipaksa oleh umi.
“Kamu enggak tahu saja. Kalau mas masuk asrama santriwati, nanti kasihan mereka semua,” ucap Mas Fahri menggantung dengan tatapan penuh iba. “Kasihan mereka harus kejang-kejang terus salah tingkat kalau melihat ketampanan masmu ini,” tambahnya.Astaga, kakakku satu-satunya ini sudah kelewat percaya diri. Bisa-bisanya memuji diri sendiri tampan. Aku yang mendengar ucapannya pun tak terima.
“Ha? Umi, itu alat korek telinga sama cerminnya ada enggak?” tanyaku pura-pura tidak mendengar.
“Mau buat apa?” tanya Umi menoleh dengan raut muka kebingungan.
“Ini kayanya aku salah dengar, deh. Mungkin kotoran di telingaku ini sudah menyumbat,” jawabku, “sama itu cermin buat Mas Fahri. Kayanya dia enggak pernah bercermin, deh. Muka sendiri saja enggak mengenalinya,” tambahku kemudian tertawa.
“Kalian ini, sudah-sudah! Bertingkah lakulah sopan santun. Sambut mereka dengan senyuman. Itu ada anak Abah Kyai,” tutur Umi dengan lembut.Loh, kenapa jantung ini tiba-tiba saja berdegup kencang? Laki-laki itu, ah, paras tampannya tak ingin kulewatkan untuk memandang. Tapi ingat, Sya. Ghadul Bashar!
Setelah turun dari mobil, mereka semua saling lempar senyum dan saling berebut tangan untuk bersalaman secara takzim. Bahkan, ada kejadian lucu dengan Mas Fahri dan laki-laki itu.
Mereka saling berebut tangan untuk menyalaminya dengan takzim. Mas Fahri menunduk, begitu juga dengan laki-laki itu. Akhirnya, kepala mereka bertabrakan. Uh, sakit sekali pasti, haha.
Sedangkan aku, sejak turun dari mobil selalu menundukkan kepala. Laki-laki itu berjalan di samping kanan Mas Fahri, sedangkan aku ada di samping kiri Mas Fahri. Mereka sama-sama memanggil dengan sebutan gus, Mas Fahri ke lelaki itu dan sebaliknya.
“Gus, itu perempuan di sampingmu siapa?” tanya laki-laki itu berbisik, tapi aku masih bisa mendengarnya.
“Oh, ini adikku, Gus. Namanya Nasya Khanza Aulia binti Kyai Haji Abdul Khanza,” jawab Mas Fahri sembari terkekeh kemudian memaksaku mendongakkan kepala, sedangkan aku tetap mencoba untuk menundukkannya.
“Lengkap sekali, Gus,” sahut laki-laki itu kembali terkekeh.
“Siapa tahu nanti mau qobiltu, eh, ijab qobul maksudnya. Biar sampean enggak tanya-tanya lagi, Gus. Jadi aku kasih tahu sekarang.” Mas Fahri tertawa sebelum beberapa langkah lagi sampai di rumah Buya Haris—pengasuh pondok pesantren Raudlatul Jannah. Laki-laki itu hanya kembali terkekeh.
Sampailah kami di rumah Buya Haris. Laki-laki itu langsung masuk mengucapkan salam tanpa mengetuk pintu. Kemudian mempersilakan kami semua untuk ikut masuk dan duduk di ruang tamu.
Setelah beberapa menit menunggu, Buya Haris dan Ummah Zahra yang merupakan sepasang suami istri pengasuh pondok pesantren Raudlatul Jannah ini pun datang dan menyambut kami semua dengan sangat ramah.
“Wah, Gus Abdul. Akhirnya sampai juga. Mohon maaf kalau sudah lama menunggu.” Buya Haris menyapa sangat ramah. Tak ada paras seram atau menakutkan yang ditunjukkan olehnya.
“Nggeh, baru sampai, kok, Gus. Bagaimana kabarnya?” tanya Abi.
“Alhamdulillah, baik. Ya, seperti yang kamu lihat sekarang. Bahkan istriku juga masih satu, masih sama seperti beberapa tahun yang lalu,” jawab Buya Haris kemudian bercanda. Yang ditanggapi tatapan sedikit kesal oleh Ummah Zahra. Kami semua seisi ruangan hanya bisa tertawa mendengarnya.
“Wah, sepertinya ada aroma-aroma ingin tambah lagi, tapi takut sama istri.” Abi kembali membalasnya dengan gurau canda.
![](https://img.wattpad.com/cover/215048407-288-k80022.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Kutukan Cinta Gus Tampan (END)
Spiritual⚠️ADA INFO PENTING DI DESKRIPSI PALING BAWAH Di gerbang pesantren ini, aku mulai mengaguminya. Akan tetapi, kekaguman itu berubah menjadi rasa sebal saat melihat sikap aslinya. Aku yang mati-matian menolak masuk ke sini pun seolah terjebak dalam lin...