30. SERANGAN BERTUBI-TUBI

865 48 4
                                    

Buyung

Pikiranku masih terpecah. Tak bisa fokus belajar di kelas, ditambah Ujang yang juga belum kembali sesaat setelah izin keluar beberapa menit lalu.

Sudah hampir usai pelajaran dan jam pulang pun tiba, tetapi ke mana Ujang?

Wali kelas, yang kebetulan mengajar di jam terakhir menanyaiku, dan juga beberapa teman yang lain.

Perasaan ini tidak enak. Apa yang terjadi pada Ujang?

"Yuang, kama Ujang kiro-kiro?" tanya Beni padaku. (1)

Beberapa kawan-kawan yang lain juga masih berada di kelas, tampak khawatir.

Aku belum menjawab pertanyaan Beni, pikiranku kalut.

Tidak! jangan sampai Kaperen lagi yang punya ulah.

Wali kelasku, Bu Reren namanya, memberitahukan akan melaporkan perihal Ujang pada Kepala Sekolah. Ia beranggapan, ini bukan perihal kenakalan, tetapi sudah masuk dalam kategori kejadian yang mengkhawatirkan. Dan pihak sekolah harus mengetahui. Selama berada di dalam jam dan lingkungan sekolah, siswa menjadi tanggung jawab sekolah.

Aku, Beni, Rio, Nal, Hengki, dan Rudi mengikuti Bu Reren menuju ruang Kepala Sekolah.

Selama berada dalam ruangan tersebut, aku tak mendengar jelas apa yang mereka bicarakan, pikiranku benar-benar menerawang ke mana-mana. Jangan sampai, lingkungan sekolah pun menjadi sasaran serangan Kaperen.

"Yung, kita akan mencari Ujang bersama-sama. Jika sampai sore hari nanti tidak juga ditemukan, mohon untuk memberitahukan kepada pihak keluarga Ujang, kita akan meminta bantuan pihak yang berwajib untuk melakukan pencarian."

Pak Kepala Sekolah menyampaikan sebuah amanat padaku. Apa yang harus kulakukan?

"Apa yang kau ketahui dari penyebab hilangnya Ujang ini, Yung?"

Ternyata, tindakan diamku justru membuat Pak Kepala Sekolah berusaha menggali informasi dariku.

"Setahu saya, kami tak ada masalah apa-apa di sini, Pak."

Bagaimana mungkin kuceritakan masalah Keperen pada Pak Kepala Sekolah dan orang-orang yang ada di sini. Walau sulit juga untuk dicegah, berita tentang musibah-musibah yang menimpa kawasan tempat tinggalku –kami menyebutnya dusun, menyeruak ke mana-mana. Tentu saja berita dari mulut ke mulut cepat menyebar, apalagi jika sudah berada di pasar.

Pak Kepala Sekolah, tampaknya juga tak ingin berlama-lama. Ia pun memanggil penjaga sekolah dan guru-guru pria lainnya mencari keberadaan Ujang. Namun, belum lagi kaki ini melangkah lebih jauh, Ujang sudah muncul dari balik dinding belakang sekolah. Ia tampak kepayahan berdiri dan tersandar di dinding tersebut. Melihatnya babak belur, aku berlari secepat kilat ke arahnya.

Ujang tumbang saat melihatku sudah berada selangkah di dekatnya. Aku segera menyambut, disusul oleh beberapa orang yang tadi akan mencari.

Semua orang yang masih berada di sekolah tampak shock dengan kejadian ini. Sementara tanganku gemetar menahan tubuh sahabat itu, aku seolah tak mampu untuk berkata. Melihat kondisi Ujang yang terluka parah hingga tak sadarkan diri begini, membuatku tak bisa mengendalikan diri. Larut dalam emosi yang tak jelas arahnya, marah, cemas, takut, sedih, khawatir, dan saat ini ingin rasanya menghadapkan diriku pada Kaperen. Berani bertarung hingga nyawa terpisah dari jasad, asalkan dia berhenti menyakiti orang-orang di sekitarku.

Ujang dibopong ke ruang kesehatan sekolah, untuk dibersihkan luka dan diberi pertolongan pertama. Kepala sekolah pun segera menyiapkan kendaraan dinas yang ia punya untuk membawa Ujang ke rumah sakit. Aku diminta untuk segera pulang dan menyampaikan kabar yang menimpa Ujang pada keluarga.

I N Y I A K [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang