BAB 18
Insya Allah?
"Janganlah mencoba berbohong dan menghancurkan kepercayaan orang lain. Karena, sekali kau melakukan itu, selanjutnya kepercayaan itu akan sulit kau dapatkan."Happy Reading
Pagi ini kembali menjadi pagi tersialku. Bukannya bermaksud tak mensyukuri nikmat hidup yang telah Allah berikan. Akan tetapi, pagi ini aku harus kembali di pertemukan dalam satu ruangan dengan seorang Gus Akhsan.
Padahal, rasa senang dan tenang telah menyeruak kalbu karena satu bulan usai Gus Akhsan benar-benar pulih, aku sama sekali tak bertemu lagi dengannya.
Namun, ternyata takdir memang tak mendukung suasana hatiku. Pagi ini, Ummah Zahra tidak bisa mengajar, jadi digantikan oleh anaknya—Gus Akhsan. Lempar aku ke kutub selatan saja! Sikap tanpa cueknya terhadap para santriwati benar-benar membuatku muak.
“Gus?” panggil salah seorang santriwati.
“Iya, ada apa?” sahutnya kembali bertanya seraya berbalik. Karena saat ini posisi Gus Akhsan tengah menghapus papan tulis.
"Ya Allah, disahut!" pekik santriwati itu kegirangan. Aneh!
"Ya, iyalah. Kalau ada orang memanggil, ya, memang harus menyahut. Kecuali orang yang enggak dengar. Begitu saja girang sampai ke ubun-ubun," ketusku dan beranjak menyembunyikan muka pada celah kedua tangan yang bertumpu di meja. Malas sekali rasanya mendengar kelebayan para fans si gus itu.
Namun, sang pembuat hancur mood-ku rupanya tak tinggal diam, tak membiarkan hidupku damai. Dia menyuruhku untuk menggantikannya menghapus papan tulis. Tanpa sahutan, aku langsung mengambil alih penghapus di tangannya.
"Allah, bekas tangan Gus Akhsan!" pekik Kayla histeris. Aku hanya memutarkan bola mata jengah.
"Bekas tangan Gus Akhsan pasti wangi!"
"Mana ada, yang ada bau. Mau? Ini tangkap. Telan saja sekalian." Aku langsung melemparkan sembarang penghapus itu dan dengan santainya kembali duduk.
Gus Akhsan menegurku, bahkan menceramahi panjang lebar. Akan tetapi, aku berlaga tutup telinga, seolah tak ingin mendengar banyak ucapan yang terlontar dari mulut itu.
"Baiklah, pelajaran kali ini ...."
Sayup-sayup, aku sudah tak mendengar jelas materi yang dibawakan oleh Gus Akhsan. Sengaja tak peduli lebih tepatnya.
Yang kutahu, intinya dia membahas tentang orang munafik. Orang yang pandai bersilat lidah, bermuka dua, lain di mulut lain di hati. Bukannya untuk membanggakan diri, justru menjatuhkan harga diri. Ya, itulah orang munafik. Mungkin saja aku pernah menjadi bagian dari sebutan itu.
"Nasya!"
"Hah?" Sentakan Gus Akhsan membuatku terkejut dan kelabakan.
"Kamu dari tadi mendengarkan saya, kan?" tanya Gus Akhsan dengan sorot mata tajamnya.
Bagaimana ini? Tidak mungkin aku berkata yang sejujurnya. Karena sedari tadi aku membuang muka dan hanya mendengar sayup-sayup saja. Dasar, Nasya. Barusan sok-sokan cuek, sekarang malah ciut nyali.
"Hm?" Gus Akhsan berdehem sembari menaikkan kedua alisnya.
"De-dengar, kok." Aku benar-benar gugup sekarang. Peluh perlahan membasahi dahi, tubuh panas dingin tak karuan, jantung berdegup abnormal.
“Oke, sekarang maju dan jelaskan ulang materi yang saya sampaikan barusan! Tafadholi, Ya Ukhti.” titahnya seakan tak terbantahkan.
Ragu-ragu, kuayunkan kaki menuju depan. Kutarik napas panjang-panjang, menghirup pasokan udara sebanyak-banyaknya, takut kalau nanti sampai pingsan karena grogi.
Sudah lima menit berlalu, tetapi aku tak kunjung membuka suara. Sampai akhirnya Gus Akhsan kembali mendesak, berakhirlah aku menjelaskan apa adanya, yang terpenting bertema orang munafik.
“Ekhem, assalamu'alaikum. O-oke, sa-sa-saya.” Aku kembali menghirup pasokan oksigen yang diberikan oleh Sang Maha Kuasa secara gratis, mengumpulkan beribu keberanian untuk mulai menjelaskan.
“Oke, sesuai perintah dari Gus Akhsan Ansa Silmikaffah, saya di sini akan menjelaskan ulang materi tentang orang munafik. Mungkin akan sedikit berbeda penyampainnya dengan yang sedang duduk di meja guru, tetapi saya harap kalian paham.”
Aku kembali menghirup zat oksigen dan kembali mengeluarkan zat karbon dioksida. “Kalian tahu orang munafik? Bisa dikatakan sebagai orang bermuka dua, pandai bersilat lidah, dan semacamnya. Munafik adalah orang yang memiliki sifat nifak, yang artinya menampakkan yang baik dan menyembunyikan yang buruk. Nifak sangat dibenci oleh Allah. Sehingga, orang yang munafik diancam oleh-Nya dengan siksa yang teramat pedih di neraka yang paling dasar.”
Aku menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan sebelum kembali menjelaskan. “Menurut hadis riwayat Bukhari, ciri-ciri orang munafik sendiri itu ada tiga, yaitu apabila berbicara ia berdusta, apabila berjanji ia ingkar, dan apabila dipercaya ia berkhianat.” Aku mengucapkan itu dengan satu tarikan napas dan cepat. Tak peduli mereka mendengar dengan jelas atau tidak.
Seperti sebelumnya, aku kembali menarik napas dalam-dalam. “Dalam kitab suci Al-Quran, banyak ayat yang menjelaskan tentang orang munafik. Salah satunya dalam surah An-Nisa juz empat, ayat 142 yang berbunyi
![](https://img.wattpad.com/cover/215048407-288-k80022.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Kutukan Cinta Gus Tampan (END)
Espiritual⚠️ADA INFO PENTING DI DESKRIPSI PALING BAWAH Di gerbang pesantren ini, aku mulai mengaguminya. Akan tetapi, kekaguman itu berubah menjadi rasa sebal saat melihat sikap aslinya. Aku yang mati-matian menolak masuk ke sini pun seolah terjebak dalam lin...