#15 Akhir Dari Penantian

10.6K 725 142
                                    

BAB 15
Akhir Dari Penantian

"Hanya ada dua pilihan ketika kau sedang berada dalam ambang penantian, yaitu akankah berujung bahagia atau kesedihan. Pada intinya, selalu libatkan Allah dalam segala urusanmu."

Happy Reading

          Lima hari yang lalu, Gus Akhsan telah sepenuhnya sadarkan diri setelah tepat satu minggu mengalami koma. Alhamdulillah, Allah Subhanahu Wa Taala masih memberikan kesempatan hidup kepada gusnya pondok pesantren Raudlatul Jannah itu dan akhir dari kesabaran dalam penantian kami ini berbuah kebahagiaan.
          Pagi ini pun Gus Akhsan sudah diperbolehkan pulang. Akan tetapi, mereka atau keluarga Gus Akhsan tidak akan langsung pulang ke Jawa Timur atau pondok pesantren Raudlatul Jannah. Melainkan akan pulang ke rumahku terlebih dahulu.
          Ya, ini semua karena ajakan Umi, mengingat pagi ini rintik hujan turun dengan derasnya sehingga kurang aman untuk melakukan perjalanan jauh, juga mengingat keadaan Gus Akhsan yang belum sepenuhnya sehat.
          Setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih empat puluh menit, sampailah kami di rumahku, di pondok pesantren Nurul 'Ilmi. Perdebatan kecil terjadi antara aku dan Mas Fahri. Perdebatan tentang persoalan kamar yang akan ditempati Gus Akhsan sementara untuk istirahat.
         
“Mas, masa Gus Akhsan istirahat di kamarku? Laki-laki, ya, di kamar laki-laki, lah. Enggak ada, ya, sejarahnya laki-laki tiduran di kamar perempuan yang bukan mahram,”  pekikku pelan, tapi penuh penekanan setelah berhasil menyeret Mas Fahri menuju dapur.
         
“Ada sejarahnya,” sahut Mas Fahri cuek.
         
“Sejarah dari mana?” cibirku tak terima. Sejarah dari mana coba? Kalau masih ada kamar Mas Fahri yang jelas-jelas sejenis, kenapa harus di kamarku yang sudah jelas lawan jenis.
         
“Sejarah dari mas. Ini mau mas buat sejarah, mas akan catat sejarah ini, kalau perlu di papan pengumuman sekalian,” celetuk Mas Fahri diakhiri seringai licik.
         
“Enggak-enggak, enggak ada. Kamar Mas Fahri juga ada. Apa-apaan main mencatat sejarah sekenaknya saja.” Aku terus menolak.
         
“Kamar mas kotor, berantakan, penuh debu, kaya kapal pecah, baju kotor di mana-mana, tak layak berpeng–“ Ucapan Mas Fahri terpotong oleh suara laki-laki dari arah pintu penghubung ruang tengah dan dapur.
         
“Gus, permisi ... Nasya dipanggil sama Umi Aida,” ucap Gus Akhsan diiringi senyum kaku. Mungkin dia mendengar berdebatan kami.
         
“Oh, nggeh,” sahutku sembari menunduk dan beralih menatap Mas Fahri dengan tatapan tajam. “Awas saja kalau sampai dibawa ke kamarku.”

          Aku pun berlalu, melewati Gus Akhsan yang masih setia berdiri di ambang pintu. Deg! Wangi sekali badannya, baru sembuh juga sudah merawat diri lagi. Eh, astagfirullah!
         
“Umi!” panggilku setengah berteriak karena tak mengetahui di mana keberadaan orang yang katanya memanggilku.
         
“Apa, sih, Sya, jangan teriak-teriak! Ini umi di kamar kamu.” Ck, Umi juga berteriak.

          Tanpa pikir panjang, aku pun langsung berjalan menuju kamarku yang berada di samping ruang tamu. Jadi, kalau aku keluar dari kamar, belok kanan itu langsung ruang tamu dan kalau lurus itu langsung ruang keluarga.
          Sementara itu, di samping ruang keluarga itu ada dua kamar menghadap ke selatan. Kamar Mas Fahri di sebelah kiri, kemudian kamar Umi dan Abi di sebelah kanan.
         
“Itu, bereskan kamar kamu! Siapa tahu ada barang-barang perempuan di kasur.” Umi langsung mentitah begitu saja, padahal aku baru satu langkah masuk kamar.
         
“Harus banget, ya, di sini?” tanyaku pelan, pasalnya Ummah Zahra, Buya Haris, dan Nisa tengah duduk di ruang tamu bersama Abi.
         
“Ya, iya. Masa di kamar Mas Fahri. Tahu sendiri, kan, bagaimana kamarnya?” Aku hanya mendengus kesal. Percuma saja debat, pasti ujung-ujungnya aku yang harus mengalah.

Kutukan Cinta Gus Tampan (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang