6. BISIKAN KERAS

998 73 2
                                    

Buyung

Siang ini aku datang ke gubuk. Sekiranya bisa mendapatkan kabar dari kawan-kawan, tetapi tidak ada yang kutemui di sana.

Hah, apa yang terjadi dengan mereka? Aku mengusap kepala, meraba pelipis yang masih bengkak, lalu menyentuh dada. Perihnya sedikit berkurang. Semoga segera akan sembuh.

Aku melongok ke dalam gubuk, ternyata ada si Ujang yang sedang tidur. Syukurlah, masih ada yang bisa ditemukan. Kulihat juga ada bir yang tinggal setengah isinya, si Ujang mungkin begadang sendiri di sini.

Aku meraih bir itu, lalu meminumnya.

Baru hendak mengangkat botol, aku mendengar bisikan keras di telinga dan itu membuatku terkejut, seketika telinga sebelah kiri, berdenging kuat. Aku mengernyit, memejamkan mata dan menutupnya dengan telapak tangan.

"Setan .... !!!" teriakku kesal.

Ujang terperanjat mendengarku berteriak. Dia lalu duduk.

Kucoba lagi meminum bir itu, terdengar hal yang sama, seperti seseorang yang berteriak keras di telinga. Aku pun kembali terperanjat. mencoba lagi, dan masih seperti itu juga.

Aku membanting botol bir itu hingga pecah, sambil mengumpat kasar.

" Woi Yung, kenapa kau ini, heboh sendiri?" Ujang menepuk bahuku.

Aku terkejut dan menjengit, tepukannya hampir mengenai cakaran harimau dekat punggung, "Tak ada apa-apa," jawabku menggeleng.

" Lalu kenapa kau mengumpat kasar, membuatku terkejut saja!" Ujang bergeser keluar, dia kini sudah duduk di sebelahku.

Aku hanya diam, malas menceritakan hal-hal yang tidak masuk akal pada orang lain. "Yang lain pada ke mana?"

Ujang menghela napas, " Parah, si Leo gagar otak, si Piyai kakinya patah, si Dani budeg sebelah, si Hen entah bagaimana, kalau si Dit tak dapat info aku."

Dan masih beberapa lagi yang dia sebutkan menderita akibat tawuran terakhir.

Yang selamat dan tak terlalu terluka parah, hanya aku, Ujang, Maman dan Dayat. Namun, Maman dan Dayat sedang dalam perawatan keluarga. Mereka memang tidak terluka parah, tetapi darah yang dibawa pulang, cukup membuat keluarga khawatir.

Baru kali ini kami kalah dalam perkelahian. Biasanya selalu menang, tidak sampai jatuh korban sebanyak ini.

Aku lalu bertanya, bagaimana Ujang bisa selamat dari preman kampung sebelah yang mengeroyok kami. Dia berkata, bahwa lari ke jalan arah kampung penyerang, lalu tak sengaja bertemu dengan Pak Kepala Desa kampung kami.

Beliau sedang mengendarai sepeda motor seorang diri, melihat Ujang menyeberang secara tiba-tiba, Pak Kepala Desa terkejut. Apalagi saat terlihat darah di bibir dan pelipis kiri Ujang. Walau kesal dengan kelakuan bandit kampung ini, Pak kepala Desa tetap memberikan tumpangan.

Ia melihat tiga preman dengan balok kayu di tangan, pura-pura berjalan ditepi jalan tak jauh dari Ujang, membuatnya semakin mantap membonceng Ujang kembali ke kampung kami.

Ujang juga bilang, bahwa dirinya telah mengaku dengan apa yang terjadi. Semuanya dia ceritakan di rumah Pak Kepala Desa. Ujang bahkan dinasehati agar tidak melakukan hal semacam itu lagi, apalagi di saat warga yang lain sedang melaksanakan ibadah tarawih di surau.

Ketika itu Ujang hanya mengangguk, selamat saja dari kejaran para musuh itu sudah syukur. Urusan janji-janji agar tidak mengulangi lagi, nanti saja belakangan. Dendam ini harus terbalas.

Lalu, Ujang pun balik bertanya, bagaimana aku bisa selamat dari mereka? Aku tidak menjawab. Seperti yang kubilang tadi, malas membahas hal-hal yang tidak masuk akal seperti itu.

Aku tiba-tiba saja kembali ingat perkataan Mak saat kerasukan. Seperti dejavu, aku bahkan pernah mendengar ucapan serupa, dengan kondisi yang hampir sama, dan suara yang tak berbeda.

Beberapa tahun silam, aku dipukul oleh Bapak, karena membuatnya gagal berjudi. Uang gaji yang baru ia terima dari hasil bekerja sebagai kuli bangunan, habis. Ulahku membuat anak seseorang masuk rumah sakit. Aku menghajar anak itu, karena mengatai anak seorang penjudi. Walau sebenarnya hal tersebut memang nyata adanya, tetapi dada ini selalu bergemuruh, bila ada orang lain yang mengejek orang tuaku. Meski nyatanya yang dibela, tak layak sama sekali menerima perlakuan itu, dan sungguh aku membencinya setengah mati.

Orang tua anak itu datang, dan meminta ganti rugi atas kelakuanku. Uang yang baru didapat Bapak, terpaksa diserahkan begitu saja. Tentu dia sangat murka, lalu pukulan demi pukulan mendarat di wajah, kepala, hingga tubuhku.

Mak yang melihat perlakuannya itu menangis histeris, berusaha menyelamatkanku dari amukan Bapak yang sudah semakin menjadi-jadi. Tiba-tiba saja, Mak terjatuh. Seperti tadi, persis. Beberapa detik kemudian, matanya terbuka melotot.

Lalu, dengan suara yang sama, aku ingat betul, dan dengan bahasa Minang yang khas, Mak bilang, 'Barubahlah Baih, ibo lah jo anak ang'.

Aku tidak melihat bagaimana ekspresi Bapak kala itu, sebab sibuk memeluk Mak dan melihat langkah kakinya pergi ke luar.

Kemudian, Mak tak sadarkan diri lagi.

" Yung, aku pulang dulu, perutku lapar sekali," ucap Ujang mengagetkan diriku sambil menepuk-nepuk perutnya.

Aku mengangguk, tak lama sayup-sayup kudengar suara azan berkumandang, sudah Ashar saja.

Aku pun berjalan tak tentu arah. Langkah kaki malah menjajaki jalan menuju surau. Suara azannya terasa begitu nyaring. Ternyata sudah berada di halaman surau.

"Eh, Yung, masuk mari. Sudah lama tidak melihat kau ke surau. Sering Buya tanya sama Upik." Buya Dasril menyapaku. Dia guru mengaji anak laki-laki dan sekaligus seorang guru silek atau silat di kampung ini.

Buya memang selalu menggunakan bahasa ibu negara ini, agar anak-anak kampung pun ikut mengerti dan terbiasa menggunakannya. Tidak melulu menggunakan bahasa daerah. Kecenderungan anak-anak pedalaman, bila hanya disuguhkan bahasa daerah dalam pembicaraan sehari-hari, mereka akan susah mengerti bahasa Indonesia yang baik dan benar.

Aku beruntung, Mak masih setia menggunakan bahasa Indonesia walau dengan logat bataknya yang khas.

Ragu-ragu untuk melangkah menemui Buya. Entah kenapa, malu rasanya. Masuk ke dalam surau saja seakan tak pantas. Kotor.

"Tak apa lah Buya, Buyung balik pulang dulu, ada yang mau diambil." Aku bergegas balik badan, sebelum Buya mencegat lengan ini.

Aku tahu, Buya pasti hanya bisa menggeleng dan menghela napas panjang. Ia mungkin juga hampir kehabisan akal untuk membujukku, agar kembali ke jalan yang benar.

Dalam perjalanan pulang, aku malah berpapasan dengan Upik dan temannya, tak tahu pasti namanya.

Yang jelas dia adalah cucu Mak Eroh, dia tinggal dengan neneknya setelah orang tuanya meninggal dunia akibat kecelakaan. Begitulah selentingan kabar yang kudengar. Kawan-kawan lumayan sering bicara tentang dia. Katanya, cucu Mak Eroh cantik sekali. Ya, harus kuakui, dia sempurna!

"Bang, mau ke mana?" Upik menahan lenganku.

Aku meringis, dia tepat memegang di bagian yang kena hantam balok semalam. "Abang mau pulang."

"Loh, sudah sampai surau malah tak masuk," ujarnya lagi.

Aku mendesis, cerewet sekali adikku ini. Temannya itu malah terus saja memandangi. Sebagai laki-laki normal, tentu aku merasa berdebar-debar, siapa yang tidak tertarik melihat gadis secantik dia. Apalagi, cara dia menatapku, membuat darahini berdesir.

Sesaat tatapanku dan teman Upik bertemu, cepat-cepat dialihkan. Lalu pergi, tak menghiraukan celotehan Upik tentang hal yang sama.

"Kembalilah ke jalan yang benar, wahai Abang!" teriaknya kesal.

***

I N Y I A K [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang