#4 Dua Pangeran Pondok?

12.3K 848 27
                                    

بسم الله الرحمن الرحيم

"Harta, Pangkat, atau apapun itu, tak akan ada artinya kelak. Karena, di mata Allah, semuanya sama, sebagai hamba-Nya."
.


.
.

Happy Reading

Dua laki-laki di belakangku ini sangat menyebalkan. Bukannya bergegas malah bercanda terus sedari tadi. Memangnya tidak malu apa, ya? Tertawa di lingkungan asrama santriwati? Ya, meskipun bercandanya sedikit berbisik dan menundukkan pandangan.

Bukannya apa-apa. Oke, kalau memang urat malu mereka sudah putus. Tapi bagaimana denganku? Semua mata menatap ke arah kami, terutama kepadaku yang baru pertama kali memijakkan kaki di sini, dan aku lelah ingin segera beristirahat.
         
“Ekhem, Gus .... di mana kamarku?” Aku pun memberanikan diri untuk bertanya. Tanpa menoleh ke belakang.
         
“Kamar Khadijah satu. Di ujung sana, di lantai dua. Dekat tembok pembatas antara asrama santriwati dengan halaman rumah Buya,” sahut Gus Akhsan sembari menunjuk ke sebuah bangunan yang nantinya akan kutempati.
         
Aku memutar bola mata. Bisa terlihat dengan jelas di semua gedung asrama ada papan namanya masing-masing yang bertengger sangat jelas. “Lah? Dekat rumah Buya? Terus kenapa lewat sana?” cecarku, kemudian menghentikan langkah dan berbalik badan menghadap ke arah kedua laki-laki menyebalkan ini.
         
“Memangnya mau memanjat tembok setinggi itu? Masih mending kita antar, kalau enggak, tadi barang-barang kamu mas lempar saja lewat situ.” Kali ini Mas Fahri yang menjawabnya.

Ah, sudahlah. Aku tidak ingin berdebat. Bisa-bisa semakin menjadi pusat perhatian. Eh, tunggu! Sepertinya bukan aku yang terlalu menjadi pusat perhatian. Akan tetapi, dua laki-laki menyebalkan ini yang lebih menjadi pusat perhatian.
         
“Va ... itu siapa, sih? Kok sama pangeran pondok, sih? Uh, itu pangeran aku.” Terdengar sayup-sayup suara santriwati yang tengah berbincang memperhatikan kami.
         
“Kay, itu kok dekat-dekat begitu,” ucap temannya itu ketika aku berpindah posisi ke samping Mas Fahri. Ide yang bagus, aku akan mengerjai mereka.
         
“Mas,” panggilku kemudian langsung mencubit lengan Mas Fahri. Tampak raut muka santriwati itu mulai memerah. Seperti orang kepedasan, haha.
         
“Apa, sih? Main cubit-cubit. Sakit tahu,” gerutu Mas Fahri sambil mengelus-elus lengannya yang barusan aku cubit.
         
“Aku pasti bakalan rindu sama kamu, Mas,” ucapku sembari memasang raut muka sesedih mungkin. Haha, seru juga mengerjai mereka yang tak tahu apa-apa soal hubunganku dengan Mas Fahri.

Tak berselang lama kemudian, dua santriwati itu menghampiri kami. Mataku pun sontak terbelalak kaget ketika menatap muka mereka yang tampak menahan emosi. Lucu juga, sih.
         
Assalamu’alaikum,” sapa salah seorang santriwati itu.
         
Wa’alaikumussalam warahmatullah,” jawab kami serempak. Terlihat Mas Fahri dan Gus Akhsan mulai menundukkan pandangan dan benar-benar diam. Nah, seperti ini dari tadi, kan, enak.
         
Afwan, Ukhti. Tidak baik seorang wanita--“ Belum selesai berbicara, ucapannya langsung dipotong olehku. Aku tahu akan ke mana arah pembicaraannya.
          
“Iya, Mbak. Lagi pula kalau saya pelukan dengan mas ini pun enggak akan berdosa, kok.” Aku memotong ucapannya dengan santainya.
         
Sontak mereka terbelalak terkejut. “Ha? Maksudnya?”
         
“Sudah halal.” Mas Fahri yang mendengar ucapanku pun sontak terbelalak kaget. Lantas ia pun menarik tanganku menuju kamar Khadijah satu. Sementara itu, terdengar sayup-sayup suara Gus Akhsan yang menjelaskan bahwa aku dan Mas Fahri adalah kakak beradik.

Setelah semua barang bawaanku diletakkan di dalam kamar, Mas Fahri dan Gus Akhsan pun pamit. Eh, sebentar! Kok, rasanya berat, sih, mau berpisah sama Mas Fahri? Hiks, jangan sampai aku rindu sama dia.
         
Ukhti Dita, titip adik saya, nggeh. Kalau berbuat macam-macam, adukan saja ke pengurus asrama. Biar dikasih hukuman,” ucap Mas Fahri sembari menatapku dengan raut datarnya.
         
“Sudah, sana pergi!” titahku dengan nada sedatar-datarnya.
         
Nggeh, Gus. Insya Allah, Ning Nasya akan baik-baik saja di sini,” sahut wanita yang akan satu kamar denganku bernama Anindita Keisha.
         
Assalamu’alaikum,” ucap Mas Fahri dan Gus Akhsan serempak.
         
Wa’alaikumussalam.”

Selepas kepergian dua makhluk menyebalkan itu, aku pun mulai berbincang dengan teman yang mulai hari ini akan satu kamar denganku. Di antaranya, yaitu Anindita Keisha, Alesha Alifa Hibatillah, dan satunya lagi entah siapa, dia tidak pernah bergabung berbincang sejak tadi, terus sibuk dengan kegiatannya sendiri.

         
“Ning, jadi kamu adiknya pangeran pondok dua?” tanya Dita yang berhasil membuatku mengernyit bingung.
         
“Maksud kamu, Ta?” tanyaku bingung.
         
“Pangeran pondok satu itu Gus Akhsan, kalau pangeran pondok dua itu Gus Fahri. Itu sebutan yang sering terlontar dari mulut para santriwati. Begitu, Ning.” Bukan Dita yang menjawab, melainkan Alesha.
         
“Oh. Eh, tunggu. Jangan panggil aku dengan sebutan ning. Di sini aku sama seperti kalian, hanya seorang santriwati, enggak lebih,” ucapku tak lupa disertai ulasan senyum.
         
“Jadi, serius kalian kakak beradik, Ning? Eh, Nasya.” Dita mengulang kembali pertanyaannya.
         
“Hm, iya. Tolong, sembunyikan semua ini, ya?” jawabku, kemudian memohon kepada Dita dan Alesha untuk menyembunyikan jati diri yang sesungguhnya. Aku tidak enak jika nantinya semua santri memanggil dengan sebutan ning, seperti mereka memanggil Mas Fahri dengan sebutan gus.
         
Oke,” jawab Dita menyanggupi permohonanku. Sementara Alesha, dia hanya mengangguk sembari tersenyum. Sepertinya Alesha lebih kalem daripada Dita.
         
“Sejak kapan kalian memanggil Mas Fahri dengan sebutan gus?” tanyaku sembari beranjak merapikan baju ke dalam lemari.
         
“Sejak ... sejak kapan, ya? Aku lupa, hehe.” Dita tampak berpikir keras, tapi hasilnya nihil.
         
“Sejak Gus Fahri lulus Madrasah Aliyah, terus abi sama uminya datang ke sini, terus enggak sengaja Buya memanggil dia dengan sebutan gus. Selanjutnya aku enggak tahu kenapa berita itu makin menyebar,” jelas Alesha.
         
“Jadi, ya, Gus Fahri selama itu seperti kamu, Sya. Selalu menutupi jati dirinya,” timpal Dita. Aku hanya tersenyum simpul mendengarnya.

Bersambung

Tegal,
22 Maret 2020

Mohon maaf, ini benar-benar pendek. Cuma 800+ kata. Biasanya sampai 1000k lebih, tapi kali ini enggak sampai.

Maaf, kalau feel-nya benar-benar enggak dapat. Next part ... Nasya bakalan adu mulut sama Gus Akhsan. So, pantengin terus, ya.

@najwawafzh_
Najwa Fzh

Kutukan Cinta Gus Tampan (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang