بسم الله الرحمن الرحيم
Happy 101k viewers. Jangan lupa tinggalkan jejak. Jazakumullah kheir semua.
.
.
.
Happy ReadingSesuai perintah Umi kemarin, hari ini aku kembali memijakkan kaki di pondok pesantren Raudlatul Jannah. Segala macam kecanggungan, kerisauan, dan kebingungan sebisa mungkin segera kutepis hanya dengan setitik keberanian.
Oke, niatku kembali ke pondok pesantren ini bukan untuk kembali mengingat segala kejadian itu, terlebih kembali masuk ke permasalahan itu. Melainkan ingin benar-benar fokus tholabul ‘ilmi sesuai tujuan awalku masuk ke pondok pesantren ini.
“Bismillah,” ucapku lirih mencoba menenangkan diri sendiri.Aku mulai mengayunkan kaki menuju ndalem untuk lapor kepada Ummah Zahra kalau aku sudah kembali. Sekaligus menyampaikan salam dari Umi yang tidak bisa ikut mengantarkan ke sini kepada seluruh keluarga ndalem.
Karena ini merupakan sebuah amanah, mau tidak mau aku harus berbicara dengan Gus Akhsan sekadar untuk menyampaikan salam ini. Kamu pasti bisa, Nasya. Cukup sampaikan salam dan langsung pergi.
“Assalamu’alaikum.” Kuketuk pintu yang sebenarnya memang selalu terbuka.
“Wa’alaikumussalam. Ya Allah, Mbak Nasya. Sudah sehat? Aku kangen tahu,” sahut Nisa yang menemuiku dan langsung berhambur memeluk.
“Alhamdulillah, sudah, Nis. Oh, ya, Ummah Zahra sama Buya Haris mana?” tanyaku seraya melepaskan pelukan perlahan.“Lagi pergi, Mbak. Kenapa?” Aku menghela napas, mencoba sabar. Tak mungkin, kan, aku ke sini lagi? Bagaimana kalau yang menemuiku nanti langsung Gus Akhsan?
“Ehm, titip salam saja buat Ummah, Buya, dan ... Gus Akhsan. Sekalian titip ini juga buat Gus Akhsan. Terima kasih, ya, Nis. Aku pamit dulu, assalamu’alaikum.” Selanjutnya, aku langsung melenggang pergi tanpa menunggu jawaban salam darinya.
Namun, sebelum pergi, aku sempat menitipkan lembar folio berisikan surah Ar-Rahman kepada Nisa. Lebih tepatnya tugas yang baru sempat kuserahkan. Sebenarnya aku sudah tak terlalu peduli dengan tugas itu, tetapi karena sudah tak ingin berurusan lagi dengan Gus Akhsan, aku pun memilih menyerahkannya saja. Entah tugas itu benar penting atau tidak.Yang aku takutkan hanyalah, suatu saat Gus Akhsan kembali datang dengan mengatas namakan tugas itu sebagai alasan. Aku tak mau hal sesepele itu terjadi, karena bagaimana pun juga, semakin aku sering berjumpa dengannya, semakin sulit pula untuk melupakan.
***
Kini langkahku telah sampai di asrama Khadijah. Selama perjalanan menuju kamar Khadijah satu, aku terus-menerus dibuat heran oleh para santriwati yang bertingkah laku tidak jelas dengan sorot mata yang tertuju ke kamarku ini.
Aku terus-menerus bertanya dalam hati. Sampai akhirnya aku tahu sendiri penyebab semua kegaduhan ini. Penyebabnya adalah orang yang saat ini atau mungkin selamanya ingin kuhindari.
Hatiku kini semakin berdenyut nyeri tak karuan, bak tertusuk ribuan macam benda tajam, mrnciptakan gores luka yang tak dapat dilihat oleh siapapun dan hanya aku yang bisa merasakan sakitnya. Aku ingin menangis tapi tak bisa.
Rasanya seperti terjatuh ke lubang yang sama untuk kesekian kalinya. Kakiku susah untuk digerakkan, jantungku semakin berdegup abnormal. Kenapa cinta yang katanya membahagiakan justru sangat menyakitkan seperti ini? Aku menyesal telah mendeklarasikan kalau ini adalah rasa cinta.
Dia, Gus Akhsan kini telah pergi, tetapi tidak sendirian. Dia bersama teman satu kamar asramaku, Alesha. Ya, itulah penyebab hati sekacau ini.
“Nasya!” Teriakan Dita yang memanggil namaku menarik atensi semua orang untuk mencari keberadaanku yang dipanggil. Termasuk Gus Akhsan dan Alesha yang berdiri tak cukup jauh dari hadapan.
Netra kami sempat bertemu. Tatapan menyedihkanku menyerobok masuk ke dalam tatapannya. Mencari rasa bersalah meskipun hanya setitik. Akan tetapi, nihil. Tak ada tatapan yang menyiratkan perasaan bersalah dan semacamnya.
Segera kuputuskan secara sepihak tatapan kami yang mungkin sudah lebih dari satu menit bertemu dan beradu pandang. Aku langsung berlari menemui Dita untuk sekadar membalas sapaannya dan langsung masuk kamar.
Aku duduk bersila hanya beralaskan keramik. Mengucap istigfar sebanyak mungkin. Mencoba menghalau, mengenyahkan perasaan tak karuan ini. Sampai tak lama kemudian, Dita masuk dan ikut duduk bersila di depanku.
“Sya, kenapa?” Aku hanya menggeleng sebagai jawaban.
“Sudah sembuh?” Kali ini aku hanya mengangguk sebagai jawaban.
“Kamu cemburu, ya?” Aku kembali menggeleng sebagai jawaban.
“Ngomong dong!” gumam Dita sembari mengguncang-guncangkan bahuku.
“Siap-siap, yuk! Salat Zuhur.” Aku beranjak bangkit daan mengambil mukena yang berada di atas kasur. Padahal sebelumnya aku taruh di lemari. Siapa lagi pelakunya kalau bukan Dita yang hobi sekali ghosob—meminjam barang santri lain tanpa izin.***
Sepanjang perjalanan menuju ke masjid, tanpa diminta Dita menceritakan semuanya. Ya, semuanya selama aku pulang ke rumah. Ternyata banyak sekali fakta dan tema ghibahan yang terlewatkan olehku.
Dari sekian banyak fakta dan tema ghibahan santriwati, yang benar-benar membuatku terkejut adalah kabar bahwa Gus Akhsan semenjak aku pulang sering sekali bolak-balik ke kamar Khadijah satu untuk sekadar memanggil Alesha. Lalu, para santriwati banyak yang menerka-nerka bahwa antara mereka berdua ada apa-apa.
Belum selesai Dita bercerita, segera kuhentikan secara paksa. Aku tak menjamin kalau setelah ini perasaanku tidak akan kenapa-kenapa. Pasti akan semakin kacau, hancur, dan pecah menjadi berkeping-keping.
“Cepat, Dita! Nanti enggak kebagian tempat di depan,” seruku seraya berjalan semakin cepat mendahuluinya.
“Kamu kenapa, sih, Sya? Kamu di rumah terkena mantra apa? Kenapa bisa berubah seperti ini?” Cecaran pertanyaan dari Dita hanya kutanggapi dengan mengedikkan bahu. Jangan tanyakan apa yang terjadi kepadaku. Diriku sendiri saja tidak tahu aku kenapa.***
Aku duduk termenung di aula. Mencoba tak peduli dengan sekitar dan menyibukkan diri berkutat dengan sebuah pulpen. Usai salat Zuhur, aku dipanggil Nisa untuk datang ke aula dengan tujuan mengikuti rapat yang entah tak kuketahui kejelasannya.
Di sini tentu saja ada Gus Akhsan yang memang posisinya sebagai pemimpin rapat. Itu yang membuatku semakin enggan menatap sekitar. Terlebih dengan adanya Alesha di sampingku. Entah kenapa kini seperti ada kecanggungan di antara kami.
Aku tak benar-benar mengikuti rapat ini. Pandanganku selalu fokus dan tertuju ke sebuah pulpen yang sepertinya kali ini lebih menarik perhatian, tetapi pikiranku berbeda lagi, entah berkelana ke mana.
Sampai akhirnya sebuah suara memaksaku untuk mendongak. “Nasya!”
“Nggeh, Gus.” Aku menyahut tanpa menatapnya sedikit pun.
“Apa kamu bisa fokus?” Aku menghela napas sebelum menjawab pertanyaannya dan mengundurkan diri dari rapat ini.
“Maaf, Gus. Tidak bisa. Saya permisi, assalamu’alaikum.” Usai melontarkan kalimat itu, aku pun langsung melenggang pergi tanpa peduli malu sedikit pun.
“Nasya, tunggu!” Saat selangkah lagi benar-benar berhasil keluar dari aula. Suara Gus Akhsan kembali menggema menghentikan ayunan langkah ini. Dengan berat hati aku pun berhenti.
Gus Akhsan membawaku sedikit menjauh dari aula. Sedari tadi aku terus menunduk, tak berani menatap lebih lama sorot tajamnya itu yang seakan menyiratkan sebuah amarah dan entah apa itu. Sulit sekali untuk kuartikan.
“Sya, kamu kenapa? Maaf, kalau pengakuanku saat itu membuat kamu merasa terganggu. Tapi tolong, jangan menghindar seperti ini,” ucapnya melembut. Suaranya yang seperti ini sungguh membuatku ingin sekali menitihkan air mata.
Dengan setitik keberanian yang susah sekali kukumpulkan. Kuberanikan diri mendongak dan tersenyum ke arahnya. “Aku enggak menghindar, Gus. Hanya ingin jaga batasan. Kan, njenengan sendiri yang menginginkan seperti ini. Kita sudah bukan anak kecil lagi, kan?” Jeda seperkian detik. “aku juga enggak merasa terbebani. Tolong, jangan dekat-dekat lagi. Permisi, assalamu’alaikum.”
Setelah untaian kalimat panjang itu terlontar, aku segera pergi. Seiring terayunnya langkah, saat itu juga air mataku akhirnya luruh. Jatuh bebas ke tanah setelah membasahi pipi. Ingin rasanya aku berteriak, kenapa rasa dan keadaan ini susah sekali untuk diartikan?
Ternyata benar apa kata orang. Cinta bisa membuat bahagia yang teramat bahagia sampai seakan membawa terbang ke angkasa lepas dan saat jatuh seakan bisa membawa terjun bebas ke dasar jurang sampai menciptakan gores luka yang teramat sakit.
Lagi dan lagi, menyesalnya aku kenapa harus merasakan cinta sekarang? Lalu kenapa saat aku baru menyadari rasa ini, justru secepat kilat dijatuhkan oleh sebuah kenyataam yang nyatanya teramat menyakitkan?Bersambung
Tegal,
01 Juli 2020Assalamu'alaikum, semuanya. Selamat awal bulan, pada gajian, ya? Hhehee.
Oh, ya, happy 101k viewers buat dirikuuu, hehe.
Rasanya campur aduk banget, hiks. Terima kasih buat yang udah ikut berpartisipasi dalam ribuan viewers, vote, dan komen itu. Jangan pernah bosan sama karya-karyaku, yaa.
Sekian, wassalamu'alaikum ....
@najwa_nrfzh146
Najwa Fzh
KAMU SEDANG MEMBACA
Kutukan Cinta Gus Tampan (END)
Spiritual⚠️ADA INFO PENTING DI DESKRIPSI PALING BAWAH Di gerbang pesantren ini, aku mulai mengaguminya. Akan tetapi, kekaguman itu berubah menjadi rasa sebal saat melihat sikap aslinya. Aku yang mati-matian menolak masuk ke sini pun seolah terjebak dalam lin...