#16 Abdi Ndalem Sementara

10.6K 1K 120
                                    

BAB 16
Abdi Ndalem Sementara

Sebelum baca, klik bintang di pojok kiri dulu, ya. Sudah? Lagi puasa, lho, gak boleh bohong. Kalau sudah ....

Happy reading

POV Ning Nasya

          Dua hari telah berlalu, rasanya cepat sekali waktu berputar. Matahari dan bulan pun seakan tak berpihak padaku untuk melepas rindu lebih lama lagi. Bahkan, orang yang aku rindukan pun justru mentitah untuk segera pergi. Jahat memang, tapi ini kenyataannya.
          Pagi ini aku diantar oleh Kang Farhan menuju pondok pesantren Raudlatul Jannah. Eh, tidak hanya berduaan, ya. Kami ramai-ramai perginya, bersama santriwan dan santriwati pengurus asrama pondok pesantren Nurul 'Ilmi.
          Ya, Kang Farhan ditugaskan mengantarkan para santri pengurus asrama yang bertempat tinggal di Jawa Timur. Jadi, aku ikut saja sekalian.
          Kang Farhan sudah benar-benar dipercaya oleh Abi. Bahkan, aku mengaggapnya seperti seorang kakak sendiri, tapi masih ingat batasan pastinya. Dia sudah berulang kali menolongku dahulu dan tak mungkin aku lupa dengan semua kebaikannya.
         
"Ning, nanti titip salam saja, ya. Saya benar-benar buru-buru, takut enggak tepat waktu mengantar," ucap Kang Farhan ketika kami hampir sampai di pondok pesantren Raudlatul Jannah.

          Aku tersenyum, sepertinya jiwa perempuanku mulai keluar, alias sudah bisa ramah. Karena biasanya, dengan siapapun berbicara, selalu datar tanpa ekspresi. Sekalinya ada ekspresi, ya, cuek atau judes.
         
"Iya, nanti aku sampaikan salamnya sama keluarga ndalem." Jeda beberapa detik. "Kang Farhan sekalian pulang, kan?" tanyaku selanjutnya.
         
"Nggeh, sekalian pulang."

          Sudah tidak ada percakapan lagi, semuanya masih setia sibuk dengan kegiatan masing-masing. Ada yang tidur, melamun, makan, sekadar mengusir kebosanan dengan meniup hijab terkhusus untuk santriwati, dan mengubah-ngubah letak peci terkhusus santriwan di depanku.
          Jadi, di mobil ini ada tiga baris jok. Jok bagian depan tentu saja Kang Farhan sebagai pengemudi bersama santriwan yang entah bernama siapa, sementara baris jok kedua dan ketiga diisi santriwati.
          Beberapa menit kemudian, aku sudah berdiri di depan gerbang tempat awal pertemuan saat itu dengan si gus menyebalkan. Eh, kok itu, sih yang diingat, ish!
          Benar saja, mobil yang mengantarkanku tadi langsung melaju pergi setelah penumpang di dalamnya memastiakan kalau aku masuk dengan aman dan selamat. Berlebihan, ya? Menurutku, sih, iya.
          Kini sudah hampir tiba waktunya salat Dzuhur, tak salah jika panas matahari begitu menyengat kulit. Daripada jadi hitam, lebih baik aku bergegas ke ndalem terlebih dahulu untuk sekadar menyampaikan salam dan memberitahukan kalau sudah sampai di sini.
         
Sesampainya di ndalem, aku langsung mengetuk pintu yang sebenarnya sudah terbuka sembari mengucap salam. "Assalamu'alaikum."

          Tak lama kemudian, datang seorang lelaki yang berjalan dengan tertatih-tatih dengan dinding sebagai pegangan. Siapa lagi kalau bukan Gus Akhsan. Ternyata dia masih ngeyel tidak mau pakai kruk.
         
"Wa'alaikumussalam, ad–" Ketika melihatku, bukannya disuruh masuk, dia malah melangkah hendak masuk kembali.
         
"Gus, enggak disuruh masuk, nih?" celetukku begitu saja. Dasar ini mulut, tidak tahu malu sekali.
         
"Masuk tinggal masuk saja. Kenapa harus izin?" sahutnya ketus.

          Ini orang habis makan apa, sih? Ketus sekali. Perasaan aku tanya baik-baik, loh. Mana bukti ucapan santri-santri kalau seorang Gus Akhsan itu humoris dan perhatian? Yang ada justru dingin sekali.
         
"Kan, niki griyone njenengan, toh, Gus. Moso kulo langsung mlebet wae," cibirku tapi masih berusaha dilembut-lembutkan.
         
"Ya sudah. Silakan masuk, Ning Nasya Khanza Aulia binti Bapak Kiai Haji Abdul Khanza," ucapnya diiringi senyum yang sepertinya dibuat-buat, tapi ... lumayan manis, sih. Eh!
         
"Enggak usah senyum kalau enggak ikhlas," cibirku benar-benar mencibir dan langsung berbalik badan hendak melangkah, tetapi terhenti oleh pertanyaan yang terlontar dari mulut Gus Akhsan.
         
"Mau ke mana? Katanya mau masuk."
         
"Ke asrama. Enggak jadi, yang mempersilakan enggak ikhlas soalnya," jawabku tanpa menoleh, dan kalian tahu apa responsnya? Hanya satu kata yang singkat, padat, dan terlalu jelas, yaitu kata 'oh', parah, kan?
          Tanpa berlama-lama lagi, aku langsung melenggang pergi. Mood-ku sudah benar-benar hancur karena satu orang ini.
          Eh, tapi tidak berlangsung lama, karena tiba-tiba saja Ummah Zahra datang dari arah luar dan langsung marah kepada sang anak karena ada tamu tidak disuruh masuk. Satu sama, aku bahagia, haha.
         
"Gus, Ning Nasya, kok, enggak disuruh masuk? Kalau ada tamu itu, ya, disuruh masuk. Ini lagi Ning Nasya mukanya ditekuk kaya begitu, pasti habis kamu usir, ya?" Begitulah gumaman Ummah Zahra. Pedas, guys.
         
"Tadi sudah Akhsan suruh masuk, tapi katanya dia mau ke asrama saja, ya sudah," sahutnya tanpa dosa. Ingin aku timpuk mulut itu pakai batu. Mungkin saja saat ini mukaku sudah memerah menahan amarah.
         
"Ehm, iya, Ummah. Nasya ke sini sebenarnya mau ketemu Ummah, mau bilang kalau Nasya sudah pulang ke sini, sekalian sampaikan salam dari Kang Farhan tadi yang mengantar ke sini, dia enggak bisa masuk, soalnya lagi dikejar waktu, hehe. Tapi sudah ketemu Ummah di sini, ya sudah, Nasya pamit ke asrama saja," jelasku panjang kali lebar tanpa izin. Bisa dikatakan sedikit tidak sopan.
         
"Masuk saja dulu, kamu pasti capek, kan? Habis perjalanan jauh, jalan dari sini ke asrama juga lumayan capek, loh," sahut Ummah Zahra sembari terkekeh di akhir kalimat.

Kutukan Cinta Gus Tampan (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang