بسم الله الرحمن الرحيم
Sebelum lanjut, klik tombol bintang dulu, yaa. Oke, aku percaya kalian udah klik tombol bintang.
So, happy reading, guys ...
Sebuah tangan terulur menyentuh bahuku, siapa lagi kalau bukan Mas Fahri. Gus Akhsan? Mana mungkin dia berani menyentuh-nyentuh yang bukan mahram, bisa-bisa seantero jagat pondok pesantren ini heboh dibuatnya. Tanpa membiarkan tangan itu bertengger lama-lama, segera kutepisnya sedikit kasar. Masih kesal dengan kejadian di perpustakaan.
“Lepas, Mas! Masih jam istirahat, kalau ada santri yang melihat bagaimana? Nanti mereka mengira yang macam-macam,” kelakarku sembari menyeka kasar sisa-sisa bulir bening di pipi.
“Lagi menangis juga masih bisa mengomel ternyata.” Ini bukanlah sindiran lagi, melainkan memang tertuju padaku. Segera kutatapnya tajam, ingin sekali aku cakar mukanya yang pada kenyataannya memang termasuk kaum tampan.
“Enggak pernah berubah, ya, dari dulu,” timpal Gus Akhsan sembari melirik Mas Fahri dan selanjutnya kembali fokus pada mobil hitam legam yang beberapa detik kemudian benar-benar sudah tak tampak lagi.
“Iya, tambah aneh.” Mas Fahri mendukung ucapan Gus Akhsan sembari terkekeh. Lengkap sudah kekesalanku, berlama-lama di sini rasanya bisa membuat mereka kehilangan nyawa. Lebih baik aku pergi.
“Terus! Bicarakan saja terus. Bagus banget, ya. Membicarakan orang yang jelas-jelas ada di depannya, tukang rumpi saja kalah. Laki-laki lancar banget, ya, kalau ghibah. Lanjut saja, enggak apa-apa. Transfer pahalanya yang banyak, ya?” Semakin menjauh, aku semakin mengeraskan suara. Tak peduli dengan netra para santri yang tengah berlalu-lalang.***
Waktu istirahat telah berakhir, aku pun memutuskan untuk kembali ke kelas. Tak peduli dengan perintah Gus Akhsan yang menyuruhku untuk ke perpustakaan dan menunggunya di sana. Bayangkan saja, yang ditunggu tak kunjung datang. Kalau saja Mas Fahri tak datang dan membawa pergi, mungkin saja aku masih duduk sampai berjamur di sana.
Aku memilih masuk ke kelas bukannya tak suka bebas. Kalau disuruh bebas tak mengikuti pelajaran, tentu saja aku akan menerima sepenuh hati. Akan tetapi, kali ini kabarnya kelas akan dipegang oleh Ustazah Hilwa karena Gus Adnan—guru sekaligus sepupu Gus Akhsan—tengah ada urusan.
Siapa santri pondok pesantren Raudlatul Jannah yang mau berurusan dengan Ustazah Hilwa? Sepertinya tidak ada. Lagi pula, aku malas kalau harus menyalin materi. Menambah-nambah tugas saja.
Namun, bukan hidup namanya jika tidak dipenuhi oleh berbagai kejutan. Saat berjalan menuju kelas, semua santri yang berada tak jauh dari tempatku berjalan tiba-tiba saja menepi dan menunduk dalam.
Apa lagi ini? Oh, ayolah ... ini bukan hari ulang tahunku. Kenapa banyak sekali kejutan datang secara beruntun? Kalau pun ini hari ulang tahunku, tak perlu seperti ini juga. Aduh, sabar, Nasya!
“Dita,” bisikku saat sudah mendudukkan diri di samping Dita yang tampak tengah santai berkutat dengan pulpen yang dijadikan sebagai mainan.
“Hm, kenapa?” tanyanya tanpa mengalihkan pandangan sedetik pun.“Ish, Dita. Kamu kenapa, sih? Orang lagi ngomong itu dilihat.” Dita tetap pada pendiriannya, tak menoleh sedetik pun. Padahal, kalau dipikir-pikir lebih menarik aku dari pada pulpen hitam dalam genggamannya. “Dita, kamu kenapa, sih?” Karena sudah geram, aku memutar tubuhnya paksa menghadap ke arahku.
“Gara-gara kalian, aku diserbu sama fans-nya Gus Fahri. Masa tadi aku baru masuk ke perpustakaan ditanya macam-macam. Mana aku tahu apa yang sudah terjadi. Niat awal mau baca buku malah diserbu.” Dita menceritakannya dengan menggebu-gebu.
Kebetulan Ustazah Hilwa belum datang, jadi akan aku gunakan kesempatan ini untuk mencari tahu apa yang terjadi berikutnya setelah aku ditarik keluar oleh Mas Fahri. Orang itu benar-benar, ish!
Dita pun menceritakan panjang kali lebar dengan sangat menggebu-gebu, tentu saja disertai omelan yang sama sekali tak kuindahkan.
Katanya, semuanya berawal saat Dita baru datang dengan penuh kebingungan karena melihat aku dan Mas Fahri yang tampak keluar perpustakaan sembari beradu mulut. Saat sedang bingung-bingungnya, dia justru langsung dikepung dan diserbu oleh berbagai macam pertanyaan.
Benar-benar tak ada celah untuk menghirup pasokan oksigen dengan leluasa. Sementara itu mereka terus menghujaninya dengan berbagai macam pertanyaan dan terkaan. Sampai akhirnya Dita menyerah dengan alibi ‘tidak tahu apa-apa’ dan mulai menceritakan semuanya.
Rupanya, setelah Dita menceritakan kalau aku benar adik Mas Fahri dan alasan menutupi ini semua, dia belum terbebas. Masih banyak pertanyaan yang terlontar dari mulut mereka. Akhirnya Dita pun memilih menerobos kabur sampai jilbabnya tak berbentuk lagi.
Pada intinya, semua yang saat itu berada di perpustakaan sudah tahu kalau diriku ini merupakan adik dari Mas Fahri. Mungkin saja seantero jagat pesantren sudah tahu. Tahu sendirikan dahsyatnya gosip?
Oh, ayolah. Bukan ini yang kuharapkan. Aku hanya ingin hidup layaknya seorang santri biasa, bukan layaknya seorang ning. Terlebih ini di pondok pesantren milik orang lain, sungguh tak enak rasanya. Mereka benar-benar kelewat batas kesopanannya, huh!
“Gara-gara Mas Fahri, nih,” gumamku seraya mengepalkan tangan kanan dan memukul-mukulkannya pada telapak tangan kiri.
“Ya sudah, sih, Sya. Kamu itu harusnya senang.” Dita menanggapinya dengan teramat santai.
Tuk! Sebuah sentilan mendarat manis pada dahi Dita. Dia pun hanya bisa meringis dan mengaduh kesakitan karena memang sentilan barusan sekaligus sebagai bentuk meluapkan amarahku.
Saat aku hendak mendaratkan cubitan pada pipinya, dia sigap menepis dengan halus dan tatapan memelas. Mungkin karena efek sakit sentilannya belum hilang. Padahal itu bukan sentilan maut, loh.
“Sudah-sudah, nanti pada memanggil aku Humaira bagaimana?” tanyanya masih seraya mengelus dahi dan tentunya tak kuindahkan sama sekali. Aku lebih memilih kembali bersiap memaki Mas Fahri dan Gus Akhsan.
“Lagian, Gus A–“ Belum selesai berbicara, sebuah deheman yang sudah tak asing lagi memberhentikan umpatan dan menarik netraku untuk melihat orang tersebut.
“Ekhem. Ning Nasya ikut saya, sekarang!” titahnya dan langsung berlalu pergi.
Dengan perasaan berkecamuk dalam hati, aku berlari kecil mengejarnya. “Apa lagi, sih, Gus? Barusan saja ditunggu enggak nongol-nongol. Bisa-bisa aku jamuran di perpustakaan.” Setelah berkelakar sepanjang itu, aku baru ingat saat ini tengah berada di mana saat kalimat terakhir telah terlontar. Dasar, Nasya!
“Bisa diam enggak, Ning? Telinga aku bisa pecah dengar omelan kamu setiap saat,” ujarnya sinis tanpa menoleh. Justru semakin mempercepat langkah dan aku hanya bisa mendengus kesal.
“Hah? Aku, kamu ... biasanya berujung kita. Biasanya Gus Akhsan pakai saya dan kamu, kan?”
“Berantem terus perasaan. Biasanya kaya begitu jodoh.”
“Hus, ucapan adalah doa. Mau kamu patah hati karena ucapan sendiri?”
“Janganlah!”
Ucapan para santriwati kembali berdengung, terngiang jelas di indra pendengaranku. Bisa-bisa bilang aku kamu menjadi kita. Ada lagi berantem berujung jodoh. Setelah itu menyangkal, tidak terima dengan ucapan sendiri.
Sabar, Nasya. Orang sabar itu disayang Allah SWT. Sabar itu indah, sabar itu melatih diri supaya tidak marah, dan kalau marah itu temannya Gus Akhsan. Eh, ralat, setan maksudnya.
Eh, iya. Untung barusan aku belum sempat memakinya. Kalau iya, sudah dipastikan takziran kembali menanti. Lagian, itu orang manusia atau apa? Selalu muncul di mana-mana dan langsung menitah sesuka hati.***
Aku terus mengumpatinya dalam hati, jika mengingat segala perlakuannya, seketika darahku seakan melonjak tinggi.
Sekarang, lihat saja. Dia benar-benar bersikap biasa saja, tidak merasa bersalah sedikit pun seolah-olah tidak telah melakukan kesalahan apapun. Melenggang dengan santai, tersenyum saat ada yang menyapa, sedangkan aku yang dipanggil malah terabaikan.
Benar-benar menyebalkan. Pergi saja sana ke kutub selatan. Kali ini aku ... eh, jangan. Ya, sudah, hilangkan saja dia dari hadapanku. Andai saja ada yang datang dan mengatakan ‘kuberi satu permintaan’. Ah, halusinasiku terlalu tinggi.
“Sudah selesai?” Tiba-tiba saja Gus Akhsan bertanya, entah kepada siapa. Apakah dia indigo? Entah dan biarkan saja.
Aku masih terus berjalan, juga masih merutukinya dalam batin, memberikan sumpah serapah yang tak seharusnya aku lakukan. Selama itu juga, Gus Akhsan beberapa kali terdengar berbicara dengan seseorang yang entah siapa.
Sampai akhirnya, dahiku menubruk keras sebuah benda, eh, bukan. Akan tetapi, punggung Gus Akhsan! Hah! Belum sempurna mulutku terbuka untuk memakinya, suaranya terlebih dahulu beradu dengan kebisingan.
“Jadi, sudah selesai?” Aku hanya mengernyit bingung. “Memaki aku dalam hatinya sudah selesai?” tanyanya lagi memperjelas.
Aku berulang kali bertanya siapa, berulang kali pula tak mendapat respons olehnya. Sampai tiba di perpustakaan, pada akhirnya beberapa menit kemudian setelah saling diam, kekesalanku tiba-tiba saja tergantikan oleh sebuah rasa yang entah apa itu setelah puluhan kalimat terlontar dari mulutnya. Aku pun bingung dengan perasaan sendiri.Bersambung
Tegal,
18 Juni 2020Assalamu'alaikum ....
Mutasyakkir awiy, semuaa😍 ( Btw, ini B. Amiyah Mesir, hehe. Tunggu aja nanti ada ... sesuatu, wkwk. Sesuatu mulu perasaan, haha. ) Mumpung ada hotspot dadakan, aku Up ini aja dulu. Sebenernya part 20 udah selesai ketik dan part 21 masih on going, tapi nanti aja, deh. HahaaGimana-gimana? Kira-kira Gus Akhsan ngomong apa, yaa, sampai Nasya bingung sama perasaan sendiri? Hahaa. Ikuti terus alurnya, yaa.
Kepada silent readers, diharap gerakkan jarinya buat klik bintang di pojok bawah, yaa.
Satu lagi, maaf kalau tampilan per-part berubah terus. Kaya sekarang, wkwk. Tumben, kan, ada basmalah-nya? Aku lagi cari tampilan yang bagus gimana. Hehe.
Wait, satu lagi ... kalau aku bikin WAG para readers cerbungku setuju gak? Niatnya aku mau bikin cerbung lagi, judulnya ... masih rahasia, wkwk. Jadi, aku gabungin aja gitu grupnya.
Vote deh sini, baiknya bikin grup atau enggak? Kalau bikin, enaknya di mana?
1. Grup Messengers
atau
2. Grup WhatsAppTunggu, satu lagi ... serius ini satu lagi. Kalau KCGT hadir dalam versi cetak pada mau beli enggak?
Sekian, ma'lesy wa mutasyakir awiy. Wassalamu'alaikum ....
KAMU SEDANG MEMBACA
Kutukan Cinta Gus Tampan (END)
Espiritual⚠️ADA INFO PENTING DI DESKRIPSI PALING BAWAH Di gerbang pesantren ini, aku mulai mengaguminya. Akan tetapi, kekaguman itu berubah menjadi rasa sebal saat melihat sikap aslinya. Aku yang mati-matian menolak masuk ke sini pun seolah terjebak dalam lin...