#17 Tentang Aku Dan Dia

10.2K 960 120
                                    

بسم الله الرحمن الرحيم

Sebelum baca, klik tombol bintang dulu, ya. Jangan bohong, dosa loh lagi puasa, hehe. Sekadar menghargai karya orang apa salahnya, kan? Jangan cuma jadi silent reader:)
.
.
.

Happy Reading

Tugasku yang awalnya hanya fokus memantau kondisi Gus Akhsan dan membujuknya meminum obat saja, tiba-tiba seakan merangkak menjadi abdi ndalem.
         
Kenapa bisa? Dari mulai membuatkan bubur setiap pagi karena perintah Ummah Zahra, mengantarkan makanan beserta obat ke kamar Gus Akhsan dengan ditemani oleh Nisa di kala siang hari, dan kembali memastikan Gus Akhsan minum obat di malam hari.
         
Semua itu tak berlangsung sementara, bahkan sangat lama bagiku. Dua bulan lamanya. Ya, selama dua bulan lamanya, pagi, siang, sore, dan malam aku selalu bertemu dengan Gus Akhsan. Bisa dikatakan tiada hari tanpa berjumpa. Aduh.
         
Bahkan, aku sampai bolak-balik asrama, sekolah, dan ndalem. Saat pagi, seperti biasanya, diawali salat Tahajud, dilanjutkan salat Subuh berjamaah, ngaji kitab, dan setor hafalan. Selanjutnya, langsung ke ndalem dan pergi lagi ketika jam hampir menunjukkan pukul 07:00 untuk sekolah formal.
         
Siangnya, selepas salat Dzuhur berjamaah baru ke ndalem, sampai pamit hampir pukul 14:00 untuk bergegas sekolah Madrasah. Malamnya pun sama, selepas kegiatan pondok selesai, baru aku ke ndalem.
         
Bayangkan saja, capek? Sekali. Apalagi setiap saat disambut sikap menyebalkan Gus Akhsan. Akan tetapi, aku harus sabar dan ikhlas. Karena ini semua juga terjadi akibat mulutku berbicara yang tidak-tidak.
         
Namun, kini semuanya telah berakhir. Tentu saja dua bulan telah berlalu, Gus Akhsan pun sudah benar-benar sembuh. Meskipun dua minggu yang lalu dia sempat drop dan masuk rumah sakit lagi.
         
Ini hari terakhir aku akan menghabiskan waktu bersama dengan Gus Akhsan. Selanjutnya, aku akan hidup normal kembali tanpa harus melihat kelakuan menyebalkannya.
         
"Sya, ditimbali karo Gus Akhsan teng ndalem." Ucapan Dita yang tiba-tiba saja menyapa indra pendengaran pun sontak mengagetkan sekaligus membuyarkan lamunanku.
         
"Astagfirullah, Anindita! Jangan bikin kaget, telingaku masih normal, ya!" pekikku sedikit tertahan karena saat ini kami tengah berada di kelas dan berlangsung kegiatan belajar.
 

       
Semuanya sedang di beri tugas, ustazah yang mengajar pun tengah mengoreksi latihan soal untuk ulangan tengah semester, dan Dita pun barusan izin pergi ke kamar mandi. Karena bosan pun aku melamun, dan tiba-tiba saja Dita datang. Tentu saja aku terkejutlah.
         
"Siapa suruh bengong. Kenapa, sih? Sedih, ya, karena ini hari terkahir kamu bantu jaga Gus Akhsan?" terka Dita dengan senyum jahilnya.
         
"Enak saja, aku senang malah. Jaga-jaga, memangnya toko, pakai dijaga segala!" celetukku sedikit kelepasan, sampai ustazah yang sibuk mengoreksi di depan pun menoleh.
         
"Nasya, Dita, ada apa?" tanya beliau masih tetap lembut meskipun dipastikan sedang geram.
         
"Ehm, itu ... saya izin pamit ke ndalem, Ustazah," pamitku sedikit ragu. Karena baru dua puluh menit yang lalu pelajaran di mulai, baru dua puluh lima menit yang lalu juga aku dan Gus Akhsan bertemu, tapi sekarang sudah memanggil lagi.
         
"Mau apa ke sana?" tanya beliau lagi.
         
"Dipanggil Gus Akhsan, Ustazah." Bukan aku yang menjawab, melainkan Dita.
         
"Oh, ya sudah, silakan!"
         
"Gus Fahri, iya. Gus Akhsan juga iya," celutuk Kayla yang tak lain adalah sahabat Adeeva.
         
Masih ingat, kan, dengan Adeeva? Santriwati yang tergila-gila dengan Mas Fahri. Dia yang saat hari pertama aku memijakkan kaki di pondok pesantren Raudlatul Jannah tidak terima dengan kedekatan kami—aku dan Mas Fahri—lalu menghampiri dan marah-marah tidak jelas.
         
"Awas saja, ya, kalau nanti dekat-dekat sama Gus Fahri lagi!" ancam Adeeva pelan, tapi masih bisa didengar oleh ustazah yang di depan.
         
"Kayla, Adeeva, kalian dimasukkan ke pondok itu untuk mencari ilmu dunia dan akhirat, bukan ngejar cinta para gus. Bukannya memperbaiki diri, justru menambah maksiat karena memikirkan yang bukan mahram," tegur ustazah tersebut sedikit tegas, tetapi sangat menohok.
         
"Iya, alasan pertama memang menuntut ilmu, selanjutnya karena itu. Habisnya santriwan itu tampan-tampan, sih, Ustazah," kekeh Adeeva. Aku hanya bisa memutarkan bola mata jengah.
         
"Ya sudah, Ustazah. Saya pamit, assalamu'alaikum," pamitku kemudian menyalami beliau.

Kutukan Cinta Gus Tampan (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang