33. TERUSIR

838 54 29
                                    

Fitri

"Memang betul saya yang sudah melakukan semuanya, Buya. Termasuk aksi lempar bara api, untuk menyelakakan Upik. Saya pula yang mengirimkan jin untuk menyantetnya. Saya kesal dan marah, kenapa dia ingin memisahkan saya dan Bang Buyung. Tetapi, saya akhirnya menyadari, bahwa Upik tak seburuk yang saya pikirkan. Kalian semua orang baik di kampung ini. Maafkan saya, Buya."

'Buya paham, tidak ada manusia yang tak luput dari dosa, Fit. Kau pun tak patut untuk disalahkan sepenuhnya. Kau hanya bernasib kurang mujur saja, namun, ini bukan akhir dari semua. Allah mungkin sedang merencanakan hidup yang baru dan lebih cerah untukmu. Tetapi, tidak di kampung ini. Tak ada yang bisa menerima palasik di sini, Fit. Mereka akan terusir.

'Demi Allah, sebaiknya pergilah dari kampung ini, Fitri. Buya tidak bisa berbuat apa-apa, selain mendoakan agar hidupmu selamat dunia dan akhirat. Berapa banyak nyawa bayi yang melayang karena ulahmu. Kau bersekutu dengan setan. Buya tidak akan bisa melakukan pembelaan apa pun untukmu, jika suatu hari nanti, warga sudah tahu semuanya.'

"Baiklah Buya. Saya akan pergi dari kampung ini. Doakan saya dan maafkan kesalahan saya, Buya. Sampaikan salam untuk Upik, ibunya dan Bang Buyung. Saya undur diri, Buya."

Percakapan terakhirku dan Buya yang berujung pilu. Aku tak ingin, tetapi ini demi kebaikan bersama.

Pulang ke rumah sore tadi, diantarkan oleh Pak Kepala Desa, Nek Eroh sangat terkejut melihat kondisiku yang pucat. Pak Kepala Desa lalu menceritakan kepada Nek Eroh, seperti yang kuceritakan padanya, siang tadi di rumah sakit.

Aku lalu diminta untuk istirahat oleh Nek Eroh, sementara ia siapkan ramuan herbal untuk menyegarkan tubuh ini kembali.

"Nek, bagaimana kalau sebaiknya kita pergi saja dari kampung ini?"

Aku mencoba membujuk Nek Eroh, untuk ikut pergi bersamaku, meninggalkan kampung ini, saat ia mengantarkan minuman herbal yang ia buatkan untukku.

Nek Eroh terkejut, "Ba'a kau ngecek model itu?" (1)

Aku menghela napas. Tubuhku yang lemas masih bersandar di kepala dipan.

"Fitri ingin memulai hidup yang baru berdua dengan Nenek, di tempat yang baru juga."

Aku menggapai tangannya.

"Ndak mungkin Pit, iko kampuang Nenek, rumah Nenek di siko, kama lo awak ka pai?"(2)

Aku pun belum tahu ke mana hendak pergi. Jika Nek Eroh tak mau ikut, bagaimana aku bisa pergi sendiri. Usiaku masih belasan tahun dan sama sekali tak punya kemampuan apa-apa.

"Ba'a kok takana lo nio pai kau, Nak?"(3)

Nek Eroh mengusap kepalaku lembut. Kepala yang semula tertunduk, kuangkat kembali demi bisa melihat wajah Nek Eroh.

"Maafkan Fitri, Nek. Sepertinya untuk tinggal di sini, Fitri tak bisa. Cepat atau lambat, orang-orang pasti akan tahu siapa palasik sebenarnya. Seberapa pun kuatnya Nenek melindungi Fitri, kelak, peradilan kaum itu pasti akan terjadi juga. Dan Fitri akan terusir."

"Dek a kau, Pit?"(4)

Aku tak bisa menyembunyikan apa pun dari Nek Eroh terkait masalah yang membelit.

"Upik sudah tahu, siapa palasik yang menyerang adiknya dan hal tersebut menjadi beban untuk Fitri, Nek. Dan saat berjumpa Buya, Fitri menceritakan semuanya ...."

Nek Eroh terkejut, mungkin ia tak menyangka kalau aku berani membuka jati diri palasikku pada orang lain, selain dirinya.

"Buya Dasril menyarankan untuk segera pergi dari sini, Nek. Sebelum sesuatu terjadi."

I N Y I A K [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang