#9 Sesuatu Yang Dirahasiakan

12.7K 774 69
                                    

بسم الله الرحمن الرحيم

"Berkata jujurlah meskipun pahit."
.
.
.

Happy Reading

Ingin rasanya berlari dan meminta tolong, tapi tanganku sudah lebih dulu dicekal dan kemudian berlaih membungkam mulut. Wah, ngajak mati, nih.

"Sst, diam, Mbak," titah wanita itu.

Aku menepis tangan yang membungkam mulutku itu. "Lagian kamu, sih. Pakai mukena serba putih semua. Aku kaget, tahu. Tadi, kan, baru ketemu. Sudah kangen lagi, Nis?" gumamku dan hanya ditanggapi cengiran oleh sang empu tersangka pelaku di sini dan akulah korbannya.

Ya, Nisa. Anak bungsu dari pengasuh pondok pesantren Raudlatul Jannah, adik dari Gus Akhsan yang menyebalkan itu. Entah, angin apa yang membawanya kemari malam-malam seperti ini.

"Iya, aku tahu. Cengiranmu memang manis, gigimu juga rapi, putih, dan bersih. Enggak usah diperlihatkan terus cengiran tanpa dosamu itu." Aku kembali bersuara dengan penuh penekanan di setiap kata karena Nisa tak kunjung angkat bicara.

"Hehe, maaf, Mbak. Tadi aku habis salat istikharoh pakai mukenah ummah, terus langsung ke sini. Soalnya disuruh sama ummah juga jemput Mbak Nasya buat tidur di ndalem. Ummah khawati, pakai banget. Khawatir kalau Mbak Nasya enggak bisa masuk kamar asrama, terus berujung tidur di luar, kedinginan, bagaimana?" jelas Nisa panjang kali lebar kali tinggi. Sumpah, alay, tapi aku sayang, haha. Nyatanya mondok itu tak seburuk yang kupikirkan.

Aku berpikir tak sejenak, hampir sepuluh menit lebih lamanya. Kemudian meminta izin kepada Dita yang kemudian hanya ditanggapi oleh satu kata, yaitu 'terserah'. Seperti itulah Dita kalau tengah marah.

Biarkanlah. Biarkan dia tidur berduaan bersama Saskia, si santri misterius itu. Sebenarnya aku cukup penasaran dengan kepribadiannya. Akan tetapi, rasanya aku sedang tidak berselera mengurusi hidup orang lain. Alesha pun sepertinya tak kembalicmalam ini. Jadi, sah! Mereka tidur berdua saja.

Sebenarnya, aku pun merasa tidak enak jika harus tidur di ndalem. Akan tetapi, ini semua terpaksa karena Nisa yang terus-terusan memaksa dan mengancam akan mengatakan yang tidak-tidak tentang surat dari Gus Akhsan itu kepada Ummah Zahra.

***

Gema azan Subuh telah berkumandang. Seperti biasanya, aku pun terbangun. Akan tetapi, tunggu! Ada yang berbeda dengan suasan pagi dini hari ini. Apa, ya? Oh ya, aku sedang di kamar Nisa, rumah ndalem.

Kulirik samping kiri, rupanya Nisa masih tertidur lelap. Ah, mungkin saja dia sedang uzur-halangan. Mana mungkin dia tidak terbangun ketika mendengar azan berkumandang. Ya sudahlah, lebih baik aku tunaikan kewajiban sekarang. Tidak baik menunda-nunda kebaikan.

Dengan langkah sedikit gontai, kuayunkan kaki menuju kamar mandi belakang. Tepatnya di samping dapur yang biasanya digunakan oleh mbak-mbak santri untuk memasak untuk keluarga ndalem. Mereka bisaanya disebut dengan santri ndalem.

"Assalamu'alaikum, Mbak," sapaku ramah. Ternyata Subuh-Subuh seperti ini dan pada masa liburan seperti ini, masih ada santri yang membantu di ndalem. Hebat, kan? Mereka semua hanya mengharap barakah kiai katanya.

"Wa'alaikumussalam," sahut mereka serempak sembari mengulas senyum.

"Mbak, aku pinjam kamar mandinya buat bersih-bersih sama wudu, boleh, ya?" tanyaku masih dengan senyum yang terukir di raut muka yang sebelas dua belas mirip dengan wanita Turki. Haha, maafkan aku yang terlalu berharap.

Kutukan Cinta Gus Tampan (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang