#22 Inikah Cinta?

8.9K 711 129
                                    

بسم الله الرحمن الرحيم

"Cinta bisa teramat membahagiakan, bisa juga menjadi teramat menyakitkan."
.
.
.
Happy Reading

Usai kejadian hari itu, malamnya aku merasa tak enak badan. Bukan hanya hati yang sakit, rupanya fisik pun ikut merasakan sakit. Mungkin karena terlalu banyak pikiran. Raga hanya satu, tetapi pikiran terpecah berkeping-keping.
 
Usai mengaji Al-Quran, saat itu aku memutuskan untuk langsung kembali ke asrama secepatnya. Mungkin merebahkan tubuh sebentar sebelum belajar wajib bisa sedikit meredakan pusing di kepala.
           
Namun, nyatanya tidak. Kepalaku semakin berdenyut, nyeri dan pusing bercampur menjadi satu. Pelipisku seolah dihantam oleh benda tumpul tak kasat mata. Rasanya semua benda dan manusia berotasi, berputar-berputar mengelilingiku.
           
Saat beberapa orang bertanya dengan khawatir, aku hanya menjawab tidak apa-apa. Dua hari lamanya, kejadian seperti itu terus menerus terulang dan aku masih terus bertahan dengan rasa sakit yang bertubi-tubi dan berpusat di dua titik ini sendirian.
           
Sampai akhirnya hari ini tiba. Kepalaku berdenyut nyeri semakin tak karuan.  Aku hampir saja tak sadarkan diri di depan masjid usai menunaikan salat Zuhur berjamaah. Saat tubuhku terhuyung ke belakang, ada tangan yang dengan sigap menopang. Belum sempat melihat siapa pemilik tangan tersebut, semuanya menjadi gelap.

***

Aku mengerjap, mencoba menyesuaikan mata dengan cahaya ruangan yang sangat terang. Tak biasanya asrama seterang ini. Setelah benar-benar terbuka sempurna, aku baru menyadari kalau ini bukanlah asrama. Melainkan kamar Nisa.
         
Tunggu, kenapa aku bisa sampai ada di sini? Seingatku, sebelumnya berada di teras masjid usai melaksanakan salat Zuhur berjamaah sebelum akhirnya tubuhku terhuyung ke belakang, ada sebuah tangan yang menopang, dan semuanya menjadi gelap.
         
Kusapu sekitar perlahan dengan netra, mencoba mencari seseorang yang mungkin bisa dimintai kejelasan atas apa yang telah terjadi. Sampai akhirnya, samar-samar aku menangkap sosok yang tengah duduk di ujung sana, dekat dengan pintu. Gus Akhsan orangnya.
         
“Sya, sudah bangun? Barusan kamu pingsan hampir selama dua jam.” Sontak saja aku terkejut. Pingsan hampir dua jam? Itu pingsan atau terlelap tidur?
         
“Ki-kita berdua sa-saja di sini, Gus?” tanyaku terbata dan sangat pelan, nyaris seperti berbisik. Rasanya aku benar-benar tak kuat.
         
“Nisa baru saja keluar. Sebentar lagi pasti kembali.” Hanya anggukan pelan yang kuberikan sebagai respons. Rasanya aku tak ada tenaga untuk berucap dan bergerak. Hati pun rasanya masih enggan untuk beramah tamah. Mengingat luka yang belum sepenuhnya terobati.
         
Helaan napas kasarnya terdengar kentara sekali menyapa indra pendengaran. Lirikan sekilasku untuk sekadar melihat keadaannya pun rupanya tertangkap oleh netra orang yang kulirik barusan.
         
Secepat kilat, kupalingkan muka, berdehem pelan sekadar mengusir kegugupan yang sebelumnya sudah ada semakin merajalela semenjak beberapa detik yang lalu.
         
“Sya, sepertinya ka–"
         
Untuk kesekian kalinya, ucapannya kembali terpotong. Kali ini suara decitan pintu terbuka yang menjadi penyebab bibirnya kembali terkatup secara tiba-tiba. Aku pun hanya bisa menghela napas, sebenarnya penasaran juga dengan apa yang akan dia bicarakan. Kenapa sepertinya berat sekali?
         
“Mbak Nasya sudah bangun? Kita pulang sekarang atau nanti?” tanya sang penyebab pintu berdecit, yang tak lain adalah pemilik kamar ini sendiri. Ya, Nisa orangnya.
         
“Pulang ke asrama?” Aku bertanya dengan sisa-sisa tenaga.
         
“Ke rumah. Aku yang antar.”

***

Bukan ruangan bagus nan bersih lagi yang menjadi pemandangan kali ini, bukan pula kamar asrama yang terkenal berantakan, bukan pula ruangan serba putih yang kentara sekali dengan bau obat-obatan, melainkan di dalam mobil yang hanya diisi keheningan dan kecanggungan.
         
Tiga jam yang lalu, kami memulai perjalanan menuju rumahku, pondok pesantren Nurul ‘Ilmi, menggunakan mobil honda mobilio milik Gus Akhsan. Kurang lebih butuh waktu empat jam lagi untuk sampai di tempat tujuan.
         
Di tengah keheningan dan kecanggungan ini, aku lebih memilih menatap jalanan dan bangunan di luar sana. Menatap gemerlap indahnya cahaya lampu jalanan dan beberapa tempat lainnya.
         
Dingin sekali. Meskipun AC tidak dinyalakan dan tubuhku sudah dibaluti oleh jaket paling tebal milik Nisa, udara dingin nyatanya masih bisa menerobos tebalnya jaket dan masuk ke pori-pori.
         
“Dingin, Sya?” tanya sang pengemudi yang tak lain adalah Gus Akhsan. Aku tak mengangguk, tak juga menggeleng. Aku diam, bagaikan patung benapas.
         
Kenapa bukan Mas Fahri yang mengantarkanku pulang? Karena dia ternyata beberapa hari yang lalu pergi ke luar kota untuk mengikuti semacam cerdas cermat antar santri tahfidz. Aku pun jujur saja tak tahu apa-apa. Mas Fahri tak pernah pamit atau apa.
         
Setelah diceritakan oleh Nisa, rupanya Mas Fahri sengaja tak memberitahukanku terlebih dahulu. Takut jika ternyata pulang tak membawa kemenangan dan akan di-bully habis-habisan olehku.
         
Jadi, kali ini pun aku tak memberitahu Mas Fahri tentang sakit ini. Aku takut konsentrasinya buyar dan benar-benar pulang tak membawa kemenangan. Bagaimana juga, aku tahu sekali bagaimana kepribadiannya yang peduli sekali dengan orang terdekat.
         
“Dingin, ya, Mbak?” Kali ini Nisa yang bertanya dan kubalas dengan anggukan seraya menggosok-gosokkan kedua telapak tangan.
         
Selanjutnya Nisa melepas jaket yang sebelumnya bertengger pada tubuh Gus Akhsan dan memakaikannya kepadaku. Tentu saja atas izin dan paksaan sang pemilik.
         
Selanjutnya terus seperti itu. Aku selalu diam saat Gus Akhsan yang angkat bicara dan menjawab seperlunya saat Nisa yang angkat bicara. Berulang kali aku mencoba mengalihkan pembicaraan saat Gus Akhsan hendak mengajak berbicara yang katanya penting, berulang kali pula dia menghela napas kasar.
         
Nisa yang benar-benar tak tahu apa-apa hanya bisa mendengus kesal. Mungkin karena terlalu geram melihat tingkahku dengan Gus Akhsan yang lebih mirip seperti anak kecil, Nisa pun angkat berbicara dan langsung bergumam.
         
“Kalian itu kenapa, sih? Kalau ada masalah itu selesaikan baik-baik, jangan seperti anak kecil, Mas, Mbak. Aku capek tahu. Kalian berdekatan, tinggal langsung ngobrol juga bisa. Kenapa harus menjadikan aku sebagai juru bicara?” Aku hanya terdiam mendengar Nisa bergumam. Begitu juga dengan Gus Akhsan.
         
“Jujur saja, aku enggak tahu apa permasalahan kalian, tapi tolong ... selesaikan secara baik-baik, jangan seperti anak kecil. Bukannya enggak boleh marahan lebih dari tiga hari?” Kali ini Gus Akhsan tak tinggal diam, dia angkat bicara.
         
“Sya, maaf,” ucapnya lirih dan hanya kutanggapi dengan deheman.
         
“Kapan kamu mau meluruskan semuanya ini?” tanya Gus Akhan masih tetap fokus dengan jalanan.
         
“Bukan dalam waktu dekat ini, Gus.”
         
Mungkin bibir bisa berkata memafkannya, tetapi mungkin saja tidak dengan hati dan sorot mata. Hati mungkin masih bisa berkilah, tetapi kalau sudah seperti ini, sudah tak bisa dibohongi lagi. Terlebih mata.
         
Entah aku sudah tulus memaafkan atau tidak, pada intinya aku belum sanggup untuk mengetahui seuntai kalimat pun yang akan terucap dari mulut Gus Akhsan. Terlebih untuk meluruskannya, aku benar-benar belum sanggup, atau mungkin tak akan pernah sanggup. Tak sanggup jika kenyataannya akan menyakitkan.

***

Tak terasa, kami telah sampai di pondok pesantren Nurul ‘Ilmi sekitar pukul sembilan malam. Setelah istirahat, duduk, minum, dan makan, Gus Akhsan dan Nisa langsung pamit pulang. Mereka menolak untuk menginap di sini.
         
Setelah mereka pergi, aku pun langsung berjalan dengan langkah gontai memasuki kamar. Apa aku harus sakit terlebih dahulu untuk pulang? Huh. Tak lama kemudian, Umi pun datang dengan membawa bubur dan obat.
         
“Kamu kenapa bisa sakit, sih, Sya?” tanya Umi seraya memasukkan sesendok demi sendok bubur ke mulutku. Oh ya, Umi dan Abi sudah pulang dari tanah suci sejak beberapa hari yang lalu.
         
“Enggak tahu, Mi,” jawabku acuh tak acuh.
         
“Makanya, jangan terlalu banyak pikiran,” tutur Umi seraya kembali memasukkan bubur ke mulutku. Meskipun sudah menolak dengan alasan lidah yang pahit, Umi tetap memaksa.
         
“Makanya, Nasya diizinkan pulang,” Aku menirukan gaya bicara Umi seraya terkekeh pelan dan Umi memberikan sorot tajamnya.
         
“Umi enggak percaya. Pasti bukan karena hanya rindu rumah. Kamu lagi ada masalah apa? Cerita sama umi. Perlu kamu ketahui, umi itu mau dibohongi bagaiamana juga caranya sama kamu, tetap enggak bisa.” Ya, mungkin karena ikatan batin antara orang tua dan anak. Umi memang selalu berhasil menebak apa yang tengah bersarang dalam hati kecilku ini.
         
“Ehm, Sudah, Mi. Langsung minum obat saja, Nasya mau tidur.” Umi pun hanya bisa menuruti kemauanku kali ini.

***

Tak terasa, waktu seakan cepat sekali berotasi. Ternyata sudah tiga hari lamanya aku berada di rumah, meninggalkan berbagai macam kegiatan pondok. Jujur saja, aku lebih merasa baik di sini, aku pun sudah bisa dikatakan sembuh. Hanya sembuh fisik. Nyatanya hatiku masih sama dengan kejadian enam hari yang lalu.
         
Lagi dan lagi, semilir angin mengingatkanku dengan apa alasan yang mendasari rasa kecewa ini. Dimulai dari rencana khitbah yang jelas-jelas sudah kuketahui, lalu pengakuan Gus Akhsan saat di perpustakaan, sampai akhirnya kejadian hari itu. Apakah itu semua belum cukup untuk mendasari alasan kekecewaanku?
         
Mungkin juga karena sebuah rasa cinta? Selama tiga hari di rumah, aku selalu bermonolog dengan diri sendiri. Menanyakan rasa apa yang sebenarnya hadir sampai meembuatku begitu kecewa, marah, tak rela, dan semacamnya.
         
Di sini telah kusimpulkan bahwa ini adalah cinta dan saat ini juga aku tak akan menepis, aku tak akan menyangkal, dan berkilah kalau ini adalah cinta.
         
Namun, semua sudah terlambat. Aku harus segera mengubur dalam-dalam rasa itu. Rasa itu tak seharusnya hadir di antara kami. Mengingat Gus Akhsan akan segera menjadi milik orang lain. Pengembaraanku dalam mencari cinta rupanya tersesat.
         
“Sya, enggak pulang?” tanya Umi yang tiba-tiba saja datang dan menyentuh bahuku.
         
“Enggak tahu, Mi. Nasya masih kangen suasana di sini,” tukasku seraya memperbaiki posisi duduk.
         
“Sya, Umi tahu kamu sedang ada masalah di sana.” Mau disangkal seperti apapun, firasat seorang ibu selalu tepat sasaran.
         
“Umi ....”
         
“Dengarkan umi. Sekarang kamu siap-siap kembali ke asrama, ajak berbicara orang yang sedang mengganggu hatimu saat ini, selesaikan semuanya baik-baik, tahan amarahmu.” Aku hanya mengangguk sebagai respons. Entah nantinya akan berjalan sesuai perintah Umi atau tidak, itu urusan belakangan.

Bersambung

Tegal,
29 Juni 2020

Assalamu'alaikum ...

Maaf, lama banget, ya? BANGET, THOR! Oke, santai-santai, jangan ngegas, jangan marah, nanti cepat tua, wkwk.

Oke, part kemarin banyak banget yang tanya atau protes, mungkin?

"Thor, kok, Alesha, sih?"
"Bukannya kemarin Ummah Zahra maunya Nasya, ya."
"Thor, kok, begini, sih?"
"Thor ..."

Dan banyak thor-thor lainnya, whaha. Note ... aku Najwa, bukan Thor atau Spiderman:(

Oke, BACA BAIK-BAIK, YA. Sengaja capslock jebol, wkwk. Kalian ikuti saja alurnya. Hidup itu enggak selurus penggaris, ya. Ada belok-belokannya juga. Pokoknya, ikutin alurnya, pasti nanti akan ketemu titik terangnya.

Sekian, wassalamu'alaikun ....

@najwawafzh_
Najwa Fzh

Kutukan Cinta Gus Tampan (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang