#21 Sakit Tak Berdarah

10.1K 794 163
                                    

بسم الله الرحمن الرحيم

"Ada sesuatu yang menantimu selepas banyaknya kesabaran yang kau jalani yang akan membuatmu terpana hingga kau lupa betapa pedihnya rasa sakit."

( Ali bin Abi Thalib )
.
.
.
Happy Reading

“Alesha atau pilihanmu sendiri?” Suara wanita di dalam sana tak sengaja tertangkap jelas di indra pendengaran. Niat mengetuk pintu pun kuurungkan. “Kamu sudah dewasa, loh. Ada pondok pesantren ini buat tempat kamu bekerja. Enggak lama lagi juga lulus kuliah. Ummah juga yakin, kamu pasti sudah merasakan yang namanya jatuh cinta, kan? Jangan sampai kamu jadikan rasa itu salah, kalau sudah bisa diikat dalam ikatan halal, kenapa enggak?”
           
“Aku pilih pilihan Ummah dan pilihanku sendiri. Tapi enggak sekarang juga, kan? Aku masih dua puluh satu tahun, Ummah,” jawab sang anak dengan mudahnya menanggapi perkataan sang ibu.
          
“Seperti itu, kan, Ummah senang. Ummah pikir kamu enggak tertarik sama perempuan. Paling enggak Ummah tahu dulu dan kamu bisa taaruf buat melanjutkan ke jenjang lebih serius.”
           
Mendengar perbincangan antara ibu dan anak di dalam, seketika membuat ingatanku kembali tertarik pada kejadian beberapa hari yang lalu saat di perpustakaan. Ya, kejadian setelah identitasku sebagai adik Mas Fahri terbongkar.
           
Di mana saat itu, seakan-akan perahu pelayaranku tengah diterjang ombak besar, diombang-ambing tak tentu arah, aku bingung harus berbuat apa. Apakah berlabuh pada pelabuhan yang saat itu tengah menawarkanku tempat berlabuh atau tidak. Akan tetapi, di sisi lain jangkarku masih ragu untuk tertancap.
           
Flashback On
           
“Duduk dulu, Sya! Sampai kapan kamu mau berdiri di situ?” Putra mahkota pondok pesantren Raudlatul Jannah itu menginterupsiku untuk duduk.
           
“Ada apa, sih, Gus? Ini jamnya Ustazah Hilwa, loh.” Aku mencoba beralasan, tetapi memang seperti itu faktanya.
           
“Aku tahu, Sya. Kalau kamu lupa, Ustazah Hilwa itu tanteku. Enggak usah takut dihukum, nanti aku antar kamu ke kelas supaya enggak dihukum.” Dia yang tak lain adalah Gus Akhsan mencoba menenangkan dan meyakinkan.
           
Karena tak ingin berlama-lama dengannya, mengingat kesehatan jantungku yang terancam, aku pun memilih duduk dengan jarak sekitar satu meter setengah sesuai perintah.
           
“Kalau yang di kelas barusan serius, bagaimana?” Aku seketika tercengang mendengar pertanyaan atau pernyataannya? Maksudnya apa? Baru saja duduk, sudah disuguhkan kebingungan.
           
“Maaf, Gus. Maksudnya apa, ya? Karena IQ-ku enggak tinggi-tinggi sekali, tolong jangan berputar-putar kalau mengajak berbicara.” Duh, terlalu jujur sekali diriku. Akan tetapi, benar, aku sama sekali tidak paham dengan arah pembicaraan kali ini.
            
“Yang soal ... insya Allah aku akan menjagamu,” jawabnya sedikit ragu.
           
Aku masih terdiam, berusaha mencerna ucapannya yang benar-benar membingungkan, entah apa maksudnya. Kata dia, menjagaku seperti aku yang menjaganya saat dia sakit, kan? Itu tandanya kalau aku tidak sakit, dia tidak perlu repot-repot.
           
“Menjaga seperti waktu kamu sakit, kan? Kalau aku enggak sakit, berarti enggak perlu dijaga. Iya?” tanyaku memastikan dengan kedua alis yang terangkat berirama.
           
Gus Akhsan tampak menghela napas, tatapannya antara ragu dan serius. Oh, ayolah ... kenapa jantungku malah berdegup abnormal seperti ini? Segera kuputuskan netra kami yang sempat beradu.
           
“Sejak beberapa tahun yang lalu, aku mencintai sahabat kecilku sendiri. Entah kenapa aku bisa mencintai dia, padahal masih banyak wanita di luaran sana. Dia yang tampil apa adanya dan menjadi diri sendiri membuatku mencintainya tanpa alasan. Kami terpaut usia empat tahun. Kalau kamu ada di posisiku, apa yang akan kamu lakukan, Sya?” Gus Akhsan tampak bersungguh-sungguh dengan ucapannya.
           
Aku yang dimintai pendapat pun sejenak terdiam. Bingung. Aku harus menjawab apa? Untuk urusan mencintai saja diriku tidak yakin.
           
Saat ada perasaan lain yang bersarang dalam hati, aku selalu menepis kemungkinan yang tidak-tidak dan menganggap itu hanya sebuah kebetulan atau bahkan obsesi semata.
           
“Aku, kalau diposisikan sebagai wanita normal, menyelipkan namanya dalam doa, mungkin. Meminta dia untukku kepada Sang Kuasa. Lalu tinggal menunggu takdir semesta bekerja. Entah menyatukan atau memisahkan. Kalau ternyata menyatukan, ya, aku bersyukur bahagia. Tapi kalau tidak, ya, mundur, haha.” Aku tertawa sumbang di akhir kalimat. Aku benar-benar tak paham dengan semua ini.
           
“Kalau saat ini ada yang mengungkapkan perasannya sama kamu, bagaimana?” tanyanya sembari menautkan jemari satu sama lain. Seketika bibirku terkatup, lidahku kelu, hanya bisa membisu. Segudang rangkaian kata seakan menguap ke udara. “Sya?” Gus Akhsan mengejutkan lamunanku.
           
“Hah? Mana ada, Gus. Cuma laki-laki enggak normal mungkin yang suka sama perempuan sepertiku. Enggak tahu sopan santun, blak-blakan, se–“Belum selesai berbicara, Gus Akhsan sudah menyela ucapanku.
           
“Aku orangnya, Sya. Aku mencintaimu tanpa alasan. Aku enggak peduli kekuranganmu.” Aku terbelalak mendengar pengakuannya. “Meskipun kita sudah kenal sejak kecil, kita taaruf dulu, mencoba mengenal kita yang sekarang. Aku tahu kamu terkejut, aku siap menunggu kapan pun kamu siap,” lanjutnya sembari menatapku lekat.
           
Bibirku kembali terkatup rapat, aku yang biasanya blak-blakan pun kini seakan menjadi perempuan yang kehilangan kosa kata. Terlebih tatapannya yang tajam tetapi meneduhkan seakan menghipnotis.
           
“Maaf, ghadul bashar, Gus. Aku permisi, assalamu’alaikum.” Untuk mengucapkan deretan kalimat itu pun aku harus berpikir keras.
           
Terdengar dia mengucap istigfar. “Aku antar.” Entahlah itu pertanyaan, pernyataan, atau perintah. Di saat seperti itu, otakku sering kali kesusahan membedakan nada berbicara orang lain.
           
“Enggak perlu “ Aku lantas pergi dengan jalan yang tergesa-gesa.
           
Flashback Off
           
Dadaku rasanya sesak, bergemuruh. Seperti ada yang berdenyut nyeri di dalam sana. Apakah ini yang dinamakan sakit tak berdarah? Akan tetapi, ini bukan berarti aku menaruh harapan, kan? Bukan berarti aku juga mencintainya, kan?
           
Sekarang coba bayangkan, kalian berada di posisiku saat ini. Kemarin, ada seorang lelaki datang mengungkapkan perasaannya kepadamu, bahkan sampai mengajak taaruf. Akan tetapi, besoknya kamu melihat lelaki itu menerima tawaran sang ibu untuk mencoba taaruf dengan wanita lain pilihan dari ibu lelaki tersebut dan tentu saja bukan kamu orangnya. Lebih mudahnya bisa dikatakan diia berpaling.
           
Atas dasar apa aku harus merasa baik-baik saja? Ini sama saja seperti menganggapku tak memiliki harga diri. Diberi harapan dan dihempaskan begitu saja. Wanita mana yang tidak kecewa diperlakukan seperti itu? Kecewa itu wajar saja, kan?
           
Jika memang hanya bermain-main, seharusnya tak perlu sampai seperti ini. Jika memang ingin mematuhi perintah orang tua, seharusnya jangan memutuskan secara sepihak terlebih dahulu. Paling tidak katakan kepadaku supaya tidak perlu pusing-pusing memikirkan jawaban atas ajakannya itu.
           
Gus Akhsan sudah pasti memilih Alesha. Bagaimana tidak, pilihan Ummah Zahra hanya Alesha atau pilihan sang anak sendiri. Sementara itu, Gus Akhsan pun memilih keduanya. Sudah pasti orang yang sama.
           
Aku menyeka kasar bulir hangat yang entah sejak kapan sudah membasahi pipi. Dengan setitik keberanian dan sejuta perasaan berkecamuk, aku mengetuk pintu perlahan diiringi dengan salam.
           
Wa’alaikumussalam, Ning Nasya. Mriki mlebet riyin!” Ummah Zahra memerintahku masuk menggunakan bahasa Jawa.
           
“Mboten, Ummah. Nasya bade nimbali Gus Akhsan. Kelas kosong, mboten wonten gurune. Gus Adnan wonten tamu teng griyo, mboten saget mlebet mulang.” Aku menolak secara halus menggunakan bahasa Jawa pula. Aku langsung to the point ingin memanggil Gus Akhsan untuk mengajar karena kelas kosong dan Gus Adnan sedang ada tamu di rumah. Kurang lebih seperti itu.
            
Aku tahu ini tidak sopan. Seharusnya aku masuk dan menyalami Ummah Zahra, tetapi entah kenapa lagi-lagi hatiku menolak. Kalau bisa berbicara, mungkin hati akan berbisik, ‘Jangan masuk, aku sedang tidak baik.’

Kutukan Cinta Gus Tampan (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang