BAB 14
Terungkap"Laa Tahzan, Innallah Ma 'Ana."
Happy reading
Sang mentari kini telah menampakkan sinarnya di ufuk timur, menyambut pagi semua umat manusia dengan kehangatan sinarnya. Mentari tak pernah lelah bersinar meskipun umat manusia itu sendiri masih ada yang mengabaikannya dengan cara terus bergelut dengan alam bawah sadar.
Maka dari itu, contohlah sang mentari, meskipun ada yang mengabaikan, tetap bersinar sehangat senyuman. Karena di dunia ini bukan hanya mereka yang abai saja yang hidup, melainkan masih banyak lagi. Intinya, jangan pernah patah semangat hanya karena beberapa orang saja.
"Mbak, mau masak apa?" lamunanku buyar karena ucapan seorang gadis dari belakang yang tak lain adalah Nisa.Kami belum kembali ke rumah sakit sejak malam. Katanya tunggu Kang Farhan menjemput saja lagi. Mungkin usai sarapan aku akan mengajak Nisa berkeliling pondok pesantren Nurul 'Ilmi terlebih dahulu sembari menunggu Kang Farhan. Hm, ide yang cukup bagus.
"Eh, Nis. Masak nasi goreng. Suka enggak?" jawabku sekaligus bertanya. Mungkin saja Nisa tidak suka. Akan tetapi, jawabannya lebih menohok, seakan tak percaya.
"Suka, sih.Yang penting enak, pasti aku suka," jawab Nisa sembari terkekeh. Nah, kan, kesannya masakanku tidak enak.
"Enak dong pasti. Aku begini-begini juga bisa masak. Jangan diragukan lagi. Pokoknya nanti kalau rasanya enak, kamu harus minta maaf." Aku pura-pura merajuk. Sebenarnya, sih, hanya sebagai candaan semata.
"Iya-iya, aku yakin ... tebakanku enggak salah." Nisa kini justru tertawa lepas.
"Oke, lihat saja nanti."Hening. Tak ada yang kembali memulai percakapan. Fokusku masih tertuju pada nasi goreng di penggorengan, tak ingin memutuskan pandangan sedetik pun, takut rasanya meleset dan akan berujung sebuah ejekkan.
Sementara itu, Nisa tengah tenang duduk di kursi meja makan karena memang aku menahan gerakannya yang hendak membantu mememasak. Bukannya apa-apa, takut nanti rasanya jadi tidak enak, haha.
"Sudah matang!" seruku dengan riang.Setelah beberapa menit berkutat dengan peralatan dapur, akhinya nasi goreng buatanku telah tertata rapi di meja makan dan siap untuk disantap.
"Baunya mencurigakan, nih. Enggak diberi pestisida, kan?" tanya Nisa sembari memicingkan matanya.
"Enggaklah, memangnya kamu mau aku samakan dengan hama? Buruan makan, habis ini aku mau ngajak kamu keliling pesantren. Mumpung di sini, kan?" Ucapan panjang lebarku hanya ditanggapi anggukan dan deheman kecil oleh Nisa. Oke, Nasya, harus perbanyak sabar!Kami berdua menyantap makanan dengan khidmat, tak ada perbincangan lain kecuali pekikkan Nisa yang mengakui kalau masakanku memanglah enak. Terbukti, kan?
Soal Mbak Nada, beliau sudah kembali ke asrama semenjak usai salat Subuh. Katanya ada urusan penting sesama pengurus asrama yang harus segera diselesaikan agar mereka bisa secepatnya pulang ke rumah masing-masing.***
Sudah sejak tiga puluh menit yang lalu kami berkeliling pondok pesantren Nurul 'Ilmi, bahkan kini hampir sampai di bangunan terakhir. Akan tetapi, Kang Farhan belum juga menampakkan dirinya.
"Jadi, di sini cuma sampai MA, ya, Mbak?" tanya Nisa yang kini tengah berjalan di sampingku.
"Iya. Kalau mau kuliah, ya, terpaksa di luar area pondok, kebetulan lumayan dekat juga. Jadi, untuk santri bangku perkuliahan, di sini cuma ngaji sama tidur, hehe. Niatnya, sih, mau lelang jariyyah begitu kata Abi, tapi belum tahu, baru niat," jawabku diakhiri tawa kecil.
"Maaf, Ning. Tadi ada urusan sebentar." Tiba-tiba saja Kang Farhan datang dengan berlari kecil dari dalam kantor pengurus asrama. Tanpa berlama-lama lagi, akhirnya kami pun segera melaju memecah keramaian jalanan menuju rumah sakit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kutukan Cinta Gus Tampan (END)
Spiritual⚠️ADA INFO PENTING DI DESKRIPSI PALING BAWAH Di gerbang pesantren ini, aku mulai mengaguminya. Akan tetapi, kekaguman itu berubah menjadi rasa sebal saat melihat sikap aslinya. Aku yang mati-matian menolak masuk ke sini pun seolah terjebak dalam lin...