BAB 12
JANGAN Selamanya Tanpa Gus♡◇☆◇♡
"Tentang aku dan kamu ... aku tak percaya bahwa ini cinta. Tapi tolong, izinkanku untuk merindukanmu, izinkanku terus memintamu untuk kembali, bukan untukku, tapi untuk bahagia bersama keluarga dan wanita pilihanmu itu."
~Nasya Khanza Aulia~
♡◇☆◇♡
Happy Reading
Satu minggu telah berlalu. Buya Haris sudah diperbolehkan pulang setelah tiga hari rawat inap di rumah sakit. Nisa juga sudah lebih tegar menghadapi ini daripada sebelumnya setelah berulang kali aku mencoba menguatkan dan menyemangatinya.
Ummah Zahra pun sudah sedikit tenang di hadapan orang-orang, meskipun setiap pagi mata beliau masih sering bengkak seperti orang telah menangis kemudian tertidur. Mungkin beliau menghabiskan malam untuk menangis dan berdoa demi keselamatan anak sulung beliau. Ya, belum ada tanda-tanda Gus Akhsan akan segera ditemukan.
Kata para polisi dan tim SAR, semua korban yang hilang sudah berhasil ditemukan dengan kondisi sebagian besar sudah tak bernyawa dan beberapa luka parah sampai koma. Akan tetapi, semua korban itu terkecuali Gus Akhsan. Ya, dia belum ditemukan seorang diri.
Yang ditemukan langsung saat pesawat terjatuh pun ada yang meninggal, apalagi ini sudah satu minggu, kemungkinan ditemukan dalam keadaan masih bernyawa sangat kecil. Akan tetapi, kami tetap serahkan semuanya kepada Allah. Hidup dan mati itu telah diatur olehnya.
“Mas, sudah satu minggu, loh,” gumamku seraya berjalan mendekati Mas Fahri yang tengah duduk di sebuah batu besar yang letaknya tak jauh dari gerbang utama pondok pesantren Raudlatul Jannah.Gerbang yang pada saat itu pernah menjadi saksi bisu pertemuan awalku dengan Gus Akhsan yang memang tampan, bahkan sampai aku salah tingkah. Akan tetapi, rasa kagum itu seketika berubah menjadi rasa sebal karena memang dia menyebalkan.
“Iya.”
“Loh, kok, begitu doang?” Aku kembali bergumam karena akhir-akhir ini Mas Fahri lebih irit berbicara.
“Diam dulu, bisa enggak?” ucap Mas Fahri penuh penekanan. Hampir membentak.
“Enggak bisa. Ish, itu Gus Akhsan ba–“ Mas Fahri langsung menarik tanganku begitu saja hingga terduduk cukup keras di bebatuan samping Mas Fahri. Aku hanya bisa meringis kesakitan.
“Lihat! Mas lagi lihat video sekitar lokasi kejadian. Siapa tahu ada tanda-tanda.” Mas Fahri memperlihatkan video yang terpampang jelas di layar ponselnya.Dalam video itu, darah dan abu di mana-mana, banyak bekas kobaran si jago merah. Hampir saja aku kembali meneteskan air mata, untung saja Mas Fahri segera mengingatkan.
“Enggak usah nangis, cengeng! Kita itu di sini sebagai penguat, penyemangat. Kalau kitanya saja rapuh, bagaimana mereka. Mas tahu, sangat tahu, ini berat buat kamu. Allah tahu yang terbaik, kamu yang sabar.”Lagi dan lagi, selama satu minggu ini, mereka semua selalu menguatkanku. Untuk apa? Bahkan, Ummah Zahra yang sangat terpukul pun memberikanku semangat dan terus meminta maaf karena semua tidak berjalan dengan semestinya seperti yang telah direncanakan.
Ya, aku memang akhir-akhir ini sering menangis. Akan tetapi, tidak perlu seperti itu juga. Padahal, kan, aku menangis hanya di depan Mas Fahri dan Dita. Kalau ada yang memberikan semangat, ya, harusnya cukup Mas Fahri dan Dita saja, karena hanya mereka yang menjadi wujud saksi aku menitihkan air mata.
“Mas, ada apa, sih? Perasaan yang hilang keluarganya siapa, kenapa aku yang dikuatin terus? Sama semua orang lagi,” gumamku sembari beranjak, membelakangi Mas Fahri.
“Nanti, kalau sudah waktunya, mas kasih tahu.” Lagi dan lagi itu juga jawabannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kutukan Cinta Gus Tampan (END)
Espiritual⚠️ADA INFO PENTING DI DESKRIPSI PALING BAWAH Di gerbang pesantren ini, aku mulai mengaguminya. Akan tetapi, kekaguman itu berubah menjadi rasa sebal saat melihat sikap aslinya. Aku yang mati-matian menolak masuk ke sini pun seolah terjebak dalam lin...